Selasa, 26 Mei 2009

Meningkatkan Kualitas Sekolah Nilai-nilai dalam praktek mengajar, dan pertanyaan-pertanyaan untuk kualitas dan keadilan di sekolah

Meningkatkan Kualitas Sekolah Nilai-nilai dalam praktek mengajar, dan pertanyaan-pertanyaan untuk kualitas dan keadilan di sekolah
Cetak Ulang:
Izin:
http://www.sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav
Kutipan:

Subscriptions:
Email Alerts:
http://www.sagepub.com/journalsReprints.nav
Informasi dan layanan tambahan lain untuk ”
Improving Schools”
bisa ditemukan di:
DOI: 10.1177/1365480205049336
Improving Schools
2005; 8; 59




http://imp.sagepub.com


Cecilia Fierro Evans

Versi online dari artikel ini dapat ditemukan di:
http://imp.sagepub.com/cgi/content/abstract/8/1/59

Diterbitkan oleh:
http://www.sagepublications.com

http://imp.sagepub.com/cgi/alerts


http://imp.sagepub.com/subscriptions




http://imp.sagepub.com/cgi/content/refs/8/1/59


Nilai-nilai dalam praktek mengajar, dan pertanyaan-pertanyaan untuk kualitas dan keadilan di sekolah
Cecilia Fierro EvansR
Universidad Iberoamericana, Leon, Mexico

Abstrak
Mengetahui bahwa penelitian tentang pengembangan kognitif dan nilai-nilai normalnya terpisah, penulis menunjukkan hubungan tersebut dengan meneliti dari dekat cara-cara yang berbeda dimana para guru berhubungan dengan para murid. Cara penertiban berdasarkan kekuasaan guru, dan bahkaan paksaan, daripada percakapan yang etis, tidak hanya mengurangi kepercayaan diri para murid tapi juga membatasi kemampuan mereka untuk mencerminkan situasi dengan tingkat keobyaktifan. Dalam ruang kelas dimana percakapan berputar dalam cerminan rasional, para murid mengembangkan kepercayaan diri dan ikatan janji yang lebih besar juga mendapat keuntungan kognitif melalui ikatan janji dalam permusyawarahan tingkat tinggi.
Kata kunci: pencapaian, tingkah laku, etika, nilai-nilai

Pendahuluan
Sejak tahun 1970, mengikuti meluasnya pendidikan umum di Amerika Latin untuk mengikutsertakan sekto-sektor dari populasi yang secara tradisionil tidak ada, sebuah jumlah besar dari halaman telah dicurahkan untuk kualitas dan persamaan. Telah banyak penelitian yang berbeda tentang bagaimana para murid memperoleh akses ke, dan tetap didalam, sistem pendidikan pada tingkat utama, dan kebutuhan mendesak untuk merubah manajemen sekolah dan praktek-praktek pedagogi. Gelombang pembaharuan pada tahun 1990 menekankan pada pengembangan dari cara-cara pengganti yang akan memperbaiki kualitas dan persamaan.
Hal ini diluar keraguan bahwa telah ada banyak keberhasilan dari proyek-proyek seperti pembaharuan kurikulum, memperbaiki persediaan buku-buku, memperbaiki infrastruktur, diperbanyaknya kenahasiswaan, pendidikan guru dan CPD, diantara lainnya. Bagaimanapun juga, bermacam-macam evaluasi sekarang mengarahkan perhatiannya kembali pada isu awal dari para guru dan praktek pedagogi. Hal ini telah menjadi usaha-usah baru lainnya dari pembaharuan pendidikan, dan penting jika kita mengembangkan pengajaran yang sesuai dengan anak-anak, dalam suasana kerja yang meningkatkan tantangan untuk kecerdasan dan perasaan mereka, yang pada saat yang bersamaan juga menggambarkan pengetahuan dan pengalaman hidup. Hubungan antara para guru dan anak-anak juga merupakan kunci untuk mengembangkan tingkah laku berdasarkan rasa hormat pada perbedaan, dan menjadi dasar tempat dimana mereka belajar atau menyangkal kemungkinan dari mengekspresikan ide mereka dan memperoleh rasa keadilan melalui bekerja bersama.
Meskipun demikian, penelitian pendidikan tentang nilai-nilai terasa seperti mengikuti jalan setapak yang berbeda, terpisah dari perbaikan pengembangan kognitif. Hal ini mengejutkan, sejak membangun perilaku dan nilai-nilai untuk hidup bersama dengan damai adalah sebuah makanan untuk demokrasi, dan membuka kemajemukan cara pandang adalah dasar dari pemikiran yang tercermin dan kritis. Ini adalah satu keutuhan dari pengalaman kelas dan merupakan persoalan yang sangat penting dalam hubungan antar para guru dan anak-anak sehari-hari. Pertemuan harian ini juga merupakan kunci untuk meningkatkan pencapaian, dengan perbaikan akses menuju sekolah dan mendorong anak-anak untuk tetap tinggal di sekolah, terutama anak-anak dari bagian populasi yang hilang.
Penelitian bertujuan untuk menggali hubungan antara tema tersebut, dan menyediakan model untuk evaluasi sekolah yang akan membantu kita melihat kepada nilai-nilai yang terlibat dalam kegiatan para guru sehari-hari.

Sebuah pertanyaan tentang praktek para guru dan teori mereka yang sesuai
Sebuah proyek di Universidad Iberoamericana Leon memberikan hasil dalam sebuah penelitian tim yang berfokus pada kepribadian dari guru dan aspek dari tingkah laku para guru dimana kita bisa mengenali nilai-nilai yang dipilih, baik secara eksplisit maupun implisit dalam prakteknya dalam kesempatan untuk anak-anak untuk membangun moral mereka. Sebuah penyelidikan etnografi telah dibawa dalam dua sekolah utama di kota. Kita dapat menggambarkan pandangan dari anthropologi sosial, yang menganggap nilai-nilai sebagai konsepsi sosial atau budaya yang menterjemahkan atau mengekspresikan tuntutan sosial umum dengan kata lain, mereka diperoleh dari kebiasaan dan kewajiban dari grup sosial tertentu sama banyaknya dari kepercayaan universil umum.
Kita juga menggambarkan dari pandangan psycho-pedagogi untuk memahami bagaimana persoalan ini membangun moral personal, saat atau tingkat yang mana mereka lewati, dan proses yangterlibat didalamnya. Nilai-nilai dianggap sebagai konsepsi individu/perseorangan, berdasarkan pada pilihan jenis dari tingkah laku atau kepercayaan, yang diterjemahkan ke orientasi tertentu yang menjadi pedoman kegiatan sehari-hari dan menawarkan kriteria bagaimana cara bertingkah laku dalam situasi atau konflik yang membutuhkan keputusan moral.
Dengan demikian, kita dapat memahaminya sesuai dengan nilai-nilai:
Pilihan bagi jenis tertentu dari hasrat tingkah laku yang berdasarkan pada kebiasaan dan
tradisi, atau pada ide universal umum, yang dipahami sesorang selama perkembangannya,
dimulai dengan interaksi sosial, dan yang mana akhirnya diekspresikan dalam keputusan dan perbuatan.
Kita menggambarkan untuk pandangan sosiologi kita, dalam tulisan yang dibuat oleh Agnes Heller dan Lawrence Kohlberg, untuk teori pengembangan-kognitif, mencatat persamaan menarik disamping perbedaan mereka. Baik Heller dan Kohlberg memandang hal-hal berikut ini sebagai pokok pengembangan dari individu terhadap otonomi moral:
 hubungan dari persoalan dengan penulis
 bagian dalam norma
 konflik moral
Pembentukan dari nilai-nilai menyinggung proses yang terjadi dalam pengembangan dari posisi moral seseorang, sama baiknya dengan tingkatan yang mereka lalui dalam perpindahan mereka dari penerimaan peraturan sosial dasar untuk hidup bersama yang diterima melalui sosialisasi, terhadap pembentukan otonomi moral sebagai dasar dari pedoman keputusan dan perbuatan.
Table 1
Agnes Heller Pengertian kami Lawrence Kohlberg
Tingkat pertama keutamaan tahap sosialisasi: penyampaian dan adaptasi tingkat pre-conventional
Tingkat kedua keutamaan tahap pendalama harapan dan norma-norma sosial tingkat conventional
Tingkat kepribadian terhadap otonomi moral tingkat post-conventional

Tabel 1 menunjukkan tingkatan dari pengembangan, menurut Heller dan Kohlberg, dan di tengah kolom ada nama yang kami berikan pada ketiga tingkatan dalam pengertian kami.
Tradisi, sama seperti norma-norma kongkrit, membangun standar dari tingkah laku yang diterapkan pada tugas-tugas tertentu dalam kehidupan sosial (contoh, bertingkah sopan kepada orang lain). Sebaliknya, norma-norma abstrak menggambarkan orientasi yang lebih luas dan model-model dari tingkah laku yang kita inginkan, misalnya keadilan, rasa hormat dan persamaan.
Seseorang yang berhubungan dengan peraturan dan norma-norma sosial, dan kita sebut hal tersebut moralitas. Pengembangan dari moralitas seseorang bergantung pada dua jenis faktor. Ada beberapa yang berasal dari konteks sosio-budaya dimana kita hidup, dan yang membawa jenis nilai-nilai tertentu melalui kenormalan dan pengharapan sosial. Ada juga beberapa yang kita pegang didalam, yang struktur kognitif dan evolusionernya memperbolehkan kita untuk mengartikan pemahamannya dan akhirnya mengakomodasi stimulansnya yang datang ada kita dari luar.
Sebaliknya, tingkat dari pengembangan moralitas yang dicapai orang dalam masyarakat tertentu akan mempengaruhi moralitas sosial, memfasilitasi atau menghalangi pembangunan dari hubungan sosial yang berdasarkan kepada kemerdekaan, rasa hormat terhadap martabat manusia, dan keadilan. Orang-orang besar dengan pengembangan moral tinggi, seperti Socrates, Gandhi, Martin Luther King dan Nelson Mandela, telah sukses dalam mempengaruhi sejarah manusia secara meyakinkan.

Norma-norma yang diperbantukan yang berpengaruh atas kehidupan sekolah: ketentuan sekolah dan nilai-nilai yang ada dibelakang mereka
Dari pengamatan sebelumnya menjadi jelas bahwa nilai-nilai menembus semua pernyataan tersebut dan tindakan-tindakan dari para guru dalam proses membawakan muatan akademis, dan dalam memanfaatkan waktu sekolah. Mereka berada dibelakang penekanan yang diberikan kepada persoalan atau tema tertentu, bagaimana pembelajaran dapat dievaluasi, pembagian persetujuan atau pujian diantara anak-anak dan hubungan informal. Tetapi, susah untuk menangkap mereka untuk menjelaskan pilihan-pilihan atas model-model khusus dari tingkah laku daripada yang lainnya. Kategori teori empiris pertama yang diungkapkan data kami, seperti yang dapat kita lihat dalam naskah berikut, merujuk pada norma-norma kongkrit. Hal ini hadir secara berkelanjutan di ruang kelas, baik dalam bentuk keterangan maupun nasihat secara eksplisit, dan dalam perhatian yang diberikan guru langsung kepada anak-anak.
Mengingat norma-norma sebagai ekspresi dari nilai-nilai, analisa dari para guru menunjukkan tingkah laku menjadi penting, sebagaimana hal ini menggambarkan nilai-nilai yang ditawarkan para guru kepada anak-anak dalam kehidupan sehari-hari disekolah.

Guru: Apakah semua orang telah membuka halamannya untuk kegiatan matematika? Kita akan mengerjakan soal-soal tersebut bersama-sama karena beberapa orang tidak melakukannya dengan baik.kemana kamu hendak pergi Salvador? [Salvador berjalan kearah pintu]

Salvador: melemparkan sampah ke keranjang sampah.
Nallely: Pak, bolehkah saya melanjutkan ke halaman berikutnya? [tidak ada jawaban]
Guru: Mari kita lihat. Efren, berikan itu padaku. [Efren dan Oscar sedang berada di depan lagi, duduk diatas tanah, bermain dengan selembar plastic dan kartu.] Ayo Lalo, kembali ke kursimu. Kamu juga, Efren.
Guru: [kepada seorang anak yang teralihkan perhatiannya] Ayo Fernando, sudahkah kamu mengerjakannya? Belum? Tahukah kamu halaman berapa yang akan kita tuju?
Sandra: Halaman 115.
Guru: Sekarang saya akan melakukan beberapa pembenaran dan saya tidak menginginkan adanya kesalahan apapun, jadi kita akan melakukannya bersama. Ini instruksinya. Kamu akan merubah unit-unit ke sepuluh dan puluhan ke ratusan. Siapa yang kamu tunggu, Christine? [berpaling pada seorang gadis yang diam tapi tidak memperhatikan. Dia melompat ketika dia mendengar namanya. Efren mulai bermain lagi dengan Oscar.]
Guru: Siapa yang bermain? Saya sudah mengatakan padamu untuk tidak membawa mainanmu kesekolah, atau kamu akan kehilangan mereka dan menjadi sebal.
Sandra: Pak, apakah jika itu sepuluh ratusan, kita bisa merubahnya juga, bukan?
Guru: Ya, tetapi kedalam bentuk apa?
Sandra: Ke… seribu.
Guru: Bagus sekali!
Pekerjaan mengenali norma kongkrit dalam catatan tersebut relatif mudah, tetapi norma abstrak nampak tersembunyi dalam semua hal ini. Heller mengakui bahwa norma abstrak nampak dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk pemberian nilai. Untuk mengenali mereka, kita perlu menganalisa bahasa guru, yang menunjukkan nilai mereka dengan jelas dalam keadaan tertentu.
Sehubungan dengan pandangan Heller, kita dapat mengatakan norma kongkrit dalam sekolah sebagai sebuah kumpulan tanggapan keharusan dan karakter secara umum, dimana pelanggaran akan mengarah pada tipe konsekuensi tertentu, dari mulai memiliki pelanggaran yang dikomentari (dimarahi) hingga benar-benar sangsi. Norma-norma kongkrit ini berhubungan dengan perilaku yang diharapkan dalam konteks tertentu seperti halnya sekolah, atau konteks lainnya dalam strata sosial atau kebudayaan tertentu. Norma abstrak, di sisi lain, adalah kiasan pada nilai-nilai yang melewati hal-hal berikut; tanggapan umum atas sifat transkultural seperti peingatan ‘jangan mencuri’, ‘katakan yang sebenarnya’ atau ‘berlakulah adil’, tetapi dimana sangsi dapat diberikan hanya ketika diartikan pada termin khussu dan norma-norma situasi atau lingkungan khusus.
Dalam proses menganalisa catatan, kami menemukan 1360 kiasan oleh para guru untuk menjauhkan norma-norma kongkrit. Kiasan-kiasan itu mengambil bentuk ‘panggilan perhatian’ (contoh ucapan-ucapan yang dibuat tentang pelanggaran peraturan) dibuat hingga 86 persen dari total, sementara 14 persen adalah ucapan atau saran dalam bentuk yang lebih umum. Hal ini menunjukkan kecenderungan para guru berasumsi bahaw pembimbingan tugas moral semata harnya karena reaksi kepada perilaku yang dianggap tidak pantas, bukanlah pada desakan atau yang menunjukkan kepentingan atas norma-norma.
Kami menganalisa lebih jauh termin-termin dari tipe kebiasaan murid yang diberikan kiasan, dan menyimpulkan bahwa sistem nilai yang ada di belakang ini semua terfokus pada kepentingan ‘peraturan’ dan secara khusus tiga norma dasar; tetap diam; perhatikan; bekerjalah dan tetap duduk di bangkumu.
1. Peraturan: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan kelakuan murid dalam kelas dan ruang kelas lainnya: 66 persen.
2. Rasa tanggung jawab atas kelalaian: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan kegiatan murid dan menyelesaikan tugas: 18 persen.
3. Rasa hormat: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan bagaimana murid menanggapi sesama muridnya: 6 persen.
4. Kebersihan: norma-norma kongkrit yang behubungan dengan perawatan dan kebersihan diri murid, buku-buku atau ruang sekolah: 6 persen.
5. Penghargaan atas kelalaian: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan bagaimana para murid menanggapi guru dan para orang dewasa lainnya: 4 persen.
Kami dapat memastikan bahwa ada pengiriman nilai-nilai, terutama melalui peraturan-peraturan kelakuan yang diterapkan sekolah kepada murid seperti yang diinginkan. Isi norma-norma memberikan informasi untuk mengenali tipe nilai-nilai yang dikirimkan kepada para murid. Bagaimanapun, kita perlu menanyakan apakah pengiriiman nilai kuno sekolah sama dengan pembentukan nilai-nilai abstrak. Apa yang membedakan kedua proses tersebut, dari sudut pandang pembentukan nilai-nilai moral?
Buktinya menunjukkan bahwa para guru menekankan norma-norma yang mengekspresikan nilai-nilai kongkrit yang terikat pada kebiasaan sekolah – peraturan, kebersihan, tanggung jawab sebagai kelalaian, dan penghargaan kepada orang dewasa sebagai kelalaian (katehori 1, 2, 4 dan 5 keatas). Norma-norma yang berhubungan kepada penghargaan atas orang lain dan barang milik mereka lebih kurang penting (kategori 3 keatas). Dapat dikatakan, 94 persen kiasan guru akan norma dikonsentrasikan pada peraturan kebiasaan sekolah, dimana 6 persen berhubungan dengan nilai-nilai abstrak.

Bagaimana guru menerapkan kriteria
Dalam proses mengenali norma-norma abstrak dan kongkrit selama observasi ini, terbukti bahwa para guru bertingkah tak menentu. Terkadang mereka terus menerus meminta perhatian kepada para murid, tetapi lain waktu mereka membiarkan semuanya begitu saja. Hal ini menciptakan citra ‘relatifitas’ norma. Kami harus mempertimbangkan ‘konsistensi dalam penerapan norma-norma’ sebagai kategori fundamental ketika melengkapi gambar ‘kebiasaan normatif guru’.
Ada kebijaksanaan dalam penerapan norma-norma. Yakni, kita memiliki normatifitas dengan kehilangan batas dalam hal kebijaksanaan, dimana para guru dapat memutuskan murid mana yang diminta perhatian dan siapa yang dibiarkan.
Kebijaksanaan ini mungkin membantu menjelaskan kenapa kelakuan murid tidak berkembang dari kelas satu hingga enam, berdasarkan norma-norma yang sama. Sepanjang kategori yang beragam ini, kejadian-kejadian perilaku yang salah, dan seberapa banyaknya mereka dikomentari (dimarahi), selalu sama.
Dibalik semua ini, ada masalah yang dapat dijelaskan teori ini dalam hal pendalaman norma-norma. Menurut Heller, konsistensi penerapan norma-norma akan berpengaruh dalam menghasilkan peluang bagi para murid untuk mendalaminya. Dalam hal ini, Kohlberg menyatakan;

Penelitian pada etos moral menunjukkan bahwa seseorang memberikan respon terhadap kombinasi penalaran moral, aksi moral dan peraturan-peraturan institusional sebagai kesatuan, dalam hubungannya dengan keadaan moral mereka sendiri. (Kohlberg, 1992: 212)

Tabel 2
Nama norma Direspon Diacuhkan Total Saran umum
¬¬¬Diam ketika bekerja/ memperhatikan 261 344 605 17
Perhatikan ketika bekerja/memperhatikan 202 128 330 4
Bekerja dan tetap duduk di bangku sendiri 160 143 303 22
Selesaikan tugas 78 51 129 7
Jangan bertengkar, berdebat dsb. 58 71 129 1
Dalam hal ini, kedua isi norma kongkrit dan penerapannya penting sekali dalam pengembangan moral. Jika isi norma-norma kembali secara principal kepada kebiasaan lama sekolah, jika manajemen difokuskan dalam figur seorang guru, dan penerapan norma-norma ini berhubungan dengan kesewenangan pribadinya, kami memiliki masalah yang membatasi peluang untuk berpindah dari level ‘heteronomi’ kepada level ‘moral otonomi’. Dengan kata lain, para guru membuat hal ini sulit untuk berkembang dari tingkat pertama pengembangan moral kepada pengembangan pendalaman.

Dimanakah norma-norma abstrak para guru dalam percakapan?
Adanya norma-norma abstrak dibuat menjadi jelas melalui komentar-komentar para guru yang diucapkan dalam lingkup nilai-nilai, ekspresi-ekspresi verbal dimana guru mengucapkan situasi yang diinginkan atau tidak diinginkan, atau tingkah laku tertentu yang lebih disukai orang lain, atau komentar-komentar terhadap tindakan tertentu sebagai baik atau buruk.
Sementara ada 1306 kiasan terhadap norma-norma kongkrit, hanya ada 33 kiasan terhadap norma-norma abstrak, sebuah perbandingan dari 39 ke 1. Hal ini mengungkapkan bahwa para guru jarang sekali merujuk pada isu umum yang universil seperti kejujuran, dukungan, penghargaan, kedaulatan, toleransi, kewajiban, kebebasan berkumpul, rasa hormat, rasa hormat terhadap hidup dan cinta.
Faktanya, 18 dari 26 guru yang diamati tidak pernah berkomentar terhadap tingkah laku diluar peraturan sekolah. Dari delapan lainnya, 70 persen komentar datang dari seorang guru.
Hal ini menunjukkan kelangkaan yang luar biasa dari jenis percakapan ini diantara para guru.
Norma-norma abstrak penting karena mereka menggambarkan kesempatan bagi anak-anak untuk bergerak diluar lingkaran ketentuan sekolah dan untuk bersinggungan dengan peraturan dan nilai-nilai abstrak seperti kemerdekaan, persamaan, dan rasa hormat terhadap martabat manusia. Itulah mengapa ada perbedaan besar antara membawakan peraturan sekolah dan menawarkan kesempatan, melalui dan diluar sistem norma sekolah, untuk membangun nilai-nilai yang lebih besar seperti keadilan.
Karakteristik utama yang kita kenali dalam penelitian kita adalah sebagai berikut:
a) Hal ini lebih berorientasi pada penyampaian peraturan sekolah, daripada nilai-nilai abstrak seperti rasa hormat.
b) Norma-norma sekolah berubah halauan ke sosok penguasa.
c) Penerapan ketentuan dari norma-norma, ditentukan oleh guru, memperkuat pendapat kerelatipan mereka, dan ketergantungan pada kekuasaan guru.
d) Adanya kekosongan dalam percakapan yang menyangkut nila-nilai seperti rasa hormat, keadilan dan penghargaan, yang berlawanan dengan sindiran-sindaran yang terus diberikan terhadap norma-norma kongkrit. Hal ini member kesan bahwa para guru sibuk menggerakkan hati anak-anak, sebuah tugas dimana mereka tidak pernah berhasil karena, diantara hal-hal lainnya, mereka tidak konsekwen.
e) Meskipun referensi tetap dari para politisi terhadap peranan sekolah dalam membantu mengembangkan moral umum dan nilai-nilai sosial seperti rasa hormat, keadilan, dan demokrasi, pedagogi tradisional dan badan sekolah menerapkan tingkah laku seperti tetap duduk, diam dan penuh perhatian kepada guru bisa menjadi hambatan yang sangat kuat terhadap pengembangan dari nila-nilai seperti bekerja sama, diskusi dan tanggung jawab, yang seharusnya diserap dalam dalam kehidupan sekolah.

Bagaimana anak-anak mengalami perlakuan hormat yang sepatutnya di sekolah?
Kami juga mengamati sebuah perbedaan besar dalam cara guru memberikan norma-norma kongkrit dan abstrak kepada anak-anak. Para guru juga menyampaikan nilai-nilai melalui tatakrama dalam bagaimana mereka bertingkah laku terhadap anak-anak.
Kami menyebut ini sarana. Menganalisa jenis-jenis berbeda dari sarana menunjukkan sebuah jarak yang sangat besar, dari desakan sampai tuduh-menuduh, surat persetujuan terhadap hukuman badan, mengucapkan selamat pada penghinaan. Kami dapat mengenali tiga aspek dari perilaku tersebut yang dapat memperbesar, atau menghalangi, anak-anak dalam pengembangan moral.
Mereka menggambarkan kesempatan terhadap pendalaman norma-norma, melalui partisipasi dalam peranan.
Cara-cara dalam menguatkan norma-norma memainkan peranan penting dalam meningkatkan atau menghambat pengembangan otonomi moral, sesuai dengan penekanan relatip terhadap pentingnya norma-norma atau terhadap kekuasaan. Pendalaman menandakan pengenalan subyek dengan norma-norma, yang mengizinkan dia untuk menerima mereka sebagai pedoman tingkah laku pribadi tanpa mengalami tekanan luar.
Reaksi kasih sayang dari orang- orang dewasa disertai dengan beralasan dapat memfasilitasi pengertian dan kesesuaian dari peraturan sosial dan norma-norma moral. Penelitian sebelumnya mengenali bahwa reaksi kasih sayang yang terhubung dengan penjelasan dari pengertian norma-norma dan dipusatkan pada kebaikan seseorang dan hak-hak orang lain, dapat meningkatkan keefektifan dari beralasan karena hal itu membantu anak-anak mengenali bahaya atau ketidak-adilan yang disebabkan bagi orang lain. Walaupun, penelitian juga menunjukkan bahwa terlalu banyak paksaan atau kemarahan yang diarahkan kepada anak-anak ketika mereka mengamati norma-norma dapat menghalangi perhatian mereka terhadap perasaan orang lain. Kecenderungan menarik diri timbul dan menjadi terpusat pada diri sendiri ketika menerima jenis reaksi yang membahayakan ini disebabkan oleh orang dewasa yang kehilangan arah pandang tentang bahaya yang mereka tmbulkan bagi orang lain. (Smetana,2001:4).
Sebaliknya, Kohlberg dan Gibbs mengenali bahwa, melalui disiplin induktif, kesempatan dapat ditingkatkan dalam mengambil peranan, dengan kata lain, tempatkanlah dirimu dalam sepatu orang lain, menguatkan perasaan atau empati.
Dari kepentingan yang lebih besar dari faktor-faktor yang berhubungan dengan stimuli dari penetapan kognitif adalah faktor-faktor umum pengalaman sosial dan stimuli, yang kita sebut kesempatan-kesempatan yang dapat diambil. Sebuah peranan…Jika orang dewasa tidak memikirkan sudut pandang anak dapat dikomunikasikan dari sudut pandang orang dewasa. Percakapan adalah, dengan begitu, sebuah prasyarat dasar dalam meningkatkan pengambilan peranan (Kohlberg, 1992:209 10).
Sarana-sarana dapat menolong mambangkitkan konflik moral pada anak-anak dalam mengalami nilai-nilai rasa hormat dan keadilan.
Pengalaman sehari-hari dari bagaimana guru memperlakukanmu menciptakan rasa hormat dan keadilan dalam ruang kelas. Di lain pihak, beberapa anak dapat mengalami ketidak-adilan dan pelecehan dengan diperlakukan kurang baik dari yang lainnya.
Kutipan berikut ini menunjukkan bagaimana seorang guru memperlakukan seorang anak. Ia berdiri karena ukurannya (ia harus mengulang satu tahun, karena itu ia lebih tua dari yang lainnya), dan pakaiannya serta penampilannya menunjukkan bahwa keluarganya lebih miskin dari kebanyakan murid di kelas. Kita akan menyebutnya Daniel.
[Guru sedang menjelaskan bagaimana cara menggunakan buku teks. Ia menyela, menunjuk ke seorang anak laki-laki.]
Guru: Saya tidak suka kelakuan seperti babi di kelas saya. Hentikan itu dengan hidungmu. Jika kamu ingin pergi ke toilet, minta izinlah. Kamu ada di kelas satu tahun kemarin dengan Nona X. bukankah ia mengizinkanmu ke toilet?
Daniel: Tidak,,,
[seorang anak lelaki berdiri untuk menunjukkan pada gurunya gambar dibukunya]
Guru: Bagus sekali. [Ia kembali ke tempatnya. Beberapa anak berdiri, dan ia memuji mereka. Ia menunjuk kearah Daniel lagi.]
Guru: Baiklah, Daniel, apa yang tadi kamu bilang? Kamu bisa mengatakannya padaku. Kamu tidak memperhatikan. Kamu sibuk berbicara dengan anak lelaki lain. Baiklah, aku akan menduudkanmu di sebelah anak perempuan untuk emnghentikanmu mengobrol.
[Ia berpaling ke arah seorang lelaki yang diajaknya berbicara tadi, dan merubah nada suaranya.]
Guru: Ada apa, Luis? Tidakkah kamu tertarik pada apa yang sedang kita kerjakan di kelas? [Ia menundukkan kepalanya]…
Hal ini mengilustrasikan perlakuan tidak adil, yang akan berdampak pada ketidakhormatan padanya dari rekan sesamanya, yang mendapatkan rasa hormat yang tdak didapatnya. Apa yang akan Daniel pelajari, dalam hal nilai-nilai, dari pengalaman menjadi tontonan di depan kelas dan menerima perlakuan yang tidak adil? Dengan kata lain, dari sumber kedisiplinan guru yang diarahkan kepadanya? Dapat diketahui dengan baik bahwa kegagalan sekolah ataupun kesuksesannya dibantu perkembangannya dalam beberapa situasi.

Norma-norma dan kekuasaan, sebagai penyelaras dalam menggolongkan sarana
Dengan menggunakan teori yang menyelaraskan kegunaan kekuasaan untuk menjalankan norma dan sebuah referensi pada norma itu sendiri, kita dapat menempatkan sarana dalam empat grup.
Grup 1: tinggi dalam (kognitif atau afektif) merujuk pada norma-norma, rendak dalam kekuasaan
Grup ini, misalnya, mengundang cerminan, mengajak anak-anak untuk memahami cara pandang orang lain, menjelaskan rasa dari sebuah norma, peringatan dari konswekensi, berbicara secara pribadi dengan anak.

Gambar 1
Ragam sarana ini membangkitkan kesempatan untuk mengambil peranan dan untuk memperdalam norma-norma kongkrit, membawa pada otonomi keadilan yang besar. Mereka juga disokong oleh referensi terhadap norma-norma abstrak dari rasa hormat kepada anak-anak, rasa hormat satu sama lain, dan menghindari diskriminasi antara orang lain.
Norma kongkrit: untuk tidak mengambil barang milik orang lain.
Sarana: menjelaskan alasan atas norma; membuat konsekwensinya terlihat.
[Guru meninggalkan ruangan sementara waktu. Jaime melompat ke atas meja dan mulai menari.]
Anak perempuan: Guru kembali.
[Guru kembali meamasuki ruangan dan melihat anak perempuan tersebut menangis. Dia mengatakan sesuatu diam-diam kepadanya. Anak lainnya duduk dengan cepat.]
Guru: Jaime, kamu pikir apa yang kamu lakukan itu benar?
[Jaime terdiam, dengan kepala menunduk]
Guru: Lihat, kamu merobek buku milik Juleta. [Ia memegang bukunya terbuka diatas meja yang dilompati Jaime. Jaime melihat halaman-halaman yang robek.]
Guru: Haruskah aku menukar bukumu? Haruskah aku memberikan bukumu pada Julieta dan memberikanmu bukunya?
[ia tetap diam, melihat kearah lantai]
Guru: Katakan maaf.
Jaime [pelan]: Aku minta maaf.
Guru: sekarang aku akanmembantumu memperbaiki buku Julieta. [Jaime membantu menempelkannya dengan perekat. Julieta berhenti menangis. Guru memberikan bukunya yang telah diperbaiki kembali, dan memberi Jaime bukunya kembali.]

Sarana di grup 2 (rata-rata di kedua potongan)
Hal-hal ini masih berfokus pada norma-norma, tapi tanpa memberikan penjelasan yang diperlukan untuk memahaminya. Hal ini membuat pendalaman menjadi lebih sulit. Grup kedua ini bergantung pada rasa hormat unilateral, yang diarahkan pada guru. Namun demikian, hal ini tetap dapat membangun pada beberapa perluasan dari pentingnya keadilan, jika konsekwen. Contohnya: melaporkan tingkah laku kepada grup, menunjukkan tingkah laku yang tepat, menggunakan ekspresi wajah, membuat kegaduhan dengan sebuah benda, menerapkan suatu persetujuan yang telah diancamkan sebelumnya.

Kelas 3. Norma kongkrit: menunjukkan kesopan-santunan pada pendatang dan menyelesaikan tugas.
Sarana: menunjukkan tingkah laku yang sesuai dan menyebutkan anak, menunjukkan apa yang diperlukan.

[Seorang dewasa memasuki ruangan. Anak-anak tetap duduk di kursi. Guru berpaling ke kelas.]
Guru: Ketika seseorang datang, kita sambut dia.
Anak-anak [menyapa dalam paduan suara]: Selamat pagi, bu.
[Guru tetap menulis di papan tulis. Dia berhenti menulis dan berkata]
Guru: mariana, mulai mengerjakan, Mariana.
[Ia mendadak berpaling ke anak lelaki lain.]
Guru: Apakah kamu sudah selesai? Kerjakan itu.

Grup 3: cukup rendah dalam referensi terhadap norma, cukup tinggi berkenaan dengan bentuk kekuasaan.
Disini ada referensi eksplisit terhadap ari guru sebagai seorang parameter untuk menunjukkan tingkah laku apa yang tidak sesuai, memberikan pesan bahwa norma tersebut penting karena guru berkata demikian, atau bahwa hal itu berlaku pada beberapa tapi tidak pada yang lainnya. Referensi kepada guru membangun sebuah ketetapan tertentu. Hal ini tidak berperan banyak dalam membangun nilai keadilan atau rasa hormat. Contohnya: menyalahkan atau mendorong orang lain untuk menyalahkan, menyinggung karakter pribadi anak, mengekspresikan ketidak-sukaan pribadi terhadap kesalahan, kegagalan untuk ikut campur.
Kelas 1: Norma kongkrit: tidak memperdayakan mereka dalam kekuasaan, untuk tetap diam.
Sarana: menandakan tingkah laku yang tepat, menyebutkan anak-anak yang menunjukkan tingkah laku yang tepat.
[Guru membawa seorang anak lelaki dan perempuan ke depan, dan berpaling ke arah anak perempuan.]
Guru: Aku tidak suka kebohonganmu. Kau memukul dia!
[Dua anak tersebut duduk. Guru berpaling keseluruh kelas.]
Guru: Kalian diizinkan untuk berbisik kepada rekanmu. Aku tidak suka diam-diam, tapi jangan berbicara keras-keras atau berteriak. Kalian sudah tahu aku tidak menyukainya. Berbisiklah.
Grup 4: Sangat rendah dalam referensi normative, sangat tinggi dalam referensi kekuasaan.
Grup ini termasuk sarana yang berdasarkan pada paksaan dalam penggunaan kekuasaan, sebagai sebuah sumber utama dalam memaksakan norma-norma. Pengertian dari norma tersebut berkurang sekali, dibandingkan dengan penggunaan paksaan oleh tokoh yang berwenang. Hal ini kekurangan rasa hormat bagi anak-anak. Cara yang digunakan membahayakan martabat pribadi anak-anak dan tidak menghormati hak-hak mereka untuk mendapatkan perlakuan adil. Hal ini sendiri membangun sebuah ketidak-adilan, keadilan apapun dari menghukum yang bersalah. Dengan mempertebal referensi pada kekuasaan sebagai alat untuk memperkuat norma-norma dan kepatuhan, karena rasa takut akan hukuman, tidak hanya hal itu tidakmeningkatkan, justru hal itu menghalangi kesempatan-kesempatan untuk memperdalam pengertian dari norma-norma. Contohnya: berteriak, sindiran tajam, tuduh-menuduh, mengancam, menghina, menunjukkan anak ke kelas, membuat komentar pribadi, memukul.

Kelas 2. Norma kongkrit: tidak membuang sampah
Sarana: berteriak dan mengancam
[Guru kembali ke ruang kelas dan berpaling ke kelas, berteriak.]
Guru: Aku tidak mengharapkan kalian bertingkah seperti babi. Kelas ini bukan kandang babi. Rapihkanlah atau kalianakan menyesal ketia aku kembali nanti! [Dia keluar lagi.]

Menggunakan rasa hormat pada anak-anak dan kekuasaan guru sebagai penyelaras dalam memahami ekspresi kasih sayang oleh guru.
Sebagaimana mungkin untuk mengenali jenis-jenis sarana yang berbeda dalam menyinggung pada norma-norma kongkrit dan abstrak, kita juga menjumpai jarak yang besar dari ekspresi kasih sayang yang diberikan para guru kepada anak-anak, yang telah kita definisikan sebagai: bahasa tubuh dari perhatian dan ketidak-perhatian kepada seseorang; kebutuhan; permintaan; permasalahan atau penyesalan dari anak-anak, baik dalam ucapan maupun ekspresi non-verbal. Ekspresi kasih sayang menyempurnakanfungsi dari memberikan nada yang jelas pada interaksi sehari-hari antara guru dan murid. Kehadiranya yang terus menerus adalah hal yang menjadikannya penting, bahkan jika hal itu hanya berupa bahasa tubuh yang halus dan sederhana, seperti kesopan santunan dasar, melihat ke arah mereka, berbicara dengan mereka, mendengarkan dengan penuh perhatian kepada anak-anak atau menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Gambar 2
Ekspresi kasih sayang bergerak dalam rangkaian kesatuan dari perhatian yang paling besar sampai ke yang paling kecil dari guru pada anak-anak sebagai manusia, kebutuhan atau permintaan spesifik mereka. Menggunakan perpotongan perhatian terhadap anak-anak dan penggunaan kekuasaan, kita dapat menyusun hal-hal ini dalam cara yang sama dengan sarananya.
Grup 1: tinggi dalam perhatian kepada anak-anak, rendah dalam kekuasaan
[Kelas 1: Guru bersiap-siap untuk memulai pelajaran.]
Guru: Apakah ada sesorang disini yang punya sebuah drum? [Ia menekankan]
Drum itu untuk apa?
Juan: Untuk bermain!
Guru [Bersalaman dengan Manuel]: Aku senang bahwa Manuel tidak menggangu Juan. [ Anak lelaki disebelahnya tadi berbicara, tapi Manuel tidak ikut bergabung.]
Guru: Drum itu untuk apa? Untuk bermain?
Luisa: Ayahku adalah seorang musisi dan dia bermain drum.
[Guru terlihat sangat senang mendengar hal ini.]
Guru: Kemarilah, Luisa, majulah ke depan.
[Ia meletakkan tangannya pada bahunya, berdiri dan menghadap kearahnya.]
Guru: Bisakah kamu mengatakannya keras-keras, jadi semua orang bisa mendengarmu?
Luisa: Ayahku adalah seorang musisi, dan ia bermain drum.
Guru: apakah kalian dengar itu? Ayahnya adalah seorang drummer. Terima kasih Luisa, kamu boleh duduk.
[Guru memulai penjelasan]
Guru: Hari ini aku akan mengatakan pada kalian sebuah cerita tentang seorang anak perempuan. Donna memiliki sebuah drum. Ia sangat senang datang ke sekolah…

Grup 2: ekspresi kasih sayang dalam menanggapi pertanyaan anak-anak tepat pada waktunya (rata-rata dalam kedua perpotongan)
[Kelas 2: Anak-anak sedang menggambar dan menempelkan gambar dalam buku mereka.]
Anak perempuan: Lihat, Bu. Aku telah selesai menggambar milikku.
[guru pergi melihat]
Guru: Sekarang tempel.
Anak perempuan lainnya: lihat gambarku, bu guru.
[guru membetulkan bentuknya sedikit]
Guru: Sekarang tempel.

Grup 3: ekspresi-ekspresi berpengaruh yang menyindir kepada orang dari gurunya, atau tingkah bijaksana sebagai cara memperhatikan keinginan murid (rendah akan referensi pada murid, tinggi akan referensi pada guru)

[Kelas 4: seorang anak lelaki berdiri dan berkata sesuatu dengan pelan kepada guru]
Guru: Tidak, saya belum setuju.
Anak lelaki: Tetapi anda bilang padaku kalau saat anda kembali…
Guru: Saya yang memutuskan siapa yang boleh keluar.
Anak lelaki: Pak, sekarang giliranku!
Sandra: Pak, ini giliranku! [Dia menuju pintu]
Teacher: Duduk. Sekarang toilet sedang dicuci.
Sandra: Tidak masalah. [Keluar.]
[Beberapa menit kemudian, Sandra kembali. Guru tidak berkata apapun mengenai kepergian Sandra.]

Grup 4: ekspresi-ekspresi yang berdasarkan pembebanan atau penggunaan kekuatan dalam hubungan dengan permintaan murid (sangat rendah dalam perhatian pada murid, sangat tinggi dalam otoritas)
[Kelas 2]
Guru [berteriak]: Saya (=I) harus ada di atas kalian jika saya (=I) ingin kalian bekerja! Duduk! [Murid-murid berlarian ke kursinya.]
[Guru pergi ke papan tulis dan menulis ‘I’ (=saya).]
Guru: Lihat, ikuti aku, tangan yang benar, atas, bawah, atas, bawah …
Murid lelaki: Bu, aku merasa mual.
Guru: Kamu bicara terus, bagaimana kamu berharap bisa keluar.
[Guru menghampiri murid lelaki itu, dan memaksanya dengan tangannya.] [Guru berpaling ke si pencari dan berkat]: Yang ini akan gagal, dia tidak bisa membaca! [menunjuk ke si anak lelaki.]
Guru: Benar, Julian? [Meletakkan tangannya di pundak Julian. Anak itu tidak berbalik, tetap serius, melihat bukunya.]
Guru: Dia benar-benar perlu melakukannya. Dia memang beban. Saya tak dapat membuat keajaiban [si murid lelaki terus mencoba membuat ‘I’.]
Agnes Heller membedakan antara apa yang dia bilang ‘pengutamaan’ dan ‘perseorangan’. Semua perseorangan dikarakteristikan oleh gambaran moral tertentu yang dicerminkan dan dikembangkan secara otonomi (Heller, 1999: 156). ‘pengutamaan’, di lain sisi, membawahi keinginan-keinginan, hasrat dan aspirasi terhadap tuntutan sosial yang diterima secara spontan.
Argumentasinya adalah bahwa kamu hanya bisa benar-benar menjadi ‘perseorangan’ jika kamu bergerak diluar tingkah laku yang hanya menuruti kata hati, bagaimanapun uniknya. Kamu perlu menggunakan nilai-nilai yang kamu pilih untuk diikuti untuk memisahkan dirimu sendiri dari emosi-emosi dan pencerminannya.
Dikotomi yang jelas antara perasaan dan alasan berasal dari fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan ‘perseorangan’ lebih tercermin daripada yang ‘terutama’, karena mereka terhubung dengan asumsi kesadaran dari tanggung jawab pribadi dan karena pra-syaratnya adalah pengetahuan-pribadi dan latihan-pribadi. (Heller, 1999:221)
Hanya 5 persen guru yang kami amati cenderung untuk menggunakan sarana-sarana dalam grup pertama, dengan kata lain, mereka yang secara terus menerus diperkuat dengan pentingnya norma-norma. Mayoritas lainnya cenderung bertahan dalam grup 2, membuat kerangka sindiran terhadap norma-norma yang tak terpenuhi, dan dikuatkan kembali secara besar. satu dari tiga guru terjebak dalam sarana jenis 3 dan 4, berdasarkan penggunaan kekuasaan dan paksaa. Belajar untuk mengartikan dan mengikuti tanda-tanda perubahan dari bentuk kekuasaan melemahkan kemungkinan pencerminan terhadap pentingnya norma, dan menjadi positifterhadapnya, membawa pada pendalaman.
Dalam hal ekspresi kasih sayang, kami memiliki kecenderungan untuk mengikuti anak tapi dalam cara yang berubah-ubah dan tidak konsisten. Hal ini sama dengan orientasi yang mengikuti kata hati dalam perilaku kasih sayang yang merupakan bagian dari guru, yang akan lebih dipersoalkan kepada kebesaran pemikirannya atau lingkungan tertentu daripada kepada paraturan tingkah laku yang dipilih secara pribadi. Akhirnya, dapat dirasakan bahwa para guru bertingkah laku sesuka mereka terhadap anak-anak. Sekolah yang kekurangan kode-kode etik praktek seputar pertanyaan-pertanyaan ini, adalah sebuah isu yang perlu dipikirkan para guru dalam diskusi kemahasiswaan.

Mitos dan Perumpamaan
Dua gambaran dimunculkan untuk membantu menjelaskan persoalan-persoalan yang kami amati. Kami menyabut salah satunya ‘Mitos Sisyphus’ dan yang lainnya “perumpaan yang tidak diterpakan di sekolah’.
Mitos Sisyphus
Bagi para guru, perangkap yang berkenaan dengan sarana-sarana berdasarkan pada kekuatan atau dorongan yang ada dalam penyia-nyiaan besar dalam mengangkat batu yang sama lebih dari seribu satu kali, merasakan setiap waktu bagaimana sia-sianya hal tersebut. Kegunaan dari jenis sarana ini adalah untuk ‘menjaga kelas tetap tertib’ dan yang mereka pahami sebagai ‘nilai-nilai keadilan seperti, tertib, rasa hormat dan tanggung jawab’ sama seperti perjuangan dari Sisyphus. Mereka tidak berhasil, tapi tetap percaya padanya. Tidak hanya ini: semakin mereka menggunakan semacam sarana yang tidak mencukupi untuk ‘menghitung’ norma-norma tertentu pada anak-anak, semakin jauh mereka dari tujuan akhirnya. Seorang guru mengekspresikan hal ini dengan jelas ketika berbicara pada seorang anak tentang rasa hormat:
Aku telah mengatakan padamu apa yang harus kamu lakukan. Kenapa kamu tidak melakukannya? Dan aku mengatakan padamu minggu lalu, dan aku harus terus mengatakannya padamu. Akankah ini akan pernah berakhir?
Sebaliknya, apa yang mungkin berjalan hanyalah hal yang malas dicoba oleh kebanyakan guru: untuk memberikan anak-anak sebuah rasa yang hidup dari kedua nilai-nilai abstrak yang penting bagi perkembangan, rasa hormat dan keadilan mereka.

Perumpamaan yang tidak diterapkan di sekolah
Kami mendengar seorang guru menerangkan kepada kelas:
Perhatian, anak-anak. Mereka bilang kita seharusnya tidak menggunakan contoh-contoh religi dalam sekolah umum, tetapi ini ada sebuah contoh yang bagus dari Injil. Dalam Injil, Jesus meninggalkan jemaahnya untuk mencari domba yang hilang. Tapi perumpamaan ini tidak diterapkan disekolah. Guru tidak dapat meninggalkan kelas hanya untuk membawa seorang anak kembali ke kelas.
Alasan disini berkenaan dengan ketidak mungkinan membawa kembali anak-anak yang tertinggal di belakang. Argument dari banyak orang yang bertentangan dengan ini bertabrakan: pendidikan kelas lebih penting, karena mereka banyak, daripada satu orang anak saja. Cara berpikir ini membenarkan kebijaksanaan dari ‘membiarkan jatuh’ siapa yang ‘dibawah rata-rata’. Tetapi ini adalah kekurangan dari argument tersebut: tindakan seperti ‘membiarkan anak yang dalam beberapa cara tidak beruntung, jatuh dibawah beratnya sendiri’. Analisa dari ekspresi kasih sayang, sebaliknya, menunjukkan bahwa kegagalan tersebut sering dipicu dan diperdalam.
Fenomena ‘Efek Pygmalion’ ini telah dipelajari lebih lanjut. Harapan guru mengenai apa yang dapat dicapai seorang anak, positif atau negatif, memiliki konsekwensi serius terhadap hasil akademis tetapi juga terhadap pengembangan moral. Kami memiliki banyak contoh mengenai bagaimana tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata mengenai ketidakmungkinan dari mencurahkan perhatian khusus. Mereka bertindak berlawanan dengan kemungkinan mempersatukan seorang anak, menguatkan bahwa dia tidak berhak mendapat perlakuan yang sama dengan yang lainnya karena dia memiliki lebih banyak masalah dalam memahami soal.
Perangkap apa yang berkenaan dengan ekspresi kasih sayang disasarkan kepada pengabaian atau salah perlakuan dari sudut pandang pengembangan moral anak? Bayangan ini berakar dalam penglihatan para guru terhadap sesuatu persoalan jauh yang ditimbulkan atau diperkuat oleh tindakan mereka sendiri. Sementara mereka terus menerapkan metode ‘perbaikan’ yang secara emosional membahayakan, tidak hanya hal ini tidak berhasil, tetapi pencapaian anak tidak berubah atau bertambah parah, ketika kepercayaan-diri menurun disebabkan oleh pengalaman-pengalaman atau kurangnya rasa hormat atau penghargaan atau penurunan kesalahan perlakuan.
Mengatur proses pengajaran: daerah istimewa untuk meningkatkan cerminan akademis dan moral anak-anak.
Ruang untuk cerminan dalam kelas
Catatan kami menunjukkan banyaknya cara bagaimana muatan akademis di masukkan: mencontoh teks; latihan menulis; mencontoh dan menjawab pertanyaan; membaca karangan dan menjawab pertanyaan secara oral; melakukan percobaan; meletakkan pertanyaan yang menuntun kepada pemikiran; atau mengadakan diskusi. Pertanyaannya kembali kepada hal ini: hubungan apakah yang dimiliki metode mengajar dengan nilai-nilai ini?
Ketika para guru menawarkan anak didik sebuah kesempatan untuk memikirkan masalah, baik pemikiran masalah akademis ataupun nilai-nilai, tetapi seringkali mereka berhubungan. Dengan pemikiran akademis, maksud kami adalah guru tersebut menolong anak didik untuk berpikir melalui muatan kulikuler dari sudut pandang kognitif, dalam hal pemahaman, analisa, sintesa, penerapan, pengurangan konsekuensi, atau pengiriman ide kepada situasi lainnya. Sebuah pemikiran pada nilai-nilai dapat didasarkan pada muatan kulikuler atau contoh kehidupan nyata, namun secara jelas menuju kepada diskusi kongkrit atau norma-norma abstrak.
Dalam penelitian kami, dari 181 rekaman, hanya 13 (7%) termasuk ‘pemikiran akademis’ dan 13 (7%) lainnya pada masalah nilai-nilai. Delapan puluh enam persen catatan kami tidak berisi satu pun dari kedua hal itu. Melihat waktu yang dihabiskan, ketidakcocokan proporsi terlihat lebih ekstrim, dan hanya 5 persen dari seluruh waktu, selama pemantauan kami, termasuk pemikiran macam apapun.
Lebih dari itu, sebagai momen istimewa pemikiran, urutannya memberikan para guru kesempatan untuk memberikan komentar pada situasi atau kebiasaan yang diinginkan maupun tidak, atau etika-etika dari tindakan-tindakan tertentu. Pendapat akan nilai memiliki fungsi penting dalam susunan nilai-nilai. Ada cara dalam mengekspresikan norma-norma absrak, dan bukan hanya peraturan-peraturan spesifik. Hal ini merupakan isi kognitif dari nilai-nilai, dan menawarkan anak kesempatan-kesempatan untuk mengenali keteledanan tertentu yang telah dibangun manusia sepanjang sejarah, dan yang dapat nilai-nilai referensi sebagai pedoman tindakan kita.
Melalui pendapat akan nilai, kita dapat memperoleh hubungan dengan tinkat pemikiran yang tertinggi yang telah dicapai guru, sejak mereka mengkekspresikan norma-norma abstrak yang telah didalami individu. Hal ini, pada gilirannya, akan memperjelas posisi guru telah diadopsi guru dalam pembangunan moral perseorangan, dengan memilih nilai-nilai tertentu. Karena kedewasaan dan otoritas seorang guru, penilaian ini penting sekali untuk anak didik, bersamaan dengan argumen yang menopangnya, yang harus diformulasikan dengan referensi kepada nilai-nilai abstrak.

Grup 1
Ada tingkat artikulasi dan argumen rasional yang tinggi mengenai norma-norma, dengan penggunaan orotitas yang rendah untuk menopang posisi tertentu. Debat moral digalakkan dan pemikiran dibalik pendapat akan nilai-nilai didiskusikan.
[Tema kelas 6: kedaulatan, kelas kewarganegaraan – ini adalah hasil kutipan dari diskusi.]
Guru: Dapatkah kamu pikirkan waktu ketika Meksiko mempertahankan kedaulatannya?
Murid: Ya, peperangan Puebla.
Guru: Bagus sekali.
Murid: Invasi oleh Amerika.
Guru: Bagus sekali, 1847. Tetapi anggaplah, sebagai contoh, seorang presiden negara lain ingin menguasai negara kita, tanpa persetujuan Meksiko, apakah perbuatannya akan menentang kedaulatan kita?
Semua murid: Ya.
Guru: Dan jika negara-negara lainnya ingin mengambil minyak kita dan Meksiko memprotes, akankah kita membela kedaulatan kita?
Semua murid: Ya, tentu saja.
[Guru perlahan membacakan sebuah kalimat dari buku: ‘Kedaulatan dilatih melalui demokrasi.’]
Guru: JIka kita tidak memiliki pemerintahan berbentuk demokrasi, akankah kita memiliki kedaulatan?
[Semua murid diam. Mereka berpikir.]
Guru: Saya beri contoh. Jika seorang raja yang memerintah negaranya, dapatkah negara lainnya menjajah dan tidak menghormati kedaulatan negara tersebut karena diperintah oleh seorang raja?
Murid: Sekalipun berbentuk kerajaan, tetap ada kedaulatan.
Guru: Kedaulatan membela cara hidup kita dan seluruh negara bisa mempertahankan kedaulatannya. Apakah kau percaya bahwa Amerika harus berperan dan memecahkan masalah di Chiapas?
Semua murid: Tidak.
Guru: Jadi kedaulatan berari sebuah negara harus menyelesaikan masalahnya sendiri karena hal itu adalah otonomi negara tersebut…

Grup 2
Pandangan nilai-nilai, dalam bentuk kongkrit, didukung tanpa alasan mengenai norma-norma abstrak atau nilai-nilai yang berhubungan. Karena norma-norma abstrak tidak dijelaskan, keberpihakan pada otoritas cenderung meningkat.
[Kelas setelah istirahat: hadiah ketepatan waktu.]
Kepala: Kami memberi selamat kepada para murid di kelas 3 karena telah memenangkan hadiah ketepatan waktu. [Dua perwakilan datang untuk menerimanya.]
Hadiahnya bukan hanya laskar ini, hadiah sebenarnya akan lebih baik setiap harinya. [Semua murid diminta untuk berjalan dengan tenang kembali ke kelas.]
Grup 3
Pandangan nilai-nilai berdasarkan kepercayaan religius para guru. Di sini ada sindiran kepada otoritas yang cukup tinggi dengan alasan yang terbatas. Alasan-alasan tersebut tidak dijelaskan tetapi malah dogma atau afirmasi yang ditarik dari ketaatan pribadi akan sekumpulan kepercayaan spesifik. Dengan jelas, guru dan kepercayaannya adalah sumber yang menghasilkan otoritas untuk mempertahankan keabsahan penilaian akan norma-norma. Penilai ini berdasarkan perspektif pengakuan.

[Kelas 3]
Guru: Resiko apakah yang ada dalam hubungan seksual diluar pernikahan?
Murid: Aborsi, pak.
Murid: Wanitanya bisa hamil dan prianya meninggalkannya atau mereka menikah tetapi pria itu meninggalkan mereka kemudian.
Murid: Tetapi kalau mereka menikah, pria itu tidak boleh meninggalkan anak istrinya, pak.
Guru: Melakukan hubungan seksual dan memiliki anak dalam pernikahan adalah sebuah karunia, tetapi di luar pernikahan …
Ada contoh di mana penilaian didasarkan pada kepercayaan religius guru, yang diekspresikan tanpa alasan mengenai kekhususannya. Formulasi itu mengundang persetujuan lebih dari pemikiran. Tiak ada kesempatan untuk para murid menekankan ide-ide mereka sendiri melalui analisa, diskusi, kontes atau pemberian alasan-alasan seputar norma-norma abstrak. Itulah batasan utnuk perkembangan moral para murid.

Grup 4
Penilaian norma-norma berdasarkan informasi yang tidak tepat atau tidak lengkap. Ada sindiran kepada figur yang berwenang di sini, guru, dengan perluasan alasan-alasan yang paling rendah untuk menopang penilaian akan norma-norma, bedasarkan informasi yang tidak tepat atau tidak lengkap. Inilah kenapa hal ini tidak memberikan para murid kesempatan untuk mendalai kepentingan norma-norma dan membangun otonomi, tetapi hanya untuk melekatkan kepada posisi dimana otoritas mewakili dan dicoba untuk dipaksakan. Karena alasan-alasan mengandung kekeliruan, informasi yang tidak lengkap atau tidak tepat, mereka menyampaikan pesan dalam bentuk norma-norma abstrak yang salah kepada para murid.

[Kelas 6]
Guru: Kamu percaya bahwa kita sedang berada di teknologi yang sama dengan USA?
Murid-murid: Tidak
Guru: Sayangnya negara-negara industry akan selalu mengambil keuntungan dari kita.

Guru ini menyatakan bahwa negara-negara berkembang akan selalu mengambil keuntngan dari negara seperti Mexico. Ia tidak menkontekskan masalah pengembangan, dengan informasi yang membuat murid-murid mengerti bahwa ini bukan merupakan masalah ‘pekerjaan’ tetapi hubungan yang tidak sama antara negara-negara, yang dibentuk sepanjang sejarah.
Kesimpulannya, sarana-sarana dari norma-norma abstrak, seperti halnya norma-norma kongkrit, memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi pengembangan moral, membawa anak-anak berkenaan dengan cara-cara sindiran tentang tingkah laku dan hidup yang mereka pikir lebih baik dari yang lainnya. Jika informasinya lengkap dan memiliki alasan yang bagus, dan dibawakan melalui dialog dan debat autentik, mungkin akan ada tanya jawab mengenai nilai, yang akan membantu murid-murid dalam membangun nilai-nilai abstrak. Jika hal ini tidak terjadi hanya akan membawa sangkaan dan kepercayaan berdasarkan kekuasaan, tanpa membangun baik kemampuan anak-anak untuk berpikir, dan ini akan secara negatif mempengaruhi perkembangan moral mereka.
Pemikiran dan tingkah laku dalam kelas

Akhirnya, suatu penemuan yang menjadi sangat jelas dalam penelitian ini adalah bahwa setiap kali para guru meningkatkan penanganan muatan kurikulum tertentu ke tingkat pemikiran, penyimpangan anak-anak terhadap norma-norma kongkrit sekolah menurun drastic, dan dalam beberapa kasus berhenti sama sekali. Ketika kita membandingkan kesalahan perilaku sebelum dan semasa urutan pemikiran, kita mendapatkan data yang tetap: ketika guru memberi murid-murid kesempatan untuk berpikir, ada kecenderungan nyata untuk mengurangi atau menghilangkan pelanggaran dan kegagalan dalam mengikuti norma-norma.
Sama halnya dengan kesempatan akademis dan etika pemikiran, anak-anak memperoleh pelajaran praktis dalam bagaimana membangun partisipasi, kerjasama dan rasa hormat dengan cara bekerja dalam grup, atau secara bergantian merekan belajar perseorangan dan kompetisi dlam jenis tugas lainnya.

Nilai-nilai dalam praktek pedagogi dan pertanyaan-pertanyaan terhadap kualitas dan keadilan sekolah
Ada hubungan jelas antara isu mengenai tingah laku para guru dalam menghormati pengembangan moral ini dengan sebagian besar jurusan dari aktifitas sekolah seperti proses kurikulum, kualitas dan keadilan pendidikan, pendidikan guru, manajemen dan susunan sekolah.
Pengulangan secara terus menerus dari peraturan tentang perilaku normative, dan dari reaksi kasih sayang dan praktek pedagogi dari para guru, memberi kesan bahwa ka harus melihat tdak hanya pada prseorangan tapi juga pada institusi dimana mereka telah bersosialisasi secara professional dan dimana mereka bekerja dari hari ke hari. Beberapa temuan dari budaya sekolah seolah-olah mengekspresikan dengan rapi nilai-nilai yang telah dibangun bersama sepanjang waktu. Cara-cara yang relatif stabil dalam menetapkan prioritas, proses pelaksanaan, membangun dan memenuhi semua norma-norma tak tertulis tertentu (secara sukarela oleh semua pihak), rutinitas dan ritual kerja dalam kelas, tradisi yang dijaga, cara-cara biasa dalam menyelesaikan konflik, cara-cara berhubungan dengan sesama, atau dengan yang berwenang dan orang tua, semua merupakan ekspresi-ekspresi dari budaya sekolah yang membawa nilai-nilai nyata. Hal ini memberi kesan bahwa kita perlu memikirkan mengenai prose manajemen dan mengenali bahwa budaya institusi dari sekolah mempengaruhi praktek-praktek tertentu.
Masalah praktek dalam kelas, persamaan dan nilai-nilai adalah masalah-masalah yang dikumpulkan ke dalam penanganan murid. Kami melihat contoh-contoh kebiasaan tidaksetara terhadap murid yang berbeda karena penampilan fisiknya, kedaan sosioekonomi atau kecepatan belajar. Murid-murid yang tertinggal itu mungkin sekali menerima perlakuan tidak dianggap, dituduh, diteriaki atau persalahkan begitu saja. Masalah-masalah ini telah dipelajari dengan mendalan, tetapi melihat masalah-masalah ini dari sudut pandang kontribusi moral terhadap penunjukkan bagaimana guru-guru secara tidak sadar menciptakan atau meningkatkan ketidakberuntungan diantara murid-murid yang dirugikan. Konsep ‘sarana’, seperti halnya ekspresi-ekspresi berpengaruh, menunjukkan bagaimana tujuan persamaan diperburuk oleh kebiasaan kelas. Hal ini wajah tersembunyi dari nilai-nilai yang dilakukan oleh guru. Kordinat berdasarkan teori ‘arti dari sebuah norma’ dan ‘penggunaan otoritas’ membantu kami membuat perbedaan dalam menilai dan merubah apa yang terjadi dalam sekolah-sekolah kami. Penelitian kami menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam praktek kelas, dan pertanyaan-pertanyaan kualitas dan persamaan dalam institusi sekolah berakar di sekitar masalah bagaimana murid diperlakukan. Hal ini sangatlah penting dalam mengerti jalur keberhasilan atau kegagalan murid, dan diwaktu yang sama dalam memahami bagaimana murid mengalami kehidupan sehari-hari di sekolah, dan kehadiran atau kealpaan rasa hormat dan penghargaan.
Urutan yang berhubungan dengan pemikiran memang penting dalam hal kualitas pendidikan dan pembangunan moral. Pembangunan moral yang tinggi dalam memfasilitasi pemikiran sistematis, baik tentang muatan kurikulum maupun situasi keadaan sehari-hari. Hal ini penting tidak hanya untuk keberhasilan akademis saja, tetapi juga karena hal ini menawarkan peluang pembentukan pola pikir anda sendiri dan meningkatkan peluang anda akan kesuksesan dalam hidup dalam masyarakat. Pemikiran adalah alat yang kuat untuk kehidupan sosial dan pribadi, baik dalam hal kepantasan maupun akademis. Dalam pemikiran ini, kita juga harus berpikir tentang bagaimana para guru dapat membangun pemikiran matang mereka dalam pendidikan guru yang penting dan pembangunan profesional yang berkelanjutan sehingga mereka dapat berpindah dari instruktur menjadi guru-guru yang berbicara dua arah.
Bukti bahwa apa yang ditawarkan guru dalam hal nilai-nilai berakar dalam kebiasaan normative mereka (pengaruh dan pedagogis) memberi kesan bahwa nilai-nilai pada praktek-praktek dalam kelas merupakan ekspresi sehari-hari dari pengembangan moral olej guru. Kita dapat melihat hal ini diartikan dalam peraturan-peraturan, cara-cara memperlakukan anak-anak dan penekanan pengajaran. Hal ini merupakan sebuah isu untukpendidikan guru, dan untuk para professional yang berpengalaman. Hal ini seharusnya membuat kita berpikir” jenis perlakuan apa (dalam hal menghormati ide-ide dan pengalaman mereka sebelumnya sama seperti apakah kepandaian dan sensitifitas mereka tertantang dalam pekerjaan mereka) yang diterima para guru dari tempat kerja mereka, badan professional mereka, dan dalam pendidikan guru mereka sebelumnya dan pengembangan professional? Bagaimana mereka diajak untuk terlibat dalam beragam proyek yang bertujun untuk memperbaiki pendidikan? Apa yang hal ini katakan mengenai rasa hormat?
Sehubungan dengan nilai-nilai dan pengembangan sekolah, bermacam-macam pertanyaan untuk mendukung pengembangan visi moral para guru menggabungkan bentuk-bentuk yang mungkin dari penyelidikan dan intervensi yang berjalan diluar pengembangan manajemen dalam persoalan-persoalan tertentu. Penelitian ini mengindikasikan adanya hubungan antara nilai-nilai yang ada di murid, pada intinya, dengan hati dalam praktek para guru, atau dengan kata lain berhubungan dengan interaksi guru dengan muridnya. Formasi nilai-nilai selalu menjadi masalah yang menjadi koridor penuntun pada yang lainnya. Sebuah proyek etis manajemen sekolah berfokus pada iklim moral sekolah – udara yang dihirup di kelas dan di lapangan, festifal dan aktifitas santai, kelas bahasa tulisan dan percakapan. Kebiasaan normatif, afektif, dan pedagogi dari guru menjadi pusat semua ini. Mempelajari konflik professional dengan implikasi moral, seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, dapat menjadi fokus yang kuat dalam persiapan para guru dan kepala sekolah. Hal ini akan mendemonstrasikan kebiasaan dan praktek sekolah sering kali bertentangan dengan peraturan tertulis sekolah sebagaimana prinsip kejujuran dan keadilan. Hal ini juga akan memberikan bukti gesekan antara keinginan pribadi dan kelas seputar peraturan yang dibuat, dan juga akan memfasilitasi reformasi yang akan mendukung hak murid terhadap pendidikan.
Catatan
Versi panjang artikel ini dalam bahasa Spanyol, termasuk diskusi teroretis yang lebih jauh dan referensi lebih dalam, dapat ditemukan di www.ice.deusto.es/rinace/reice (1(2), 2003)
Cecilia Fierro Evans dapat dihubungi melalui email di: cecilia.fierro@leon.uia.mx

Referensi
Heller, A. (1979) A Theory of Feelings. Assen: Goreum.
Heller, A. (1999) Teoria de los Sentimientos. Mexico: Fontamara-Coyoacán.
Kohlberg, L. (1984) The Psychology of Moral Development. London: Harper Row.
Kohlberg, L. (1999) Psicologia del Desarrollo Moral. Bilbao: Desclée de Brouwer.
Smetana, L. G. (2001) The role of parents in moral development: a social domain analysis. University of
Rochester. Online: www.uic.edu (accessed 24 February 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar