Minggu, 08 Maret 2009

Pendidikan, Upaya Awal Pemberdayaan Masyarakat

Seperti kita ketahui, yang dimaksud dengan pendidikan dapat kita bedakan dalam tiga kategori besar. Pertama, pendidikan formal seperti yang didapatkan di sekolah dengan ciri ada guru, ada murid, ada metode, dan biasanya dilaksanakan secara formal di dalam kelas tertentu. Kedua, pendidikan informal dengan pola yang mirip seperti pendidikan formal, namun lebih pada keterampilan tertentu seperti kursus dan lain-lain yang ditandai dengan kredibilitas pemberian ijazah dan sejenisnya. Ketiga, pendidikan non formal yang umumnya tidak memiliki ciri selengkap pendidikan formal dan informal, namun intinya adalah peningkatan SDM, yang tidak disertai dengan pemberian ijazah, sertifikat dan lain-lain. Walau demikian, ada pula yang mengkategorikan menjadi dua bagian saja, dengan pertimbangan pendidikan in formal sama saja dengan pendidikan non formal.

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, tidak harus selalu melalui pendidikan formal, bahkan cenderung lebih tepat pada pendidikan non/in formal yang lebih menekankan murid (dalam hal ini masyarakat) dipandang sebagai subyek, bukan obyek. Demikian pula dalam salah satu siklus P2KP, kegiatan pelibatan masyarakat ke dalam tahapan Pemetaan Swadaya (PS) sudah terlihat sebagai pembelajaran masyarakat saat melihat permasalahan dan potensi yang ada, yang kelak dipakai sebagai acuan atau bahan dasar dalam perencanaan selanjutnya.

Pola pembelajaran dengan pelibatan masyarakat ini merupakan salah satu jenis pemberdayaan masyarakat, yang kelak diharapkan dapat mengembangkan diri dan wilayahnya sendiri, karena paham akan permasalahan-potensi dan mengurutkan prioritas untuk pengembangan selanjutnya.

Terkait hal ini, Kusnaka Adimihardja, Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) mengatakan, salah satu strategi yang tepat untuk memberdayakan masyarakat Indonesia adalah dengan terapan teknik Participatory Research Appraisal (PRA). Para “pemberdaya” sering mengartikan PRA sebagai Participatory Rural Appraisal, namun mereka lupa bahwa masyarakat yang diberdayakan bukan hanya di rural, namun di urban pula.

Ini tidak berlebihan mengingat Participatory Research Appraisal ini pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan teknik yang telah diterapkan sebelumnya yakni:

1. Participatory Rural Appraisal
2. Participatory Research and Development
3. Participatory Rapid Appraisal
4. Participatory Assessment and Planning
5. Participatory Technology Development
6. Participatory Learning Methods
7. Participatory Action Research
8. Participatory Learning and Action
9. dan lain-lain

Intinya, dalam proses perubahan ini masyarakat dilibatkan sebagai subyek yang turut serta dalam setiap tahapan perubahan itu, bukan hanya sebagai penonton yang tahu beres dan tidak terlibat dalam prosesnya. Karena, akibatnya masyarakat tidak merasa memiliki dan cenderung acuh tak acuh ketika proses perubahan/pembangunan itu selesai dilaksanakan. Selain pelibatan masyarakat dalam tiap tahapannya, dalam PRA seorang praktisi berusaha menempatkan dirinya sebagai “insider” walau sebenarnya dia orang luar.

Dalam hal ini, “lebih baik mendekati benar daripada benar-benar salah” dalam menentukan parameter yang standar dan dimengerti. Untuk itu, masyarakat sendirilah yang membuat peta, model, diagram, pengurutan/rangking, memberi nilai (angka), mengkaji dan menganalisa, memberikan contoh, identifikasi dan prioritas masalah, menyampaikan hasil, kaji ulang dan rencana aksi, serta pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam menentukan indikator sosial lain.

Seluruh kegiatan pelibatan masyarakat ini tentu saja harus dipandang sebagai pembelajaran, seperti dalam seluruh rangkaian kegiatan/tahapan siklus P2KP, sejak RKM hingga KSM. Mulai belajar membuat kesepakatan menerima/menolak program; belajar mendefinisikan-ciri-kriteria, dll tentang kemiskinan; belajar mengidentifikasi masalah dan potensi wilayahnya sendiri; belajar demokrasi menentukan dan memilih pemimpin yang mempunyai nilai kemanusiaan; belajar menyusun rencana; belajar berkelompok menentukan perbaikan bersama, dan sejumlah pembelajaran lain.

Tentu saja dalam seluruh proses pembuatan peta, model, diagram, pengurutan/rangking, penilaian dan lain-lain itu, masyarakat tidak dibiarkan sendiri. Apalagi dalam proses mengkaji dan menganalisa. Dapat dikatakan, dalam pelaksanaan PRA ini sebagai “Learning by doing” bagi masyarakat, hingga selanjutnya diharapkan masyarakat dapat melakukannya sendiri, dengan atau tanpa dampingan orang luar. Karena itu dampingan seorang praktisi – dalam hal ini fasilitator – yang memposisikan diri sebagai “insider” tentu saja sangat diperlukan hingga seluruh pembelajaran masyarakat agar proses peningkatan kualitas hidupnya tidak melenceng dan benar-benar mendekati tujuan.

Proses “peleburan diri” seorang fasilitator dalam mencapai tujuannya ini, oleh Yugo Sarijoen –Antropolog senior Unpad yang menggeluti Grounded Research – lebih mendekati proses observasi partisipasi. Jelasnya dalam hal ini seorang fasilitator pemberdayaan semodel P2KP seyogianya paham dasar-dasar metoda penelitian masyarakat (tidak sekedar baca modul), apalagi jika punya label “Pemandu Nasional” agar pembelajaran non-formal pada masyarakat benar-benar mempunyai makna yang sebenarnya.

Sebagai seorang pendidik, MI Soelaeman dalam desertasinya mengatakan, “Jadilah guru yang baik, atau tidak sama sekali”, dalam hal ini tujuan program yang berkesinambungan, masyarakat berdaya menuju mandiri, dan motto "Bersama Membangun Kemandirian", dan sebagainya ini, bukan sekedar slogan kosong semata. Mampukah kita merealisasikannya?

sumber: http://www.p2kp.org/web/wartaprint.asp?mid=1944&catid=2&

Tidak ada komentar:

Posting Komentar