Sabtu, 07 Maret 2009

STUDI KOMPARATIF ANTARA KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR 1994 DENGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Toshiko Kinosita (Kompas, 24 Mei 2002) mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari masyarakat awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang (Nurkolis, 2004).
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik (Nurkolis, 2004). Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup, inilah sebenarnya arah Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu pendidikan berbasis keterampilan (life skill) dan perluasan fungsi dasar pendidikan (broad based education). Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dolar Amerika, master 40 juta dolar Amerika, dan sarjana 33 juta dolar Amerika. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpenghasilan rata-rata 19 juta dolar Amerika per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas Rp 3,5 juta, akademi Rp 3 juta, SLTA Rp 1,9 juta , dan SD hanya Rp 1,1 juta.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (McMahon dan Geske, 1982 : 121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi daripada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan
dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi, 1999 : 247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia sumbangan sosial pendidikan dasar terhadap masa depan anak didik rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekitar Rp 18.000 per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar Rp 66.000 per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro (Nurkolis, 2004) mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal daripada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kriteria equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Cheng, 1996 : 7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya, dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Penyelenggaraan pendidikan nasional selama ini, yang disorot mengalami kemunduran, sebenarnya telah mengalami banyak perubahan. Di antaranya keinginan untuk mengajukan Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai pengganti Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 pada tahun 2004. Kurikulum itu mengacu pada kemampuan setiap peserta didik supaya benar-benar dapat diuji setelah menuntaskan pendidikannya di tingkat tertentu (Kompas, April 2004).
Perubahan kurikulum pendidikan untuk penyempurnaan mutu pendidikan, merupakan topik yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan. Keberhasilan penyelenggaraan kurikulum tentu tidak terlepas dari tanggung jawab sumber daya manusia di bidang pendidikan serta tidak kalah pentingnya dukungan dari masyarakat sendiri (Jurnal Pendidikan Penabur No. 01/ I / Maret 2002).
Penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan peningkatan mutu peserta didik telah diamanatkan dalam kebijakan-kebijakan nasional sebagai berikut (Departemen Pendidikan Nasional, 2003):
1. Perubahan keempat UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan.
2. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004.
3. Undang-undang No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Undang-undang No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah Propinsi sebagai Daerah Otonom. Kewenangan pemerintah dalam bidang pendidikan antara lain; (a) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional, dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya, (b) penetapan standar materi pelajaran pokok, …..(h) penetapan kalender tahunan bagi pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.
Perubahan kurikulum itu didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus-menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life-skills) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Kebijakan pemerintah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi didasarkan pada PP Nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah. Pada PP ini, dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dinyatakan bahwa kewenangan pusat adalah dalam hal penetapan standar kompetensi peserta didik dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok. Berdasarkan hal itu, Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyusunan standar nasional untuk seluruh mata pelajaran yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).
Adapun pengertian dari kurikulum pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencakup komponen pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan, dan kewarganegaraan.
Implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya pengembangan silabus dan penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill. Silabus adalah acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan penilaian mencakup indikator dan instrumen penilaiannya yang meliputi jenis tagihan, bentuk instrumen, dan contoh instrumen. Jenis tagihan adalah berbagai bentuk ulangan dan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta didik; sedangkan bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dikerjakan oleh peserta didik, baik dalam bentuk tes maupun nontes (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan penyempurnaan Kurikulum Pendidikan Dasar 1994. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui perbandingan antara Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

sumber:

http://one.indoskripsi.com/content/studi-komparatif-antara-kurikulum-pendidikan-dasar-1994-dengan-kurikulum-berbasis-kompetensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar