Minggu, 15 Maret 2009

PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT

A. KONDISI UMUM
UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Untuk memenuhi amanat konstitusional tersebut, Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dalam rangka memenuhi hak dasar setiap warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.
Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Pendidikan yang berkualitas dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera yang tercermin pada keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk itu, Pemerintah telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena memberi kontribusi signifikan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat.Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah telah berupaya memberi layanan pendidikan yang baik bagi segenap anak bangsa, yang bertujuan untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia, termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008. Selama ini, pembangunan pendidikan nasional telah menunjukan hasil positif yang terlihat dari pencapaian angka partisipasi pendidikan pada semua jenjang. Pada tahun 2006, angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) pada jenjang SD/MI dan yang sederajat masing-masing telah mencapai 110,8 persen dan 94,7 persen. Sedangkan APK pada jenjang SMP/MTs dan yang sederajat serta SMA/SMK/MA/SMALB/Paket C masing-masing telah mencapai 88,7 persen dan 56,2 persen. Sementara itu, APK pada jenjang perguruan tinggi (PT) yang mencakup pula peguruan tinggi agama (PTA), Universitas Terbuka (UT), dan pendidikan kedinasan adalah sebesar 16,7 persen (Depdiknas 2006). Adapun angka partisipasi sekolah (APS) atau persentase penduduk yang mengikuti pendidikan formal untuk kelompok umur 7-12 tahun tercatat sebesar 97,4 persen, kelompok umur 13-15 tahun sebesar 84,1 persen, dan kelompok umur 16-18 tahun sebesar 53,9 persen (Susenas 2006). Berbagai indikator tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan kinerja pembangunan pendidikan nasional mengalami peningkatan yang cukup berarti.Penyiapan anak untuk mengikuti pendidikan sejak usia dini sangat penting terutama untuk menyiapkan setiap anak agar dapat menempuh pendidikan dasar secara lebih baik. Program pengembangan anak-anak usia dini dilakukan melalui lembaga pelayanan pendidikan anak usia dini (PAUD), yang mencakup berbagai jenis seperti Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal, Bustanul Athfal, TK Al-Qur’an, Tempat Penitipan Anak, dan Kelompok Bermain. Peran lembaga PAUD ini sangat strategis, karena menurut berbagai studi, anak-anak yang mengikuti pendidikan usia dini berpotensi untuk mencapai prestasi lebih tinggi pada jenjang pendidikan dasar.
Sementara itu, angka buta aksara penduduk umur 15 tahun ke atas mengalami penurunan dari 9,6 persen pada tahun 2004 menjadi 8,1 persen pada tahun 2006, dengan disparitas gender sebesar 5,4 persen untuk laki-laki dan 10,7 persen untuk perempuan (Depdiknas 2006). Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan kemampuan keberaksaraan, sejalan dengan meningkatnya partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Selain itu, perpustakaan mempunyai peranan penting dan strategis untuk menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat, sehingga berpengaruh pada upaya peningkatan kemampuan keberaksaraan penduduk Indonesia. Meskipun terjadi peningkatan kemampuan keberaksaraan, masih ditemukan perbedaan capaian angka melek aksara penduduk umur 15 tahun ke atas antara kuantil pertama (kelompok 20 persen termiskin) yang baru mencapai 87 persen, sementara pada kuantil kelima (kelompok 20 persen terkaya) telah mencapai 95 persen (Susenas 2006).
Data Balitbang Depdiknas 2006 menunjukkan bahwa secara kuantitatif fasilitas layanan pendidikan sudah cukup baik seperti terlihat pada rasio murid per ruang kelas sebesar 25,4 untuk SD/MI, 39,7 untuk SMP/MTs, dan 36 untuk SMA/SMK/MA. Pada saat yang sama, rasio murid per guru adalah 20 untuk SD/MI, 14 untuk SMP/MTs, dan 13 untuk SMA/SMK/MA. Meskipun demikian, kualitas layanan pendidikan masih terbatas karena dukungan fasilitas yang belum memadai, disamping kualitas guru yang masih rendah.
Menurut data Balitbang Depdiknas, pada tahun 2006 jumlah siswa putus sekolah pada jenjang SD/MI tercatat sebanyak 846,6 ribu anak, SMP/MTs sebanyak 174,4 ribu anak, dan SMA/SMK/MA sebanyak 178,6 ribu anak. Pada tahun yang sama, dari total lulusan SD/MI yang mencapai 4.072.508 anak, sebanyak 322,2 ribu anak tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMP/MTs. Masalah putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan terutama pada jenjang pendidikan dasar merupakan persoalan serius yang dapat mempengaruhi keberhasilan penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Masalah ekonomi merupakan salah satu penyebab masih banyaknya anak usia sekolah yang berasal dari keluarga miskin tidak bisa bersekolah atau putus sekolah. Untuk menurunkan angka putus sekolah, Pemerintah menyediakan dana bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan khusus sekolah (BKS), dan bantuan khusus murid (BKM) atau beasiswa. Berdasarkan survei Balitbang Depdiknas (2006), program BOS berhasil menurunkan secara signifikan angka putus sekolah dari 4,3 persen menjadi 1,5 persen, dan meningkatkan tingkat kehadiran siswa dari 95,5 persen menjadi 96,3 persen. Lebih lanjut dilaporkan bahwa dengan adanya program BOS, sebanyak 70 persen SD/MI dan SMP/MTs telah membebaskan siswa dari segala jenis pungutan. Namun, disadari bahwa besaran dana BOS belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan operasional sekolah, terutama sekolah-sekolah yang berada di daerah perkotaan, sekolah swasta, dan sekolah unggulan.
Masalah ekonomi jelas merupakan faktor utama terjadinya kesenjangan partisipasi pendidikan di antara penduduk Indonesia. Kesenjangan partisipasi pendidikan terlihat mencolok baik antarkelompok masyarakat (kaya-miskin) maupun antarkategori wilayah (perdesaan-perkotaan), dan semakin meningkat dengan meningkatnya kelompok umur. Menurut data Susenas 2006, APS penduduk kelompok umur 13-15 tahun untuk kuantil pertama baru mencapai 74,2 persen, sementara untuk kuantil lima telah mencapai 92,2 persen. Demikian pula APS penduduk kelompok umur 16-18 tahun untuk kuantil pertama baru mencapai 37,9 persen, sementara untuk kuantil kelima telah mencapai 68,6 persen. Sementara itu, APS penduduk kelompok umur 13-15 tahun yang tinggal di perdesaan dan perkotaan masing-masing 80,3 persen dan 89,7 persen, sedangkan APS pada penduduk kelompok umur 16-18 tahun di kedua tipe daerah tersebut masing-masing adalah 45 persen dan 65,5 persen.
Fakta kesenjangan partisipasi pendidikan ini menjadi petunjuk jelas bahwa sasaran layanan pendidikan tahun mendatang perlu lebih diarahkan pada peningkatan akses layanan pendidikan terutama bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Namun, perlu dicatat bahwa partisipasi pendidikan antarjenis kelamin pada jenjang lanjutan relatif telah sama, sehingga kesenjangan gender tidak terlampau mencolok. Data Susenas 2006 menunjukkan, APK pada jenjang SMP/MTs antara laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 81,3 persen dan 82,5 persen, sedangkan pada jenjang SMA/MA/SMK masing-masing adalah 56 persen dan 57,4 persen.
Selain masalah kesenjangan, partisipasi pendidikan pada jenjang sekolah menengah juga dianggap masih relatif rendah. Hal ini disebabkan banyak lulusan SMP/MTs yang berkeinginan langsung berkerja untuk mencari nafkah guna membantu perekonomian keluarga. Masalah tersebut terkait dengan faktor opportunity cost yang perlu dipertimbangkan, mengingat mereka yang telah menamatkan SMP/MTs pada umumnya berusia 15 tahun ke atas, sehingga dorongan untuk memasuki pasar kerja lebih awal cukup tinggi, terlebih lagi bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin. Mereka lebih memilih bekerja dibanding melanjutkan ke jenjang sekolah menengah dengan alasan ingin membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Pada saat yang sama fasilitas pendidikan menengah juga belum sepenuhnya mampu menampung siswa yang berkeinginan untuk melanjutkan ke pendidikan menengah.
Tantangan pembangunan pendidikan yang lain adalah partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi yang masih rendah. Masalah pemerataan masih menjadi isu kritikal, karena layanan pendidikan tinggi lebih banyak dinikmati oleh anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja. Ketimpangan pemerataan pendidikan ini terlihat jelas pada angka partisipasi sekolah (APS) penduduk umur 19-24 tahun; untuk kuantil pertama baru sebesar 3,5 persen, sedangkan untuk kuantil kelima sudah mencapai 25,7 persen (Susenas 2006). Pendidikan tinggi memang memerlukan biaya yang cukup besar baik langsung maupun tidak langsung, sehingga anak-anak dari keluarga miskin memiliki keterbatasan dalam mengakses jenjang pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya yang relatif besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang PT .
Pembangunan pendidikan, selain memprioritaskan perluasan akses dan peningkatan pemerataan pada jenjang pendidikan formal, juga mempertimbangkan perluasan akses pada jenjang pendidikan nonformal yang mencakup antara lain pendidikan anak usia dini, dan pendidikan khusus keterampilan. Anak-anak yang memerlukan perhatian khusus (children with special needs) selama ini belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan secara baik. Anak-anak yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Mengingat pendidikan merupakan bagian dari hak dasar bagi seluruh penduduk Indonesia, maka layanan pendidikan harus pula menjangkau anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus tersebut.
Untuk mendukung keberhasilan progam Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, upaya memperluas jangkauan program pendidikan anak usia dini (PAUD) juga terus dilanjutkan. Meskipun demikian, belum seluruh anak usia antara 2-6 tahun dapat tertampung di berbagai jenis satuan PAUD, yang disebabkan terutama oleh terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan pelayanan PAUD. Selain itu, sebagian besar anak usia dini tinggal di wilayah perdesaan, sementara lembaga-lembaga penyelenggara PAUD sebagian terbesar terdapat di wilayah perkotaan. Oleh karena itu, pelaksanaan PAUD perlu terus ditingkatkan dan diperluas jangkauan serta kualitas pelayanannya dengan tetap menumbuhkan partisipasi masyarakat, termasuk lembaga tradisional keagamaan dan organisasi sosial masyarakat.
Pendidikan nonformal belum sepenuhnya dapat diakses oleh segenap warga masyarakat. Padahal jalur pendidikan nonformal mempunyai fungsi penting untuk memfasilitasi warga belajar memasuki dunia kerja. Selain itu, pendidikan nonformal juga merupakan bentuk pendidikan sepanjang hayat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan juga masih rendah. Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa partisipasi kursus penduduk usia sampai dengan 39 tahun yang belum/tidak pernah sekolah dan yang tidak sekolah lagi masih sangat rendah yaitu hanya sekitar 3,2 persen, dengan partisipasi kursus penduduk perkotaan (5,1 persen) lebih tinggi dibanding penduduk perdesaan (1,9 persen). Data ini menunjukkan bahwa pendidikan sepanjang hayat masih belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Menghadapi bonus demografi yang ditunjukkan oleh meningkatnya proporsi penduduk usia produktif, maka peran pendidikan nonformal menjadi sangat vital. Penyediaan pendidikan nonformal harus diupayakan mampu meningkatkan penciptaan lapangan kerja, sehingga peluang yang diperoleh dengan adanya tambahan penduduk usia produktif dapat dimanfaatkan secara optimal.
Upaya peningkatan budaya baca masih terkendala oleh: (1) belum optimalnya pemanfaatan potensi perpustakaan oleh masyarakat sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas hidup; (2) masih rendahnya pertumbuhan berbagai jenis perpustakaan terutama perpustakaan umum, perpustakaan khusus, dan perpustakaan sekolah; (3) belum memadainya sarana dan prasarana layanan perpustakaan dan diversifikasi layanan perpustakaan sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan pengguna; dan (4) masih rendahnya rasio jumlah bahan bacaan masyarakat dengan pertumbuhan jumlah pengguna.
Dalam hal kualitas pendidikan perlu terus ditingkatkan karena lembaga pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk melahirkan lulusan-lulusan yang berkompeten. Hal ini disebabkan antara lain oleh: (1) ketersediaan pendidik yang belum memadai secara kualitas dan dengan distribusi yang kurang merata, (2) kesejahteraan pendidik yang masih terbatas, (3) sarana dan prasarana pendidikan serta fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran belum tersedia secara mencukupi, dan (4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai. Dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan, layanan pendidikan terus ditingkatkan agar sesuai dengan standar nasional pendidikan dengan merujuk pada standar pelayanan minimal (SPM), yang sejauh ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi.
Guru yang berkualitas memainkan peranan sentral dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Namun, saat ini masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S-1 atau D-4 seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dari hasil survei pendidikan yang dilakukan oleh Depdiknas tahun 2006 diperoleh informasi bahwa rata-rata kualifikasi pendidikan guru SD/MI sampai dengan SMA/SMK/MA baik negeri maupun swasta yang memiliki ijazah D-4 atau sarjana (S-1) adalah 35,6 persen. Guru-guru yang belum memenuhi standar kualifikasi yang disyaratkan umumnya pada jenjang SD/MI; sebagian besar dari mereka masih berpendidikan Diploma 1-3, bahkan ada pula yang hanya lulusan pendidikan menengah seperti Sekolah Pendidikan Guru, Pendidikan Guru Agama, Sekolah Guru Olahraga, dan SMA. Selain itu, dijumpai pula guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang ilmu yang dimilikinya atau lazim disebut mismatch, misalnya guru dengan latar belakang ilmu sosial tentu saja tidak memiliki kompetensi akademik untuk mengajar mata pelajaran MIPA. Fenomena mismatch ini sangat berpengaruh terhadap kualitas proses belajar-mengajar dan hasil pembelajaran di sekolah.
Sampai dengan tahun 2006, rehabilitasi dan revitalisasi gedung SD/MI dan SMP/MTs belum sepenuhnya tuntas. Banyak gedung SD/MI yang dibangun secara masif melalui Program Inpres SD pada tahun 1970-an dan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1980-an mengalami rusak berat dan ringan. Biaya perawatan dan perbaikan yang terbatas menyebabkan kerusakan gedung semakin parah. Sementara itu, dana dekonsentrasi dan dana alokasi khusus (DAK) untuk rehabilitasi dan revitalisasi bangunan tersebut belum memadai. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan afirmatif dalam menangani kerusakan gedung sekolah. Alokasi anggaran untuk rehabilitasi sekolah harus ditingkatkan dan diikuti dengan monitoring dan evaluasi yang ketat, sehingga pemanfaatan dana menjadi lebih efisien. Penyediaan anggaran dalam bentuk block grant atau matching grant yang telah dilaksanakan dalam rehabilitasi dan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan perlu dilanjutkan, sejalan dengan upaya peningkatan efisiensi anggaran dan pemberdayaan masyarakat.
Buku merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran. Dua permasalahan penting mengenai pengadaan buku menjadi sorotan; kurangnya aksesibilitas buku pelajaran dan penggantian buku pelajaran hampir setiap tahun yang dilakukan oleh pihak sekolah. Dalam kenyataannya, memang tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran, baik dengan membeli sendiri maupun mendapat pinjaman dari sekolah. Keterbatasan buku ini secara langsung berdampak pada sulitnya anak menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajari. Selain itu, sekolah-sekolah tetap saja cenderung untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru, sehingga semakin memberatkan beban orangtua murid meskipun telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005, yang menetapkan bahwa masa berlaku buku pelajaran selama lima tahun telah berlaku efektif. Tindakan ini bahkan menyebabkan inefisiensi, karena buku-buku yang dimiliki sekolah tidak bisa dimanfaatkan lagi oleh siswa dari kohort selanjutnya. Permasalahan yang berkaitan dengan pengadaan buku memang mendesak untuk segera diselesaikan, karena berpengaruh pada upaya peningkatan mutu pembelajaran. Oleh karena itu pengadaan BOS buku untuk jenjang pendidikan dasar masih perlu dilanjutkan.
Selan itu, diperlukan sistem evaluasi untuk mengukur kinerja satuan pendidikan dan sistem pengujian untuk mengukur prestasi setiap peserta didik. Selama ini, sistem evaluasi kinerja para pendidik dan standarisasi prestasi peserta didik masih belum sepenuhnya memenuhi seperti yang diamanatkan di dalam Standar Nasional Pendidikan. Sistem evaluasi dan sistem pengujian ini sangat penting untuk melihat tingkat keberhasilan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, dengan membuat perbandingan antardaerah dan antarsatuan pendidikan sebagai landasan bagi perencanaan pembangunan pendidikan lebih lanjut.
Koordinasi antara pendidikan formal dan nonformal perlu ditingkatkan terutama dalam menunjang peningkatan mutu pembelajaran. Karena pengelolaan pendidikan formal dan nonformal masih terlihat eksklusif dan belum saling mendukung. Format dan kualitas pendidikan nonformal belum memungkinkan untuk digunakan sebagai pengganti pelajaran yang relevan di satuan pendidikan formal. Sementara itu, fasilitas pelayanan pendidikan formal yang sudah lebih baik secara kuantitas maupun kualitas belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menyelenggarakan pendidikan non formal.
Upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi dilakukan melalui penguatan otonomi perguruan tinggi (PT), dengan memberi tanggung jawab lebih besar dan tetap berdasar pada prinsip akuntabilitas publik. PT juga diberi keleluasaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya. Otonomi PT sangat penting untuk membangun iklim kebebasan akademik serta menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Sampai dengan tahun 2006 telah ditetapkan enam PTN (ITB, UI, IPB, UGM, UPI, USU, dan UNAIR) yang mengalami perubahan status menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) dan dalam masa transisi dapat memperoleh mandat untuk beroperasi sebagai badan layanan umum menuju badan hukum pendidikan. Namun, pelaksanaan PT-BHMN belum berjalan dengan baik antara lain karena belum tersedianya perangkat hukum berupa undang-undang badan hukum pendidikan, yang menjadi dasar bagi pengelolaan keuangan dan manajemen sumber daya lainnya yang dimiliki PT.
Selain itu, juga diupayakan peningkatan mutu pendidikan tinggi agama melalui pengembangan program akademik, pendidikan pascasarjana S-2 dan S-3 bagi dosen, pembangunan parasarana, sarana, dan fasilitas pendukung seperti laboratorium dan perpustakaan. Sejumlah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) telah pula mengembangkan diri menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dengan membuka fakultas dan program studi baru di luar disiplin ilmu-ilmu keislaman. Sampai dengan tahun 2006, terdapat enam STAIN/IAIN yang berubah status menjadi universitas yaitu: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Malang, UIN Sultan Syarif Qashim, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan UIN Alauddin Makassar. Perubahan status menjadi universitas ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat struktur kelembagaan pendidikan tinggi agama. Namun, hal ini perlu disertai dengan upaya penataan software seperti desain program dan orientasi pengembangan pendidikan tinggi Islam, serta penyediaan pendidiknya, agar perubahan status ini tidak kontraproduktif. Pada sisi lain, upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi agama juga masih menemui kendala terutama mengenai masalah manajemen perguruan tinggi agama yang belum profesional serta kurang efektif dan efisien. Bahkan prasarana, sarana, dan fasilitas pendidikan juga belum memadai, sehingga kurang mendukung upaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bermutu.
Sementara itu, secara umum PT belum maksimal dalam memainkan peran sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan pelopor inovasi teknologi. Hal ini disebabkan kegiatan penelitian dan pengembangan di PT masih sangat terbatas. Di samping itu, proses pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengalami hambatan, karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses. Dengan kualitas dan kuantitas hasil penelitian yang belum memadai, belum banyak hasil penelitian yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan masih sedikit pula yang sudah dipatenkan dan/atau mendapat pengesahan hak kekayaan intelektual.
Meskipun desentralisasi dan otonomi pendidikan telah dilaksanakan selama tujuh tahun, manajemen pelayanan pendidikan belum sepenuhnya efektif dan efisien. Hal ini disebabkan belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah juga belum memberi kontribusi yang memadai dalam penyediaan anggaran pendidikan. Selan itu, standar pelayanan minimal (SPM) yang seharusnya dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota juga belum efektif. Demikian pula peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan masih belum optimal, termasuk peran dan fungsi dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
Sejak tahun 2004, pembiayaan pendidikan diupayakan terus ditingkatkan secara signifikan, untuk memenuhi amanat UUD 1945 yaitu 20 persen dari APBN dan APBD. Upaya peningkatan alokasi anggaran pendidikan ini dimaksudkan mendukung penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
B. SASARAN PEMBANGUNAN TAHUN 2008
Berdasarkan berbagai tantangan dan permasalahan di atas, sasaran pembangunan pendidikan yang akan dicapai pada tahun 2008 adalah:1. Meningkatnya partisipasi jenjang pendidikan dasar yang diukur dengan meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) jenjang SD termasuk SDLB/MI/Paket A setara SD menjadi 110,9 persen dan 94,8 persen; meningkatnya APK jenjang SMP/MTs/Paket B setara SMP menjadi 95 persen; meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun menjadi 99,5 persen; dan meningkatnya APS penduduk usia 13-15 tahun menjadi 94,3 persen;2. Meningkatnya partisipasi jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang diukur dengan meningkatnya APK jenjang SMA/SMK/MA/Paket C setara SMA menjadi 64,2 persen; meningkatnya APS penduduk usia 16–18 tahun menjadi 65,8 persen; dan meningkatnya APK jenjang pendidikan tinggi menjadi 17,2 persen;3. Meningkatnya proporsi pendidik yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan standar kompetensi yang disyaratkan, serta meningkatnya kesejahteraan pendidik;4. Menurunnya angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 6,2 persen, bersamaan dengan makin berkembangnya budaya baca; dan5. Meningkatnya keadilan dan kesetaraan pendidikan antarkelompok masyarakat termasuk antara perkotaan dan perdesaan, antara daerah maju dan daerah tertinggal, antara penduduk kaya dan penduduk miskin, serta antara penduduk laki-laki dan perempuan.
C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2008
Arah kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2008 dirumuskan dengan merujuk pada RPJMN 2004-2009 serta konvensi internasional mengenai pendidikan atau berkaitan dengan pembangunan pendidikan seperti Pendidikan untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs), dan World Summit on Sustainable Development.
Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, kebijakan pembangunan pendidikan pada tahun 2008 mencakup (i) pemerataan dan perluasan akses pendidikan, (ii) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan (iii) pemantapan good governance, yang dirinci sebagai berikut:1. Memperluas akses pendidikan dasar bermutu yang lebih merata dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada penduduk miskin, masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan, daerah tertinggal dan terpencil, daerah konflik, wilayah kepulauan, dan masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus melalui penyediaan bantuan operasional sekolah (BOS) termasuk BOS Buku, penyediaan beasiswa bagi siswa miskin pada jenjang SD-MI dan SMP-MTs, pembangunan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan termasuk pembangunan SD-SMP dan MI-MTs satu atap, serta pembangunan asrama murid dan mess guru di daerah terpencil;2. Memperbaiki distribusi guru dan meningkatkan kualitas pendidik berdasarkan kualifikasi akademik dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui sertifikasi, serta peningkatan kesejahteraan guru;3. Meningkatkan pemerataan, mutu dan relevansi pendidikan menengah seluas-luasnya baik melalui jalur formal maupun nonfomal, yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat melalui penyediaan beasiswa untuk siswa miskin, penyediaan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan, dan pengembangan kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri sejalan dengan upaya meningkatkan relevansi pendidikan menengah dengan kebutuhan pasar kerja;4. Meningkatkan pemerataan, mutu, dan relevansi pendidikan tinggi dengan memperkuat otonomi perguruan tinggi dan peningkatan intensitas penelitian yang relevan dengan kebutuhan pembangunan, untuk membangun daya saing nasional yang didukung dengan penyediaan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan;5. Meningkatkan intensitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional, yang didukung oleh upaya menumbuhkan budaya baca untuk membangun masyarakat membaca (literate society);6. Meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan untuk secara bertahap mencapai standar nasional pelayanan pendidikan melalui penataan perangkat lunak (software) seperti perbaikan kurikulum, pemantapan sistem penilaian dan pengujian, dan penyempurnaan sistem akreditasi;7. Meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan anak usia dini melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan didukung dengan sinkronisasi penyelenggaraan pendidikan dan perawatan anak usia dini yang dilakukan oleh sektor-sektor pembangunan terkait dan peningkatan peranserta masyarakat;8. Meningkatkan kualitas pengelolaan pelayanan pendidikan sejalan dengan penerapan prinsip good governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya pendidikan. Sejalan dengan itu anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk satuan pendidikan termasuk untuk rehabilitasi dan penambahan sarana dan prasarana pendidikan diberikan dalam bentuk block grant atau matching grant dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat; dan9. Meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan pendidikan baik dalam penyelenggaraan maupun pembiayaan pendidikan, termasuk yang diwadahi dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah.
Sumber :http://blog.appidi.or.id/?p=414

Tidak ada komentar:

Posting Komentar