Minggu, 26 April 2009

Reposisi Peran Pendidikan Tinggi Farmasi dalam Penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Hasil Riset bagi Industri Nasional





Rasio ideal antara jumlah penduduk dengan tenaga apoteker di Indonesia adalah satu berbanding 10 ribu. Menurut data Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia atau ISFI, lulusan apoteker yang dihasilkan perguruan tinggi farmasi (PTF) hingga saat ini mencapai 27 ribu. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230 juta jiwa, maka rasio ideal ini telah terlampaui. "Sayangnya, jumlah yang besar ini tidak imbangi acara_pak_areldengan kualitas dan kompetensi apoteker yang sama," kata Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Drs. Arel St. S. Iskandar, MM., Apt. saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional "Reposisi Peran Pendidikan Tinggi Farmasi dalam Penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Hasil Riset bagi Industri Nasional", Kamis (19/03) di Ghra Sanusi Hardjadinata, Kampus Unpad Jl. Dipati Ukur 35 Bandung.

Dalam materinya berjudul "Kompetensi Apoteker dalam Memenuhi Kebutuhan SDM di Bidang Farmasi", Arel mengatakan, belum adanya kesamaan standar pendidikan farmasi di Indonesia, merupakan salah satu alasan bervariasinya kualitas dan kompetensi apoteker tersebut. Belum lagi tidak terkoordinasinya program magang atau praktik kerja di perusahaan-perusahaan farmasi menambah sulit untuk menyamakan kompetensi apoteker ini. "Untuk itu, melalui ISFI, kami berupaya memperkecil perbedaan kualitas dan kompetensi apoteker itu dengan sejumlah program," ujar Arel. Program tersebut, lanjut Arel, seperti melakukan konsolidasi anggota guna mendorong dan memberikan bantuan kepada anggota untuk melakukan pekerjaan keprofesiannya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Selain itu, dilakukan pula bantuan kredit profesi, guna memberika kesempatan bagi apoteker untuk bekerja mandiri.


"Hal lain yang kami lakukan adalah mengadakan Sertifikasi Kompetensi Profesi Apoteker atau SKPA yang diharapkan mampu meningkatkan kompetensi profesi apoteker secara lebih baik," tutur Arel. Sementara itu, Inspektur Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI, Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D. yang juga tampil sebagai pembicara mengungkapkan sejumlah hal penting mengenai sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia. Dijelaskannya, perdagangan internasional yang bersifat non-barier saat ini menyebabkan beredarnya ratusan ribu jenis makanan dan obat-obatan di pasar global. Di Indonesia produk makanan dan obat-obatan itu beredar senilai ratusan triliun rupiah, termasuk produk ilegal dan palsu, serta produk dengan degradasi mutu atau kadaluarsa.Untuk itu, lanjut Maura, diperlukan sistem pengawasan obat dan makanan dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang kuat dan memiliki networking nasional serta internasional. "Ini semata-mata dilakukan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan masyarakat, sekaligus memperkokoh perekonomian nasional," katanya.

Maura memaparkan, sistem pengawasan obat dan makanan atau sispom di Indonesia dibuat dalam tiga lapis yang dimulai dari industri farmasi, pemerintah, hingga masyarakat. Sebagai produsen, industri farmasi memiliki tanggung jawab yang besar atas mutu, keamanan, dan khasiat obat yang diproduksinya. Sementara itu, pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui peningkatan kesadaran dan pengetahuan mengenai kualitas produk dan penggunaannya yang rasional. Pemerintah, lanjut Maura, bertugas mengawasi peredaran obat dan makanan yang di antaranya dilakukan dengan melakukan standardisasi sarana produksi, distribusi, mutu bahan, cara-cara produksi dan produk jadi. Pemerintah juga perlu menilai dan menguji mutu, keamanan, dan khasiat sebelum produk dinyatakan boleh beredar. "Nah, sistem pengawasan ini dilakukan dengan peningkatan kompetensi dan kredibilitas Badan POM sebagai competent authority dan kerja sama lintas sektor," kata Maura.(eh)*

Laporan oleh: Ratih Anbarini

Sumber : www.unpad.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar