Kamis, 28 Mei 2009

Psikologi Anak Luar Biasa

BAB I
Kajian Psikologis tentang Perkembangan Anak

Secara umum perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia meliputi empat tipe, yaitu :
1. Perubahan ukuran yang meliputi perubahan fisik seperti bertambah tinggi,bertambah berat,besarnya organ-organ,dan sebagainya.
2. Perubahan proporsi,dapat diamati dari perbandingan antara ukuran-ukuran tubuh manusia yang mengalami perubahan.
3. Hilangnya sifat atau keadaan-keadaan tertent,misalnya hilangnya rambut dan gigi pada bayi,hilangnya sifat kekanak-kanakkan,hilangnya gerakan-gerakan bayi yang tidak bermakna,dsb.
4. Munculnya sifat-sifat atau keadaan baru,misalnya munculnya karekteristik-karakteristik seksual,standar-standar moral,dsb.

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN ANAK
1. Periode-periode perkembangan
Masa perkembangan anak meliputi lima periode sebagai berikut :
a. Periode pra-natal(sejak konsepsi sampai kelahiran)
b. Periode infasi(sejak lahir sampai 10-14 hari)
c. Masa bayi (sejak 2 minggu sampai 2 tahun)
d. Masa anak-anak ( sejak usia 2 tahun sampai masa remaja)
• Masa anak-anak awal (sejak usia 2 tahun sampai 6 tahun )
• Masa kanak-kanak akhir (sejak usia 6 sampai 13 tahun untuk anak perempuan dan 14 tahun untuk anak laki-laki ).
e. Masa Pubertas (sejak usia 11 tahun sampai 16 tahun)
2. Perkembangan fisik
Pertumbuhan terjadi dalam siklus yang teratur serta dapat diramalkan dan menunjukkan tempo yang berbeda-beda pada usia yang berbeda dan bagian tubuh yang berbeda pula.
Tinggi dan berat tubuh anak ditentukan oleh hormon pertumbuhan yang ada pada kelenjar pituitari. Ukuran tubuh mempengaruhi penampilan,koordinasi motorik, dan status kematangan anak.
Pengapuran tulang anak mempengaruhi penampilan dan tingkah laku anak, dan kedua aspek ini mempengaruhi konsep diri anak. Perbandingan otot dan lemak pada tubuh anak secara langsung mempengaruhi tipe dan kualitas tingkah laku anak. Perbandingan itu secara tidak langsung mempengaruhi reaksi anak terhadap bentuk tubuhnya dan dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap hal tersebut.
Gigi susu anak mempengaruhi anak secara fisik dan keseimbangan,Sedangkan gigi tetap anak mempengaruhi anak secara psikologis dengan peran menunjukkan tanda kematangan dan pengaruh terhadap penampilan dan kegiatan berbicara anak. Kondisi kesehatan anak berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik,kualitas energi,perkembangan diri,keadaan emosi,tingkah laku sosial,dan prestasi sekolah anak.

3. Perkembangan kemampuan kognitif
Piaget memandang intelegensi sebagai suatu proses adaptif dan menekankan bahwa adaptasi melibatkan fungsi intelektual.piaget membahas proses adaptasi yang diartikan sebagai keseimbangan antara kegiatan organisme dan kegiatan lingkungannya. Dengan demikian lingkungan dipandang sebagai suatu hal yang terus menerus mendorong organisme untuk menyesuaikan diri terhadap situasi realitas,demikian pula secara timbal balik organisme secara konstan menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan bagian dari dirinya.

a. Asimilasi dan Akomodasi.
Organisme menyesuaikan lingkungannya terhadap sistem biologis yang sudah ada,proses ini disebut piaget sebagai asimilasi. Organisme mengasimilasikan lingkungan atau persepsinya mengenai lingkungan ke dalam sistem yang sudah ada dalam diri organisme. Modifikasi organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya disebut piaget sebagai akomodasi. Organisme mengakomodasikan dirinya terhadap realitas eksternal.Dalam setiap kegiatan intelektual selalu merupakan interprestasi terhadap lingkungannya (asimilasi mental) suatu usaha untuk menstrukturkan situasi menurut suatu sistem yang sudah ada. Setiap kegiatan mental selalu melibatkan beberapa adaptasi sistem yang ada terhadap kondisi realitas yang sudah ada pada waktu itu.

b. Keseimbangan
Adaptasi adalah keseimbangan akomodasi dan asimilasi. Hal ini berarti bahwa interaksi antara organisme dan lingkungannya berada dalam keadaan seimbang.
Defenisi lain, adaptasi adalah kegiatan mental dimana untuk pertama kalinya individu berusaha menghadapi suatu bagian lingkungan \,misalnya seorang remaja yang baru belajar berdansa tidak melaksanakan kegiatan adaptasi karena dalam hal ini akomodasi menguasai asimilasi

c. Skema
Kecendrungan untuk melatih atau mengulang skema disebut piaget ‘asimilasi fungisional’ atau ‘asimilasi reproduktif’. Hal tersebut menyebabkan skema-skema tersebut menjadi terintegrasi dengan lebih baik,lebih stabil,dan lebih mantap.
Dalam hal ini dikenal empat periode utama dalam ontogenik inteligensi dalam sistem paiget yang masing-masing dapat dibagi dalam beberapa periode dan tahap.
Periode pertama dalam perkembangan inteligensi atau kognitif adalah periode inteligensi senso-motorik yang dimulai pada awal kelahiran dan berakhir pada usia 2 tahun, dan menjadi 6 tahap yang berbeda dan dibagi lagi menjadi beberapa sub-tahap.





a) Periode Inteligensi Senso-Motor (sejak lahir sampai 2 tahun)
• Tahap pertama; pelaksanaan skema refleksi (sejak lahir sampai 1 bulan).
Pada tahap ini terjadi refleksi neo-natal seperti menghisap,refleksi menggenggam,dan refleksi moro.selama tahap ini,bayi yang baru dilahirkan melatih atau mempraktekkan reflek-reflek ini dan menjalani proses menuju ke arah kemantapan dan keefesienan.
• Tahap kedua; adaptasi pertama yang dipelajari dan reaksi sirkuler yang pertama (sejak 1 bulan sampai 4 bulan).
Pada tahap ini skema refleks banyak mengalami perubahan sebagi hasil interaksi bayi dengan lingkungannya. Pada tahap ini proses asimilasi timbal balik,maka terbentuklah suatu koordinasi dalam bentuknya yang paling sederhana di antara berbagai skema,misalnya menghisap dan melihat,menggenggam dan menghisap,melihat dan mendengar.
• Tahap ketiga; reaksi sirkuler 9dari 4 bulan sampai 8 bulan ).
Selama tahap ini anak menjadi terorientasi pada dirinya dan sekelilingnya. Mereka menunjukkan tanda-tanda pertama bahwa mereka mengenal yang sudah biasa dihadapinya dan menunjukkan intensionalitas tingkah lakunya.
• Tahap keempat; koordinasi skema sirkuler (dari 8 bulan sampai 12
Bulan).
Pada tahap ini orientasi bayi makin terarah ke arah dunia luar dirinya.pada tahap ini, bayi mulai mengantisipasi apa yang akan terjadi dan dengan kemampuannya untuk perta kali dengan jelas terlihat bahwa bayi mulai berusaha mempengaruhi masa depannya.
• Tahap kelima; reaksi sirkiler tersier (mulai 12 bulan sampai 18 bulan).
Pada saat ini asimilasi dan akomodasi dapat dibedakan dengan jelas. Akomodasi tidak lagi sekedar dipaksakan pada anak-anak,sebab dia mulai secara aktif mencari pengalaman-pengalaman untuk mengadakan akomodasi dengan melakukan percobaan-percobaan terhadap lingkungannya.Hal ini menandai mulainya adaptasi baru yang ditunjukkan oleh piaget bahwa orang memiliki ciri atau sifat intelegensi yang sesungguhnya.
• Tahap keenam; penemuan cara baru melalui kombinasi mental
(18 bulan dan seterusnya sampai 2 tahun ).
Pada tahap ini mereka mulai dapat mengungkapkan secara simbolis kejadian-kejadian yang tidak ada dalam bidang persepsi mereka dan mulai menggabungkan image-image atau simbol-simbol ini secara internal.

b). Periode Pemikiran Pra-Operasional(mulai 2.0 sampai 7.0 tahun )

Pada peride sensomotorik anak-anak hanya tertarik pada persoalan apakah respon yang mereka dapat memberikan hasil yang mereka inginkan, mereka tidak mempersoalkan cara mereka memperolh hasil tersebut (mempersoalkan what) tidak mempersoalkan ‘how’.Intelegensi pada periode ini tidak bersifat reflektif : Pada periode ini tidak terdapat suatu hal yang merupakan usaha untuk mengejar atau memperoleh pengetahuan atau kebenaran. Pada periode sensomotorik anak hanya mempersoalkan aspek kongkrit tentang dunia realitas;jarak spatio-temporal antara anak dengan objek yang mereka persoalkan sangatlah dekat.
Menerut piaget syarat utama untuk representasi realitas dalam diri individu adalah kemampuan untuk membedakan antara ‘significate’.Signifer adalah suatu resperentasi internal,seperti misalnya image atau kata-kata yang melambangkan atau mewakili beberapa aspek realitas.Significate adalah pengertian anak mengenai aspek realitas tersebut di atas.Bagi anak-anak mengenai baju tidur merupakan isyarat bagi bayi bahwa mereka akan dibawa ke tempat tidur,anak tidak menyadari perbedaan antara signifer dengan significate.Berbeda dengan anak yang lebih besar yang bermain-main dengan memberikan makanan kepada anjing mainannya,mengerti bahwa potongan kayu yang dianggap biskuit untuk anjing hanya merupakan lambang dan yang dilambangkan adalah biskuit. Dalam hal ini anak-anak yang berada pada periode pra-oprasional atau taraf yang lebih tinggi,menunjukkan kemampuan untuk menimbulkan secara internal suatu aspek dari dunia yang secara perseptual tidak hadir dan dapat mengenal atau mengetahui bahwa mereka melakukan hal tersebut.Anak menunjukkan kemampuan untuk mengadakan signifer dan significate.
Proses pemikiran pra-oprasional pada dasarnya bersifat egosentris. Selama periode ini anak-anak tidak mengembangkan kemampuan untuk memandang suatu masalah dari berbagai sudutMereka tidak dapat menduga posisi kognotif orang lain atau melihat sudut pandangnya sendiri sebagai salah satu sudut pandang yang mungkin dari sekian banyak kemungkinan yang ada.Jadi mereka tidak perlu mempertahankan pandangan mereka atau menilai,membenarkan logika mereka.Anak-anak pada periode pra-oprasional cenderung untuk memusatkan perhatian mereka pada ciri-ciri yang paling menarik dari suatu stimulus.
Keterbatasan lain pada periode ini ialah kenyataan bahwa anak tidak dapat melaksanakan penalaran secara rasional.Penalaran pada periode pra-oprasional ini berlatih dari yang bersifat khusus ke sifat lainnya dan tidak bergerak bolak-balik. Keterbatasan lain dalam pemikiran pra-oprasionalmelibatkan kemampuan anak untuk berpikir maju(forward) maupun berpikir mundur(backward). Anak-anak pada periode pra-oprasional tidak dapat berpikir dengan gerak seperti itu tanpa menimbulkan distori pada usur-unsur pemikiran tersebut.

c). Periode Oprasional Konkret (mulai usia 7.0 – 11.0 tahun)
Anak-anak pada periode ini beroperasi pada taraf pemikiran representasional tepat seperti anak-anak pada periode pra-oprasional tetapi terdapat suatu perbedaan yang menyolok yaitu bahwa pada anak-anak yang berada pada periode operasinal kongkrit terdapat sistem kognitif yang terorganisasi dengan baik dan memungkinkan mereka menghadapi lingkungannya secara lebih efektif.
Aspek perkembangan kognitif lain yang penting pada periode operasi konkret ini adalah kemampuan untuk membentuk klasifikasi hirarkis dan kemampuan untuk mengerti hubungan yang ada di antara berbagai taraf hiararki tersebut. Pada waktu anak mencapai usia 7 tahun sampai dengan 11 tahun mereka membentuk klasifikasi hirarkis dan menguasai masalah pengelompokkan ke dalam satu kelas,dengan demikian mereka menguasai bagian dan juga menguasai keseluruhan sekaligus yang berarti bahwa dia sudah menguasai operasi kongkrit.
Dengan demikian anak-anak pada periode ini mulai menghadapi orang lain secara rasional. Mereka mulai mengerti dan bahkan mulai merumeskan aturan-aturan logis. Piaget (1960) telah mencatat bahwa anak-anak pada periode operasinal kongkrit cenderung untuk bermain dalam permainan yang memiliki aturan-aturan yang teroorganisasi secara kogeren dan logis. Komunikasi anak-anak dengan orang lain pada periode operasional kongkrit menjadi makin kurang egosentris dan menjadi lebih bersifat sosial.

d). Periode Operasi-operasi Formal (11 tahun dan selanjutnya).
Dalam pemikiran operasinal formal,berawal dari kemungkinan-kemungkinan yang hipotesis atau teoretis dan bukan berawal dari hal-hal yang nyata,seperti yang diungkapkan Flavell (1963). Anak-anak yang berada pada periode pra-operasional akan memecahkan masalah ini dengan cara yang sangat tidak sistematis,mula-mula mencoba salah satu cara kemudian mencoba cara lain, dan nampaknya mereka tidak memiliki rencana yang menyeluruh. Tidak adanya organisasi kognitif menyebabkan tidak dapat membuat dan menguji hipotesis secara sistematis.
Pendekatan anak-anak pada periode operasional formal menunjukkan bahwa merek cenderung untuk berpikir mengenai seluruh kemungkinan kombinasi sebelum mereka memulai dengan eksperimennya. Mereka mampu membuat rencana eksperimen yang efektif dan teratur dan mengisolasi faktor-faktor yang menentukan dan memvariasikan satu demi satu dan hanya meneliti satu faktor pada setiap percobaan,dan mempertahankan faktor-faktor lain agar tetap konstan. Mereka melakukan pengamatan yang teliti dan menarik kesimpulan logis dari hasil yang mereka peroleh.

4. Perkembangan Emosi
a. Peranan Emosi dalam Kehidupan Anak
Dalam kehidupan anak,emosi memiliki sejumlah peranan,antara lain :
 Emosi menambah kesenangan terhadap pengalaman sehari-hari, baik pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang tidak menyenangkan.
 Emosi mempersiapkan tubuh anak untuk mengadakan kegiatan melalui reaksi-reaksi fisiologis yang menyertai emosi tersebut.
 Ketegangan emosi menyebabkan terganggunya keterampilan motorik,misalnya terhadap kegiatan berbicara,orang dapat menjadi gagap.
 Emosi berperan sebagai bentuk komunikasi, dengan ekspresi dan reaksi-reaksi tubuh lainnya seseorang menyampaikan perasaanyya kepada orang lain.
 Emosi mempengaruhi aktivitas mental secara umum. Emosi yang tidak menyenangkan, menyebabkan penurunan prestasi dari aktivitas mental.
 Emosi merupakan sumber penilaian sosial dan penilaian diri.
 Emosi mewarnai pandangan seseorang mengenai kehidupan.
 Emosi mempengaruhi interaksi seseorang.
 Emosi yang tidak mentenangkan mendorong anak untuk mengubah tingkah laku sosial
 Respon emosional bila diulangi terus menerus akan menjadi suatu kebiasaan.
 Emosi membekas pada ekspresi wajah secara umum
 Emosi mempengaruhi iklim psikologis lingkungan sekelilingnya

b. Pola Perkembangan Emosi
Secara umum dapat disimpulkan bahwa respon emosional menunjukkan perkembangan mulai dari respon yang difus,random, dan tidak terdeferensiasi menjadi respon yang jelas, terarah, dan terdefernsiasi..
Pada mulanya seorang bayi menunjukkan ketidaksenangannya dengan menjerit dan menangis. Ketika bayi tersebut bertambah besar, ketidaksenangannya diungkapkan dalam bentuk melemparkan benda, mengejangkan tubuh, memalingkan muka , berlari, bersembunyi, dan sebagainya. Dengan bertambahnya usia, respon motorik cenderung menurun dan digantikkan dengan respon yang bersifat verbal.
Pola emosi pada masa anak-anak menunjukkan kecendrungan untuk tetap bertahan kecuali jika anak yang bersangkutan mengalami perubahan radikal dalm segi kesehatan, lingkungan, atau hubungan personal sosialnya.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Perkembangan emosi secara umum dipengaruhi dua faktor penting yang berhubungan satu dengan lainnya yaitu kematangan dan proses belajar.
Kematangan intelektual memungkinkan seorang anak mengerti arti-arti baru yang sebelumnya tidak dimengerti, memusatkan perhatian untuk jangka waktu yang lebih lama, dan memusatkan ketegangan emosional pada suatu objek tertentu.
Proses belajar mencoba-coba didasarkan pada pengalaman di masa lalu. Proses belajar jenis ini secara khusus mempengaruhi aspek respon dari pola emosi, untuk memperoleh cara pengungkapan emoi yang paling memuaskan baginya. Proses belajar seperti ini biasanya dijumpai pada awal masa anak-anak. Proses belajar ini kemudian akan diganti dengan proses belajar yang lebih efisien dan perubahan ini dipengaruhi oleh bimbingan yang diberikan kepada anak tersebut.

d. karakteristik – karakteristik Emosi Anak
Adapun karakteristik-karakteristik emosi anak dapat diuraikan sebagai berikut :
 Pada masa anak-anak, respon emosional menunjukkan intensitas yang sama terhadap semua kejadian, belum terdeferensiasi dalam hal intensitas.
 Pada masa anak-anak,respon emosional menunjukkan frekuensi yang tinggi, karena anak belum mampu menyesuaikan diri terhadap situasi yang menimbulkan emosi.
 Pada masa anak-anak, respon emosional bersifat sementara, sangat mudah beralih dari satu respon ke respon lain yang sangat berbeda
 Setiap bayi beremosi, namun demikian dengan bertambahnya usia bayi serta pengaruh proses belajar dan pengaruh lingkungan, tingkah laku yang menyertai emosi tertentu menjadi lebih bersifat individual.
 Emosi berubah dalam kekuatannya.
 Emosi dapat diketahui melalui gejala tingkah laku.





e. Pola – pola Emosi yang Umum
Beberapa bulan setelah bayi dilahirkan, pola-pola emosi terdeferensiasi yang mulai terbentuk adalah:
 Takut
 Malu (Shyness)
 Malu (Embarassment)
 Kekhawatiran
 Kecamasan (Anxiety)
 Marah
 Iri Hati
 Sedih
 Hasrat ingin Tahu
 Kesukaan,kesanggupan,kegembiraan (Joy,pleasure,Delight)
 Kasih sayang

f. Perkembangan Emosional
Perkembangan emosional anak mempunyai satu arah yaitu keseimbangan emosional yang diartikan sebagai suatu keadaan pengendalian emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.
Keseimbangan emosional ini dapat dicapai melalui dua cara, yaitu mengendalikan lingkungan dan mengembangkan toleransi emosional yang berarti mengembangkan kemampuan untuk menahan akibat emosi yang tidak menyenangkan.








5. Perkembangan Sosial
a. Tuntutan Sosial (social Expectations)
Beberapa kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial adalah :
• Keadaan yang dibawa sejak lahir,hal ini biasanya berhubungan dengan keadaan diri individu yang tidak dapat diperbaiki,misalnya cacat tubuh.
• Seorang anak yang telah berhasil memenuhi tuntutan sosial kelompok tertentu mungkin akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial kelompok lainnya.
• Penyesuaian diri seorang anak terhadap tuntutan sosial kelompok, akan berlangsung dengan sulit bila anak tersebut tidak dapat menerima ideal kelompok tersebut.
• Anak yang telah berhasil menguasai tuntutan sosial pada suatu tingkat umur tertentu.
• Kebingungan akibat tuntutan sosial yang kurang jelas.
• Kurangnya kesempatan bagi anak untuk mempelajari pola tingkah laku yang dapat diterima oleh suatu kelompok.
• Kurangnya motivasi untuk memenuhi tuntutan sosial juga akan menimbulkan kesulitan bagi anak.

b. Pengalaman Sosial pada Usia Dini
Pengalaman sosial pada usia dini yang tidak menyenangkan menimbulkan pengaruh yang merugikan, karena usia dini merupakan suatu masa yang kritis bagi pembentukan sikap sosial yang mendasar. Bila sikap sosial yang mendasar itu sudah terbentuk, maka sulit untuk diubah.
Pengaruh keluarga dan lingkungan di luar keluarga merupakan hal yang penting bagi perkembangan sosial anak. Di samping itu, posisi anak dalam urutan anak-anak dalam keluarga dan jumlah anggota keluarga juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak.

c. Pengaruh Kelompok Sosial
Pola pengaruh kelompok sosial bagi seorang anak bersifat universal.Orang-orang yang sangat mempengaruhi Pola perkembangan sosial anak yaitu : keluarga, guru, Teman-teman seusia. Selain itu juga perlu diperhatikan faktor-faktor yang ada dalam kelompok sosial yang berpengaruh terhadap anak, yaitu : Penerimaan kelompok, Kapasitas status, Tipe kelompok, Popularitas, Kepribadian anak yang bersangkutan, Motif untuk bergaul (afiliasi).

d. Landasan Pemikiran mengenai perkembangan sosial
Perkembangan sosial merupakan suatu hal yang relatif konstan, hal ini berlandaskan pada dua alasan, yaitu :
1). Pola perkembangan fisik dan mental serupa untuk semua anak. Perbedaan yang dapat dikatakan tak berarti biasanya disebabkan oleh kecerdasan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian anak-anak menguasai tugas perkembangan pada usia yang kurang lebih sama.
2). Dalam suatu kelompok kultur, tekanan dan tuntutan sosial mengarah pada pengalaman belajar yang sama bagi semua anak. Bila seorang anak menunjukkan tingkah laku yang sangat berbeda dibandingkan dengan anak-anak seusia, maka hal itu berarti bahwa anak itu mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosialnya.

PERKEMBANGAN SOSIAL PADA MASA ANAK-ANAK AWAL
Dari usia 2 sampai 6 tahun, anak mulai melaksanakan kontak sosial dengan orang-orang di luar keluarganya terutama dengan anak-anak seusianya.Mulai belajar untuk menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan teman-temannya.Makin banyak kontak sosial yang terjadi pada usia dini, semakin baik penyesuaian sosialnya di masa yang akan datang.
1. Hubungan dengan Orang Dewasa
Dengan meningkatnya usia, anak menunjukkan penurunan minat untuk bergaul dengan orang dewasa dan sejalan dengan itu anak menunjukkan minat yang meningkat untuk bergaul dengan anak-anak seusianya. Hal ini terungkap dalam bentuk tingkah laku yang tidak tergantung pada orang dewasa bukan menentang otoritas orang dewasa.
2. Hubungan dengan anak-anak lain
Pada usia 2 tahun, anak-anak bermain sendiri walaupun mereka berkumpul di suatu tempat tertentu. Interaksi sosial sangat sedikit dan hanya berbentuk tingkah laku meniru atau memandang anak lain.Mulai usia 3 tahun, anak-anak mulai bermain bersama dalam kelompok, berbicara satu dengan lainnya, bersama-sama menentukan kegiatan apa yng mereka lakukan. Pada usia ini anak mulai menunjukkan pendekatan yang baik pada teman-temannya.
3. Bentuk-bentuk Tingkah Laku Sosial yang Umum
Bentuk-bentuk tingkah laku sosial yang biasa dijumpai pada masa anak-anak adalah :
1. Negativisme
2. Agresi
3. Kerja sama
4. Tingkah laku Menguasai
5. Kemurahan Hati
6. Ketergantungan
7. Persahabatan
8. Simpati
5. Pola Tingkah laku Sosial dalam Masa Anak-anak Akhir
Beberapa pola tingkah laku pada masa anak-anak akhir adalah :
(1). Kepekaan terhadap penerimaan dan penolakan sosial.
(2). Kepekaan yang berlebihan
(3). Sugestibilitas dan kontra sugestibilitas seperti kepekaan yang berlebihan
(4). Persaingan
(5). Kesportifan.
(6). Tanggung Jawab
(7). Insight sosial
(8). Diskriminasi sosial
(9). Prasangka

PERKEMBANGAN SOSIAL PADA MASA REMAJA
Pada masa remaja, seorang anak menunjukkna kecendrungan menyendiri. Dengan meningkatnya usia, sikap dan tingkah lakunya sering menunjukkan sikap antisosial sehingga masa remaja sering kali disebut fase negatif.
Perkembangan Kepribadian
Dalam situasi sosial yang kompleks, guru dan orang tua menunjukkan perhatian terhadap usaha untuk mengembangkan pola kepribadian anak untuk mengembangkan pola kepribadian anak untuk mencapai suatu penyesuaian diri yang baik dalam lingkungan, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang.

Pola Kepribadian
Pola kepribadian terdiri dari dua komponen, yaitu komponen inti yang disebut konsep diri dan komponenpenunjang yang disebut sifat (trait). Pola kepribadian orang normal dan yang abnormal dibedakan berdasarkan derajat organisasinya. Pola kepribadian orang normal terorganisasi, komponen-komponennya menunjukkan hubungan yang erat dan berstruktur, sedangkan kepribadian orang abnormal menunjukkan disorganisasi.
Stabilitas konsep diri seseorang tergantung pada beberapa hal antara lain :
1). Perlakuan yang tidak konsistan yang menyebabkan perbedaan perlakuan di dalam
Keluarga.
2). Kesenjangan antara konsep diri yang riil dan konsep yang dicita-citakan.

Perkembangan Pola kepribadian
Perkembangan pola kepribadian dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : pembawaan sejak lahir, pengalaman pada masa dini dalam keluarga, dan pengalaman dalam masa kehidupan selanjutnya. Dalam membicarakan perkembangan pola kepribadian akan dibicarakan secara terpisah :
a. Perkembangan konsep diri
Konsep diri diperoleh seorang anak melalui kontaknya dengan manusia lain. Pada mulanya orang-orang yang berarti bagi seorang anak adalah anggota keluarganya, sesudah itu meluas menjadi kelompok teman-teman seusia dan guru.Faktor pembawaan mempengaruhi perkembangan seseorang dalam bentuk cara anak menginterpretasikan perlakuan yang diterimanya dari orang lain.Menjelang masa remaja, konsep diri seorang anak biasanya sudah mantap walaupun masih terbuka kemungkinan perubahan bila anak memperoleh pengalaman pribadi atau pengalaman sosial yang berarti.
b. Perkembangan sifat
Sifat merupakan hasil proses belajar dan berdasar pada faktor-faktor keturunan. Beberapa sifat kepribadian dipelajari dengan cara mencoba-coba.Anak-anak mengembangkan sifat kepribadiannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya untuk dikagumi oleh anggota kelompoknya. Dengan demikian anak tersebut akan diterima dan diakui sebagai anggota kelompok.

















BAB II
KARAKTERISTIK DAN
PERKEMBANGAN
ANAK TUNANETRA

A. Pengertian Gangguan Penglihatan (Ketunanetraan)
Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut :
• Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
• Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
• Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
• Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya(visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca jarak 21 meter.
Berdasarkan acuan tersebut,anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
(1). Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0)
(2). Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.


B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketunanetraan
Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya : kecelakaan,terkena penyakit siphlis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyaratan rusak,dll.

C. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Tunanetra juga akan mengenal bentuk, posisi,ukuran, dan perbedaan permukaan melalui perabaan. Melalui bau yang diciumnya ia dapat mengenal seseorang, lokasi objek, serta membedakan jenis benda. Walaupun sedikit perannya melalui pengecapan, tunannetra juga dapat mengenal objek melalui rasanya walaupun terbatas. Karena itu bagi tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau yang diciumnya, ,kualitas kesan yang dirabanya, dan rasa yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya. Implikasinya, kebutuhan akan rangsangan sensoris bagi anak tunanetra harus benar-benar diperhatikan agar ia dapat mengembangkan pengetahuannya tentang benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang ada di lingkungannya.
Karena kurangnya stimuli visual, perkembangan bahasa anak tunanetra juga tertinggal dibanding anak awas. Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata terbagi atas dua golongan,yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalamnnya sendiri, dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari orang lain yang ia sendiri sering tidak memahaminya. Komunikasi nonverbal pada tunanetra juga merupakan hal yang kurang dipahaminya karena kemampuan ini sangat tergantung pada stimuli visual dari lingkungannya. Dalam hal pemahaman bahasa, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan anak awas, kosakata anak tunanetra cenderung bersifat definitif, anak awas cenderung lebih luas.


Bagi anak tunanetra proses pencarian keseimbangan ini tentu tidak semudah orang awas, sebabnya adalah penggunaan teknik asimilasi maupun akomodasi sangat terkait erat dengan kemampuan indera penglihatan sebagai modalitas pengamatan terhadap objek atau hal-hal baru yang ada di lingkungannya.
Pada tahap sensorimotor yang ditandai dengan penggunaan sensori-motorik dalam pengamatan dan pengindraan yang intensif terhadap dunia sekitarnya, pada anak tunanetra prestasi intelektual dalam perkembangan bahasa mungkin bukan masalah besar, asal lingkungan memberi stimuli yang kuat dan intensif terhadap anak. Tanpa stimuli tersebut bukan tidak mungkin perkembangan bahasa anak juga terhambat karena pengamatan visual juga merupakan faktor penting dalam menumbuhkembangkan bahasa anak.Sedangkan prestasi intelektual dalam konsep tentang objek, kontrol, skema, dan pengenalan hubungan sebab akibat jelas akan mengalami kelambatan.
Pada tahapan pra-operasional yang ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang khusus; sapi disebut kerbau), Dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum memahami cara orang memandang objek yang sama), serta bersifat searah, anak tunanetra cenderung mengalami hambatan atau kesulitan dalam cara-cara berpikir seperti itu. Ketidakmampuannya dalam menggunakan indera penglihatan sebagai saluran informasi cenderung mengakibatkan kesulitan dalam belajar mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri yang mencolok (menonjol) atau kriteria tertentu.
Pada tahapan operasional konkret yang ditandai dengan kemampuan anak dalam mengklasifikasikan, menyusun, mengasosiasikan angka-angka atau bilangan, serta proses berpikir, walaupun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret, anak tunanetra dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam batas-batas tertentu, namun secara umum hal ini akan sulit dilakukan. Ini disebabkan oleh sistem organisasi kognitif sebelumnya yang mutlak diperlukan dalam cara-cara seperti di atas tidak terorganisasi secara utuh pada anak tunanetra.
Pada tahapan operasinal formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah formalyang tidak terikat lagi dengan objek-objek yang bersifat konkret, seperti kemampuan berpikir hipotesis deduktif. Anak tunanetra dalam hal-hal tertentu mungkin dapat melakukan dengan baikwalaupun sifatnya sangat verbalistis. Namun demikian, karena dalam perkembangan kognitif ini sifatnya hierarkis, artinya tahapan sebelumnya akan menjadi dasar bagi berkembangnya tahapan berikutnya, pencapaian tahapan operasi formal ini juga akan dicapai secara utuh oleh anak tunanetra.

D. Perkembangan motorik anak tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan anak awas pada umumnya. Kelambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungisional antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot)dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif).
Bagi anak awas, mungkin sangat mudah melihat dan memahami batas wilayah ruang geraknya,bahaya-bahaya apa yang mungkin timbul, serta belajar menirukan bagaimana orang lain melakukan sesuatu aktivitas motorik. Namun bagi anak tunanetra, hal ini adalah masalah besar. Anak hanya akan tahu batas wilayah ruang geraknya sepanjang jangkauan tangan dan kakinya. Ia hanya tahu ada bahaya sepanjang bahaya tersebut dapat dideteksi oleh tangan, kaki atau indera pendengaran dan penciumannya.ia juga tidak dapat menirukan bagaimana orang lain melakukan sesuatu aktivitas gerak dengan melihatnya. Hambatan –hambatan inilah yang pada akhirnya seorang tunanetra mengalami masalah besar dalam orientasi dan mobilitasnya. Berikut ini adalah tahap perkembangan perilaku motorik permulaan dalam kaitannya dengan fungsi penglihatan
1. Tahap Sebelum Berjalan
Anak Tunanetra juga mengikuti pola perkembangan perilaku motorik yang sama, hanya saja faktor kecepatannyayang berbeda sebagai akibat dari kurangnya rangsangan visual. Akibat ketunanetraannya tersebut, gangguan atau hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi tangan dan koordinasi badan akan berpengaruh pada perilku motorik tunanetra dikemudian hari (setelah dewasa).Pada koordinasi tangan bayi normal yang usianya 16 minggu akan mengikuti sebuah benda bergerak dengan matanya kemudian berusaha untuk menjangkaunya. Diawali dengan menatap suatu objek,kemudian merasa tertarik lalu merogohkan lengan, tangan, mengambil lewat jari-jari mungilnya walaupun belum terkoordinasi dengan baik. Koordinasi tangan yang baik diperoleh melalui pengalaman dan percobaan kerjasama mata dan tangan sejak dini.
Pada bayi tunanetra, hal tersebut tidak dialami dengan sendirinya. Mereka tidak mengetahui apa yang disekelilingnya, karenanya cenderung diam dan tidak responsif. Karena itu perlu diciptakan suatu lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti yang mampu merangsang perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi keterlambatan perkembangan ini.Bagaimanapun juga hambatan dalam perkembangan koordinasi tangan yang baik akan berpengaruh pada berbagai aktivitas kemudian seperti dalam jabat tangan yang lemah, kesulitan memegang suatu benda, serta keterlambatan dalam latihan persiapan membaca huruf Braille.Pada koordinasi badan pada bayi normal yang usianya 18 minggu,bayi normal mulai belajar mengontrol gerak kepalanya, sambil menatap benda atau objek yang ada di depannya ia termotivasi untuk menegakkan kepalanya. Pada bayi tunanetra, kesempatan atau peristiwa alami semacam ini tentu tidak akan pernah dijumpai.Bayi Tunanetra cenderung diam atau mengadakan gerakan-gerakan yang kurang berarti yang kemudian disebut dengan istilah blindsim, seperti menusuk-nusuk mata mata dengan jarinya, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki, atau sejenisnya yang umumnya kurang sedap untuk dipandang. Tanpa disadari kebiasaan terhadap gerakan-gerakan ini biasanya terbawa sampai dewasa.
2. Tahap Berjalan
Pada usia sekitar 15 bulan, anak awas sudah mampu berjalan dan mengadakan eksplorasi sendiri. Sekali ia mampu memperoleh posisi untuk berdiri tegakyang baik disertai dengan tercapainya keseimbangan untuk mendorong dirinya maju, maka ia akan segera berlari, melompat-lompat, sehingga pada usia sekitar 6 tahun ia sudah sanggup bernain lompat tali.
Pada anak Tunanetra, dalam usia yang sama sangat kecil kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Anak tunanetra merasakan apa yang di depannya adalah bahaya karena ia tidak tahu persis apa yang ada dan terjadi di depannya. Karenanya anak tunanetra sering mengalami ketakutan dan kecemasan ketika akan melangkahkan kakinya.Kondisi ini biasanya cenderung dibawa sampai ia dewasa sehingga anak tunanetraakan memilih untuk tetap tinggal di rumah atau tempat yang sudah dikenalnya.
Salah satu keterbatasan yang paling menonjol pada anak tunanetra ialah kemampuan dalam melakukan mobilitas (kemampuanberpidah-pindah tempat). Namun demikian, kekurangmampuan ini dapat diminimalkan melalui manipulasi lingkungan tempat tunanetra berada, yaitu melalui penciptaan lingkungan yang berarti yang memungkinkan anak tunanetra mampu mengembangkan pertumbuhan jasmani dan geraknya secara bebas dan aman.

E. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Salah satu variabel perkembangan emosi adalah variabelorganisme, yatu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang mengalami emosi. Sedangkan variabel lainnya ialah stimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi, serta respon atau jawaban terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungannya. Secara umum dari ketiga variabel tersebut yang tidak dapat diubah oleh pendidikan adalah variable organisme.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterlambatan ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan ank tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi,yaitu keadaan di mana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak yang mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya. Di samping itu, ada kecendrungan bahwa anak tunanetra yang dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.

F. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai denga tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Dibandingkan dengan anak-anak awas, anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial. Hambatan-hambtan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, acuh tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan kecendrungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya terhambat.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung pada bagaiman perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri.Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti keterbatasan anak untuk belajar sosial melakukan identifikasi maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.


BAB III
KARAKTERISTIK DAN
MASALAH PERKEMBANGAN
ANAK TUNARUNGU

A. Pengertian dan Klasifikasi Gangguan pendengaran
1. Pengertian
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui panca indera pendengarannya.
2. Klasifikasi Tunanrungu
a. Klasifikasi secara etiologis
Yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu :
(1). Pada saat sebelum dilahirkan
• Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempubyai gen sel pembawa sifat abnormal,misalnya dominat genes, recesive gen, dan lain-lain
• Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu penyakt,terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga. Penyakit itu ialah rubella,moribili,dan lain-lain
• Karena keracunan obat-obatan
(2). Pada sat kelahiran
• Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang)
• Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.
(3). Pada saat setelah kelahiran (post natal)
• Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.
• Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak
• Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.

b. Klasifikasi menurut tarafnya
Klasifikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut :
Andreas Dwidjosumarto (1990:1)mengemukakan :
Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB.
Penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB,
Penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.
Tingkat IV, Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.










BAB IV
KARAKTERISTIK DAN
MASALAH PERKEMBANGAN
ANAK TUNAGRAHITA

A. Pengertian Anak Tunagrahita
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata.Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaa pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.
Dikatakan bahwa bila seorang anak mengalami keterbatasan kecerdasan (IQ) 2 kali standar deviasi barulah termasuk tunagrahita. Contoh, anak normal mempunyai IQ 100, maka anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia mengalami keterlambatan 2 x 15 = 30 maka diperoleh IQ 70 tersebut.
Penyesuaian perilaku, maksudnya saat ini seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi jika anak ini dapat menyesuaikan diri, maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi pada masa perkembangan, maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa, maka ia tidak tergolong tunagrahita.
Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi di mana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal.
B. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Pengelompokkan pada umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Pengelompokkan seperti ini sebenarnya bersifat artifical karena ketiganya tidak dibatasi oleh garis demarkasi yang tajam. Gradasi dari satu level ke level berikutnya bersifat kontinuum.
Kemampuan intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Staford Binet dan Skala Weschler (WISC).
1. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga maronatau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
Anak terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.
Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya dengan lugu (malahan tolol), tidak dapat merencanakan masa depan, dan bahkan suka berbuat kesalahan.
Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal.
2. Tunagrahita Sedang
Anak Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapt dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahay seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.
Anak Tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secra akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapt menulis secra sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamt rumahnya, dan lain-lain. Masih dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di tempat kerja terlindung (sheltered workshop).
3. Tunagrahita Berat
Kelompok anak Tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (serve) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menuru Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut Skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari 3 tahun.
Anak unagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.

A. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal pada short term memory. Anak Tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam long term memory, daya ingatannya sama dengan anak normal dalam hal mengingat yang segera.















BAB V
KARAKTERISTIK DAN
MASALAH PERKEMBANGAN
ANAK TUNADAKSA

A. Pengertian Anak Cereberal Palsy dan
Anak Tunadaksa
Cerebral palsy merupakan salah satu bentuk brain injury, yaitu suatu kondisi yang mempengaruhi pengendalian system motorik sebagai akibat lesi dalam otak (R.S. Illingworth), atau suatu penyakit neuromuscular yang disebabkan oleh gangguan perkembangan atau kerusakan sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fingsi motorik.
Tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan atau hambatan pada tulanng, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal.
1. Klasifikasi Cerebral Palsy
Menurut Bakwin-Bakwin, cerebral palsy dapat dibedakan sebagai berikut :
 Spasticity, yaitu kerusakan pada cortex cerebri yang menyebabkan hyperactive reflex dan stretch reflex.
 Athetosis, yatu kerusakan pada basal banglia yang mengakibatkan adanya gangguan pada keseimbangan
 Ataxia, yaitu kerusakan pada cerebellum yang mengakibatkan adanya gangguan pada keseimbangan
 Tremor, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang berakibat timbulnya getaran-getaran berirama
 Rigidity, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang mengakibatkan kekuatan pada otot-otot.
a. sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran
• Faktor congenital ketidaknormalan sel kelamin pria
• Pendarahan waktu kehamilan
• Trauma atau infeksi pada waktu kehamilan
• Kelahiran premature
• Keguguran yang sering dialami ibu
• Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak
b. sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran :
• Penggunaan alat-alatpada waktu proses kelahiran yang sulit. Misalnya : tang,tabung, vacuum, dll.
• Penggunaan obat bius pada waktu proses kelahiran.
c. Sebab-sebab yang timbul setelah kelahiran :
• Penyakit tuberculosis
• Radang selaput otak
• Radang otak
• Keracunan arsen atau karbon monoksida
2. Klasifikasi Tunadaksa
Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kerusakan yang dibawa sejaklahir atau kerusakan yang merupakan keturunan meliputi :
• Club-foot(Kaki seperti tongkat)
• Club-hand(Tangan seperti tongkat)
• Polydactylism(jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan dan kaki)
• Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya0
• Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).
• Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulanng belakang tidak tertutup)
• Cretinism (kerdil/katai)
• Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal)
• Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan )
• Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang)
• Herelip (gangguan pada bibir dan mulut )
• Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)
• Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu)
• Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang
• Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar )
• Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis)
Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran :
• Faktor keturunan
• Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan
• Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak
• Pendarahan pada waktu kehamilan
• Keguguran yang dialami ibu
b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran :
• Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran
• Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran
c. Sebab-sebab sesudah kelahiran
• Infeksi
• Trauma
• Tumor
• Kondisi-kondisi lainnya.











BAB VI
KARAKTERISTIK DAN
MASALAH PERKEMBANGAN
ANAK TUNALARAS

A. Pengertian dan Klasifikasi Anak Tunalaras
1. Pengertian Anak Tunalaras
Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain.
2. Klasifikasi Anak Tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan berat dan ringannya kelainan yang dialaminya
Sehubungan dengan itu, William M.Cruickshank mengemukakan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut ini :
a. The semi-socialize child
Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu,misalnya : keluarga dan kelompoknya.
b. Children arrested at a primitive level or sovialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level
Atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan.




c. Children with minimum socialization capacity
Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial.ini disebabkan oleh kelainan atau tidak mengenal kasih sayang. Sehingga anak pada golongan ini banyak bersifat apatis dan egois.

B. Faktor-faktor Penyebab Ketunalarasan
1. kondisi/ keadaan fisiknya
2. Masalah perkembangan
3. Lingkungan keluarga
4. Lingkungan Sekolah
5. Lingkungan Masyarakat





















BAB VII
KARAKTERISTIK DAN
MASALAH PERKEMBANGAN
ANAK BERKESULITAN BELAJAR

A. Definisi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar.Gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.
B. Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar
1. Aspek Kognitif
Berbagai definisi kesulitan belajar lebih beriorentasi kepada aspek akademik atau kognitif. Masalah-masalah kemampuan bicara, membaca, menulis, mendengarkan, berpikir, dan matematis semuanya merupkan penekanan terhadapo aspek akademik dan kognitif.
2. Aspek Bahasa
Masalah bahasa anak berkesulitan belajar menyangkut bahasa reseptif maupun ekspresif. Bahasa reseptif adalah kecakapan menerima dan memahamibahasa. Bahasa ekspresif adalah kemampuan mengekspresikan diri secara verbal. Kedua kemampuan bahasa ini dapat dipahami dengan menggunakan tes kemampuan berbahasa.
3. Aspek Motorik
Masalah Motorik merupakan masalah yang umumnyadikaitkan dengan kesulitan belajar. Masalah motorik anak berkesulitan belajar bisanya menyangkut keterampilan motorik-perseptual yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan meniru rancang atau pola.

4. Aspek Sosial dan Emosi
Karakteristik anak berkesulitan belajar tidak akan berlaku universal bagi seluruh anak tersebut karena setiap kesulitan belajar yang spesifik memiliki gejala dan karekteristik sendiri.
C. Sebab-sebab Kesulitan Belajar
Beberapa simptom spesifik dari ketidak berfungsian otak minimal ialah :
a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep
• Kelemahan dalam membedakan ukuran
• Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah
• Kelemahan tilikan ruang
• Kelemahan orientasi waktu
• Kelemahan dalam memperkirakan jarak
• Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan
• Kelemahan memahami keutuhan
b. Gangguan bicara dan Komunikasi
• Kelemahan membedakan stimulus auditif
• Perkembangan bahasa yang lamban
• Seringkali kehilangan pendengaran
• Seringkali berbicara tidak teratur
c. Gangguan fisik Motorik
• Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak
• Hiperaktivitas
• Hipoaktivitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar