Minggu, 24 Mei 2009

Menonton Kartun Bantu Penderita Autis

Rachmatunnisa - Okezone LONDON - Orang tua seringkali khawatir jika anak terlalu banyak menonton kartun. Namun jika porsi dan jenis tontonan diatur dengan tepat, menonton kartun juga dapat bermanfaat. Selain menghibur, ternyata menonton kartun juga dapat menjadi terapi bagi anak autis.

Penderita autis umumnya mengalami gangguan yang disebut dengan autism spectrum disorders (ASD), akibatnya saat mereka berhadapan dengan seseorang cenderung lebih sering memperhatikan mulut ketimbang mata orang dihadapannya, demikian yang dilansir Times of India, Selasa (30/3/2009).

Penelitian terbaru pada anak autis berusia dua tahun menemukan bahwa gerakan mulut serta suara pecakapan yang dikeluarkannya begitu menarik perhatian penderita autis.

Tim peneliti yang diketuai Ami Klin dari Yale Child Study Center meneliti dua orang anak berusia dua tahun dengan gangguan sulit bersosialisasi, dibandingkan dengan dua anak lainnya yang tidak menderita autis. Mereka memperhatikan gerakan mata mereka pada saat menonton kartun animasi pada tampilan layar yang terpisah.

Kartun ini ditayangkan secara normal. Demikian juga dengan suara aktor kartun yang direkam bersamaan ketika animasi tersebut dibuat.

Anak penderita autis lebih fokus pada satu tokoh yang lebih kuat menarik perhatian mereka, yaitu tokoh yang bergerak sambil bertepuk tangan berkali-kali. Hal ini menjadi petunjuk bahwa penderita autis lebih menyukai audio visual yang dilihatnya berbarengan dengan keluarnya suara. (srn)

Kurikulum Khusus Penyandang Autis
Email Cetak PDF
PENDIDIKAN bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual.

Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus.

Jumlah terbesar adalah penyandang tuna grahita (keterbatasan intelektual) berat dan ringan sebanyak 38.545 peserta, tuna rungu 19.199 peserta. Diikuti kemudian penyandang tuna netra 3.218 peserta, tuna daksa 1.920 peserta dan autis sebanyak 1.752 peserta.

Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis berjumlah 1.752 sekolah. Lima besar provinsi yang paling banyak mendirikan sekolah autis adalah Jawa Barat sebanyak 402 sekolah, Jawa Timur 263 sekolah, Daerah Istimewa Yogyakarta 131 sekolah. Kemudian diikuti Sumatera Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing memiliki 111 sekolah untuk penyandang autis.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menyatakan, UU Sisdiknas No20 Tahun 2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. "Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagipenyandangautis," sebutnya.

Semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun begitu, Eko mengatakan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis. Ini disebabkan setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis.

Awal Psikolog dari sekolah khusus autis "Mandiga" di Jakarta, Dyah Puspita menyatakan, kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh belajar komunikasi dengan intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada juga yang hanya perlu fokus pada masalah akademis.

Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak, Dini Yusuf, pendiri homeschooluntuk anak autis "Kubis" di Jakarta mengatakan, bergantung dari assessment(penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian melalui wawancara terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak.

Selain itu, penilain awal ini juga melalui observasi langsung terhadap anak. Lamanya penilaian awal ini, menurut Dini,berbeda-beda."Tetapi, dari sana, kami lalu menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak," ujarnya. Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih menyenangkan bagi anak autis.

Kepala Sekolah khusus autis, AGCA Centre Bekasi Ira Christiana, mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. "Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya," sebutnya.

Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. "Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah," ujar Ira.

Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.

Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan konsonan.

Hal lain yang patut dicermati, menurut Ira, adalah konsistensi antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang mencolok,kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan atas apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua.(sindo//nsa)

Ikan Lumba-lumba Bantu Terapi Stroke dan Autis
Email Cetak PDF
terapi lumba-lumbaJAKARTA - Ikan lumba-lumba hidung botol ternyata bisa membantu terapi pengobatan untuk beberapa jenis penyakit. Di antaranya, stroke, autis, kanker, bahkan hingga down syndrom atau depresi berat. Bagaimana rasanya diterapi oleh lumba-lumba? Bisa rasa takut atau geli.

Ternyata ikan lumba-lumba yang dikenal sebagai mamalia sahabat manusia itu bisa membantu pengobatan terapi untuk jenis penyakit yang belum ada obatnya, Kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Aryo Hanggono, menyatakan bahwa saat ini tim peneliti dari lima bidang keilmuan, yakni biologi kelautan, kedokteran hewan, psikologi, kedokteran, dan akustik sedang melakukan penelitian terhadap lumba-lumba yang membantu terapi pengobatan untuk beberapa pasien yang bertempat di salah satu hotel di Bali.

"Kami mencoba mencari penjelasan ilmiah mengapa ikan lumba-lumba bisa membantu pengobatan," katanya.

Penelitian yang dimulai semenjak 3 - 4 bulan yang lalu ini, kata dia, memang menunjukkan hasil positif. Buktinya pada uji terhadap salah seorang tokoh masyarakat Bali yang menderita stroke lumpuh kaki tampak menunjukkan perbaikan. Ketika sebelum terapi kaki tidak bisa digerakkan, namun setelah menjalani terapi akhirnya kakinya bisa digerakkan, bahkan saat ini si pasien sudah bisa berjalan kaki. Lama terapi pertama bagi pasien stroke ini adalah 10 hari dan selesai pada akhir 2007 kemarin. Namun pada awal 2008 ini, terapi pasien stroke itu dilanjutkan kembali. Kenyataannya, si pasien yang sudah berumur itu, kini sudah mulai bisa berjalan kembali.

"Ikan lumba-lumba itu memiliki kemampuan melakukan terapi baik melalui totokan, gigitan halus, kibasan tubuh, serta gelombang suara dari ikan ini," paparnya.

Selain itu uji juga dilakukan kepada salah seorang pasien yang mengidap kanker. Untuk pasien penyakit kanker saat ini terapi sudah berjalan selama seminggu. Aryo menyatakan, penjelasan mengenai tata cara ikan lumba-lumba memberikan terapi memang agak unik. Yakni, seorang pasien yang akan menjalani terapi harus ikut berenang dengan ikan lumba-lumba. Pasien tersebut dengan menggunakan pelampung ikut berenang dalam kolam air laut di mana lumba-lumba itu berada.

Untuk tahap pertama, biasanya tahap adaptasi di mana lumba-lumba hanya mengitari pasien yang mengapung di kolam. Baru tahap berikutnya, lumba-lumba akan menunjukkan reaksi dan mencoba berkomunikasi dengan pasien. Mulai totokan di kaki, tubuh, kepala, gigitan lembut, bahkan kibasan tubuh. Uniknya, bagian tubuh pasien yang ditotok atau disentuh oleh ikan lumba-lumba itu setiap harinya berbeda, sehingga tampak sistematis. Seolah ikan yang biasa dilatih untuk atraksi permainan ini tahu di mana letak saraf pasien yang mengalami sakit.

"Ini bukan pengobatan alternatif. Melainkan hanya komplemen. Jadi pengobatan medisnya tetap jalan. Terapi lumba-lumbanya juga jalan. Ini masuk kategori bioakustik," paparnya.

Penelitian terhadap potensi ikan lumba-lumba sebagai terapi ini memang akan terus dikembangkan. Bahkan kata dia, pada program penelitian tahun 2008 ini diprioritaskan untuk mengetahui pola spektrum dari gelombang suara lumba-lumba untuk pengobatan. Yakni pola seberapa besar spektrum frekuensi gelombang suara dari lumba-lumba itu untuk terapi berdasarkan jenis penyakit si pasien. Sebab, dari hasil rekam sonar frekuensi gelombang suara memang ada yang berbeda untuk tiap jenis penyakitnya.

Untuk itu para peneliti berniat untuk mengetahui polanya. "Sebab ternyata spektrum gelombang suara yang dikeluarkan ikan ini menunjukkan pola yang berbeda untuk jenis penyakit yang berbeda pula. Inilah yang masih kita pelajari," paparnya.

Di dunia medis, memang selama ini ada asumsi bahwa ikan lumba-lumba bisa membantu terapi. Namun itu hanya sebatas kepercayaan, dan belum ada pembuktian ilmiah. Bahkan Amerika Serikat juga meneliti ikan ini secara serius yang langsung ditangani oleh angkatan laut negara Paman Sam tersebut. Tentu saja, ikan lumba-lumba untuk sirkus dan terapi cara melatihnya berbeda.

Menurut Aryo, ikan lumba-lumba yang bisa dilatih untuk melakukan terapi adalah jenis jantan. Apabila riset ilmiah terhadap ikan ini berhasil, maka itu akan sangat potensial bagi dunia pengobatan di Indonesia. Sebab lautan di Indonesia memang melimpah ikan lumba-lumba jenis hidung botol. Namun tentu cara penangkapannya akan menemui kesulitan. Apalagi jika yang ditangkap adalah lumba-lumba betina guna dikembangbiakkan. Sebab biasanya perilaku ikan yang berkelompok ini, betina biasanya dilindungi oleh banyak lumba-lumba jantan.

"Kami berencana menangkap empat ekor ikan lumba-lumba tahun ini, untuk kemudian kami teliti dan kembangbiakan di pusat penelitian kami di Bali," ujarnya.

Peneliti Bioakustik DKP, Agus Cahyadi menyatakan bahwa fokus penelitian tahun 2008 ini tidak hanya dilakukan kelanjutan terapi namun juga komparasi dengan hasil pengobatan medis. Sehingga dilakukan pembuktian secara medis atas hasil terapi yang dilakukan oleh pasien subyek penelitian. Selain itu juga dilakukan analisa spektrum akuistik gelombang suara yang dikeluarkan ikan lumba-lumba per perlakuan terapi. Yakni berapa besar gelombang suara yang dikeluarkan apabila untuk badan atau kepala pasien.

Meski demikian, Agus mengaku belum bisa memecahkan rahasia mengapa ikan lumba-lumba bisa mengerti bagian tubuh yang sakit dari si pasien sehingga melakukan perlakuan terapi di sana. "Kita masih dalam pengkajian mengapa lumba-lumba seolah tahu di mana bagian tubuh pasien yang sakit. Mereka mencari sendiri dan tidak ada yang mengarahkan," tandasnya.

Buktinya menurut dia, bottle nose dolphin atau tursiops truncactus itu bisa bekerja dengan baik. Selama 10 kali terapi yang diberikan kepada 13 anak penyandang autis. Untuk penelitian ini, Tim DKP melibatkan pakar psikologi Australia, Jepang, dan Indonesia untuk menganalisa perkembangan mental si pasien.

Agus menjelaskan melalui 10 kali terapi pada penderita autis, dari 8 kriteria yang dinilai, 3 di antaranya menunjukkan hasil memuaskan. Yakni, terkait emosi, kontak mata, dan ketenangan. "Lima kriteria lainnya, yaitu kelincahan, motorik, rileksasi, fokus, dan perhatian belum menunjukkan hasil," tandasnya.

Untuk proses terapi, biasanya adaptasi membutuhkan waktu 1 hari. Kemudian tahap selanjutnya, peneliti mengumpulkan rangkaian transmisi suara lumba-lumba yang direkam melalui hidrophon. Setelah dilakukan analisis bioakustik, dalam satuan tiap 30 menit terdapat spektrum akustik gelombang optimal. Bioakustik, merupakan ilmu yang mempelajari suara dalam air, baik yang ditransmisikan maupun yang diterima.

"Kami harus mengonfirmasikan dengan kalangan kedokteran potensi frekuensi tersebut terhadap penderita stroke. Namun, terapi ini akan dikembangkan untuk metode penyembuhan kanker," ujarnya.(Abdul Malik/Sindo/mbs)
Sumber :http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar