tag:blogger.com,1999:blog-68683344653428213602024-02-20T00:56:53.825-08:00umiTN 07umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.comBlogger139125tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-82649779845154859642009-05-28T03:05:00.000-07:002009-05-28T03:06:41.060-07:00Psikologi Anak Luar BiasaBAB I<br />Kajian Psikologis tentang Perkembangan Anak<br /><br />Secara umum perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia meliputi empat tipe, yaitu :<br />1. Perubahan ukuran yang meliputi perubahan fisik seperti bertambah tinggi,bertambah berat,besarnya organ-organ,dan sebagainya.<br />2. Perubahan proporsi,dapat diamati dari perbandingan antara ukuran-ukuran tubuh manusia yang mengalami perubahan.<br />3. Hilangnya sifat atau keadaan-keadaan tertent,misalnya hilangnya rambut dan gigi pada bayi,hilangnya sifat kekanak-kanakkan,hilangnya gerakan-gerakan bayi yang tidak bermakna,dsb.<br />4. Munculnya sifat-sifat atau keadaan baru,misalnya munculnya karekteristik-karakteristik seksual,standar-standar moral,dsb.<br /><br />ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN ANAK<br />1. Periode-periode perkembangan<br />Masa perkembangan anak meliputi lima periode sebagai berikut :<br />a. Periode pra-natal(sejak konsepsi sampai kelahiran)<br />b. Periode infasi(sejak lahir sampai 10-14 hari)<br />c. Masa bayi (sejak 2 minggu sampai 2 tahun)<br />d. Masa anak-anak ( sejak usia 2 tahun sampai masa remaja)<br />• Masa anak-anak awal (sejak usia 2 tahun sampai 6 tahun )<br />• Masa kanak-kanak akhir (sejak usia 6 sampai 13 tahun untuk anak perempuan dan 14 tahun untuk anak laki-laki ).<br />e. Masa Pubertas (sejak usia 11 tahun sampai 16 tahun)<br />2. Perkembangan fisik<br /> Pertumbuhan terjadi dalam siklus yang teratur serta dapat diramalkan dan menunjukkan tempo yang berbeda-beda pada usia yang berbeda dan bagian tubuh yang berbeda pula.<br /> Tinggi dan berat tubuh anak ditentukan oleh hormon pertumbuhan yang ada pada kelenjar pituitari. Ukuran tubuh mempengaruhi penampilan,koordinasi motorik, dan status kematangan anak.<br /> Pengapuran tulang anak mempengaruhi penampilan dan tingkah laku anak, dan kedua aspek ini mempengaruhi konsep diri anak. Perbandingan otot dan lemak pada tubuh anak secara langsung mempengaruhi tipe dan kualitas tingkah laku anak. Perbandingan itu secara tidak langsung mempengaruhi reaksi anak terhadap bentuk tubuhnya dan dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap hal tersebut.<br /> Gigi susu anak mempengaruhi anak secara fisik dan keseimbangan,Sedangkan gigi tetap anak mempengaruhi anak secara psikologis dengan peran menunjukkan tanda kematangan dan pengaruh terhadap penampilan dan kegiatan berbicara anak. Kondisi kesehatan anak berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik,kualitas energi,perkembangan diri,keadaan emosi,tingkah laku sosial,dan prestasi sekolah anak.<br /><br />3. Perkembangan kemampuan kognitif<br /> Piaget memandang intelegensi sebagai suatu proses adaptif dan menekankan bahwa adaptasi melibatkan fungsi intelektual.piaget membahas proses adaptasi yang diartikan sebagai keseimbangan antara kegiatan organisme dan kegiatan lingkungannya. Dengan demikian lingkungan dipandang sebagai suatu hal yang terus menerus mendorong organisme untuk menyesuaikan diri terhadap situasi realitas,demikian pula secara timbal balik organisme secara konstan menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan bagian dari dirinya.<br /><br />a. Asimilasi dan Akomodasi.<br />Organisme menyesuaikan lingkungannya terhadap sistem biologis yang sudah ada,proses ini disebut piaget sebagai asimilasi. Organisme mengasimilasikan lingkungan atau persepsinya mengenai lingkungan ke dalam sistem yang sudah ada dalam diri organisme. Modifikasi organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya disebut piaget sebagai akomodasi. Organisme mengakomodasikan dirinya terhadap realitas eksternal.Dalam setiap kegiatan intelektual selalu merupakan interprestasi terhadap lingkungannya (asimilasi mental) suatu usaha untuk menstrukturkan situasi menurut suatu sistem yang sudah ada. Setiap kegiatan mental selalu melibatkan beberapa adaptasi sistem yang ada terhadap kondisi realitas yang sudah ada pada waktu itu.<br /><br />b. Keseimbangan <br />Adaptasi adalah keseimbangan akomodasi dan asimilasi. Hal ini berarti bahwa interaksi antara organisme dan lingkungannya berada dalam keadaan seimbang.<br />Defenisi lain, adaptasi adalah kegiatan mental dimana untuk pertama kalinya individu berusaha menghadapi suatu bagian lingkungan \,misalnya seorang remaja yang baru belajar berdansa tidak melaksanakan kegiatan adaptasi karena dalam hal ini akomodasi menguasai asimilasi <br /><br />c. Skema<br />Kecendrungan untuk melatih atau mengulang skema disebut piaget ‘asimilasi fungisional’ atau ‘asimilasi reproduktif’. Hal tersebut menyebabkan skema-skema tersebut menjadi terintegrasi dengan lebih baik,lebih stabil,dan lebih mantap.<br />Dalam hal ini dikenal empat periode utama dalam ontogenik inteligensi dalam sistem paiget yang masing-masing dapat dibagi dalam beberapa periode dan tahap.<br />Periode pertama dalam perkembangan inteligensi atau kognitif adalah periode inteligensi senso-motorik yang dimulai pada awal kelahiran dan berakhir pada usia 2 tahun, dan menjadi 6 tahap yang berbeda dan dibagi lagi menjadi beberapa sub-tahap.<br /><br /><br /><br /><br /><br />a) Periode Inteligensi Senso-Motor (sejak lahir sampai 2 tahun)<br />• Tahap pertama; pelaksanaan skema refleksi (sejak lahir sampai 1 bulan).<br />Pada tahap ini terjadi refleksi neo-natal seperti menghisap,refleksi menggenggam,dan refleksi moro.selama tahap ini,bayi yang baru dilahirkan melatih atau mempraktekkan reflek-reflek ini dan menjalani proses menuju ke arah kemantapan dan keefesienan.<br />• Tahap kedua; adaptasi pertama yang dipelajari dan reaksi sirkuler yang pertama (sejak 1 bulan sampai 4 bulan).<br />Pada tahap ini skema refleks banyak mengalami perubahan sebagi hasil interaksi bayi dengan lingkungannya. Pada tahap ini proses asimilasi timbal balik,maka terbentuklah suatu koordinasi dalam bentuknya yang paling sederhana di antara berbagai skema,misalnya menghisap dan melihat,menggenggam dan menghisap,melihat dan mendengar.<br />• Tahap ketiga; reaksi sirkuler 9dari 4 bulan sampai 8 bulan ).<br /> Selama tahap ini anak menjadi terorientasi pada dirinya dan sekelilingnya. Mereka menunjukkan tanda-tanda pertama bahwa mereka mengenal yang sudah biasa dihadapinya dan menunjukkan intensionalitas tingkah lakunya.<br />• Tahap keempat; koordinasi skema sirkuler (dari 8 bulan sampai 12<br />Bulan).<br />Pada tahap ini orientasi bayi makin terarah ke arah dunia luar dirinya.pada tahap ini, bayi mulai mengantisipasi apa yang akan terjadi dan dengan kemampuannya untuk perta kali dengan jelas terlihat bahwa bayi mulai berusaha mempengaruhi masa depannya.<br />• Tahap kelima; reaksi sirkiler tersier (mulai 12 bulan sampai 18 bulan).<br />Pada saat ini asimilasi dan akomodasi dapat dibedakan dengan jelas. Akomodasi tidak lagi sekedar dipaksakan pada anak-anak,sebab dia mulai secara aktif mencari pengalaman-pengalaman untuk mengadakan akomodasi dengan melakukan percobaan-percobaan terhadap lingkungannya.Hal ini menandai mulainya adaptasi baru yang ditunjukkan oleh piaget bahwa orang memiliki ciri atau sifat intelegensi yang sesungguhnya.<br />• Tahap keenam; penemuan cara baru melalui kombinasi mental <br />(18 bulan dan seterusnya sampai 2 tahun ).<br />Pada tahap ini mereka mulai dapat mengungkapkan secara simbolis kejadian-kejadian yang tidak ada dalam bidang persepsi mereka dan mulai menggabungkan image-image atau simbol-simbol ini secara internal.<br /><br />b). Periode Pemikiran Pra-Operasional(mulai 2.0 sampai 7.0 tahun )<br /><br />Pada peride sensomotorik anak-anak hanya tertarik pada persoalan apakah respon yang mereka dapat memberikan hasil yang mereka inginkan, mereka tidak mempersoalkan cara mereka memperolh hasil tersebut (mempersoalkan what) tidak mempersoalkan ‘how’.Intelegensi pada periode ini tidak bersifat reflektif : Pada periode ini tidak terdapat suatu hal yang merupakan usaha untuk mengejar atau memperoleh pengetahuan atau kebenaran. Pada periode sensomotorik anak hanya mempersoalkan aspek kongkrit tentang dunia realitas;jarak spatio-temporal antara anak dengan objek yang mereka persoalkan sangatlah dekat.<br />Menerut piaget syarat utama untuk representasi realitas dalam diri individu adalah kemampuan untuk membedakan antara ‘significate’.Signifer adalah suatu resperentasi internal,seperti misalnya image atau kata-kata yang melambangkan atau mewakili beberapa aspek realitas.Significate adalah pengertian anak mengenai aspek realitas tersebut di atas.Bagi anak-anak mengenai baju tidur merupakan isyarat bagi bayi bahwa mereka akan dibawa ke tempat tidur,anak tidak menyadari perbedaan antara signifer dengan significate.Berbeda dengan anak yang lebih besar yang bermain-main dengan memberikan makanan kepada anjing mainannya,mengerti bahwa potongan kayu yang dianggap biskuit untuk anjing hanya merupakan lambang dan yang dilambangkan adalah biskuit. Dalam hal ini anak-anak yang berada pada periode pra-oprasional atau taraf yang lebih tinggi,menunjukkan kemampuan untuk menimbulkan secara internal suatu aspek dari dunia yang secara perseptual tidak hadir dan dapat mengenal atau mengetahui bahwa mereka melakukan hal tersebut.Anak menunjukkan kemampuan untuk mengadakan signifer dan significate. <br />Proses pemikiran pra-oprasional pada dasarnya bersifat egosentris. Selama periode ini anak-anak tidak mengembangkan kemampuan untuk memandang suatu masalah dari berbagai sudutMereka tidak dapat menduga posisi kognotif orang lain atau melihat sudut pandangnya sendiri sebagai salah satu sudut pandang yang mungkin dari sekian banyak kemungkinan yang ada.Jadi mereka tidak perlu mempertahankan pandangan mereka atau menilai,membenarkan logika mereka.Anak-anak pada periode pra-oprasional cenderung untuk memusatkan perhatian mereka pada ciri-ciri yang paling menarik dari suatu stimulus.<br />Keterbatasan lain pada periode ini ialah kenyataan bahwa anak tidak dapat melaksanakan penalaran secara rasional.Penalaran pada periode pra-oprasional ini berlatih dari yang bersifat khusus ke sifat lainnya dan tidak bergerak bolak-balik. Keterbatasan lain dalam pemikiran pra-oprasionalmelibatkan kemampuan anak untuk berpikir maju(forward) maupun berpikir mundur(backward). Anak-anak pada periode pra-oprasional tidak dapat berpikir dengan gerak seperti itu tanpa menimbulkan distori pada usur-unsur pemikiran tersebut.<br /><br />c). Periode Oprasional Konkret (mulai usia 7.0 – 11.0 tahun)<br />Anak-anak pada periode ini beroperasi pada taraf pemikiran representasional tepat seperti anak-anak pada periode pra-oprasional tetapi terdapat suatu perbedaan yang menyolok yaitu bahwa pada anak-anak yang berada pada periode operasinal kongkrit terdapat sistem kognitif yang terorganisasi dengan baik dan memungkinkan mereka menghadapi lingkungannya secara lebih efektif.<br />Aspek perkembangan kognitif lain yang penting pada periode operasi konkret ini adalah kemampuan untuk membentuk klasifikasi hirarkis dan kemampuan untuk mengerti hubungan yang ada di antara berbagai taraf hiararki tersebut. Pada waktu anak mencapai usia 7 tahun sampai dengan 11 tahun mereka membentuk klasifikasi hirarkis dan menguasai masalah pengelompokkan ke dalam satu kelas,dengan demikian mereka menguasai bagian dan juga menguasai keseluruhan sekaligus yang berarti bahwa dia sudah menguasai operasi kongkrit.<br />Dengan demikian anak-anak pada periode ini mulai menghadapi orang lain secara rasional. Mereka mulai mengerti dan bahkan mulai merumeskan aturan-aturan logis. Piaget (1960) telah mencatat bahwa anak-anak pada periode operasinal kongkrit cenderung untuk bermain dalam permainan yang memiliki aturan-aturan yang teroorganisasi secara kogeren dan logis. Komunikasi anak-anak dengan orang lain pada periode operasional kongkrit menjadi makin kurang egosentris dan menjadi lebih bersifat sosial.<br /> <br />d). Periode Operasi-operasi Formal (11 tahun dan selanjutnya).<br />Dalam pemikiran operasinal formal,berawal dari kemungkinan-kemungkinan yang hipotesis atau teoretis dan bukan berawal dari hal-hal yang nyata,seperti yang diungkapkan Flavell (1963). Anak-anak yang berada pada periode pra-operasional akan memecahkan masalah ini dengan cara yang sangat tidak sistematis,mula-mula mencoba salah satu cara kemudian mencoba cara lain, dan nampaknya mereka tidak memiliki rencana yang menyeluruh. Tidak adanya organisasi kognitif menyebabkan tidak dapat membuat dan menguji hipotesis secara sistematis.<br />Pendekatan anak-anak pada periode operasional formal menunjukkan bahwa merek cenderung untuk berpikir mengenai seluruh kemungkinan kombinasi sebelum mereka memulai dengan eksperimennya. Mereka mampu membuat rencana eksperimen yang efektif dan teratur dan mengisolasi faktor-faktor yang menentukan dan memvariasikan satu demi satu dan hanya meneliti satu faktor pada setiap percobaan,dan mempertahankan faktor-faktor lain agar tetap konstan. Mereka melakukan pengamatan yang teliti dan menarik kesimpulan logis dari hasil yang mereka peroleh.<br /><br />4. Perkembangan Emosi<br />a. Peranan Emosi dalam Kehidupan Anak<br />Dalam kehidupan anak,emosi memiliki sejumlah peranan,antara lain :<br /> Emosi menambah kesenangan terhadap pengalaman sehari-hari, baik pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang tidak menyenangkan.<br /> Emosi mempersiapkan tubuh anak untuk mengadakan kegiatan melalui reaksi-reaksi fisiologis yang menyertai emosi tersebut.<br /> Ketegangan emosi menyebabkan terganggunya keterampilan motorik,misalnya terhadap kegiatan berbicara,orang dapat menjadi gagap.<br /> Emosi berperan sebagai bentuk komunikasi, dengan ekspresi dan reaksi-reaksi tubuh lainnya seseorang menyampaikan perasaanyya kepada orang lain.<br /> Emosi mempengaruhi aktivitas mental secara umum. Emosi yang tidak menyenangkan, menyebabkan penurunan prestasi dari aktivitas mental.<br /> Emosi merupakan sumber penilaian sosial dan penilaian diri.<br /> Emosi mewarnai pandangan seseorang mengenai kehidupan.<br /> Emosi mempengaruhi interaksi seseorang.<br /> Emosi yang tidak mentenangkan mendorong anak untuk mengubah tingkah laku sosial<br /> Respon emosional bila diulangi terus menerus akan menjadi suatu kebiasaan.<br /> Emosi membekas pada ekspresi wajah secara umum<br /> Emosi mempengaruhi iklim psikologis lingkungan sekelilingnya<br /><br />b. Pola Perkembangan Emosi<br />Secara umum dapat disimpulkan bahwa respon emosional menunjukkan perkembangan mulai dari respon yang difus,random, dan tidak terdeferensiasi menjadi respon yang jelas, terarah, dan terdefernsiasi..<br />Pada mulanya seorang bayi menunjukkan ketidaksenangannya dengan menjerit dan menangis. Ketika bayi tersebut bertambah besar, ketidaksenangannya diungkapkan dalam bentuk melemparkan benda, mengejangkan tubuh, memalingkan muka , berlari, bersembunyi, dan sebagainya. Dengan bertambahnya usia, respon motorik cenderung menurun dan digantikkan dengan respon yang bersifat verbal.<br />Pola emosi pada masa anak-anak menunjukkan kecendrungan untuk tetap bertahan kecuali jika anak yang bersangkutan mengalami perubahan radikal dalm segi kesehatan, lingkungan, atau hubungan personal sosialnya.<br /><br />c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi<br />Perkembangan emosi secara umum dipengaruhi dua faktor penting yang berhubungan satu dengan lainnya yaitu kematangan dan proses belajar.<br />Kematangan intelektual memungkinkan seorang anak mengerti arti-arti baru yang sebelumnya tidak dimengerti, memusatkan perhatian untuk jangka waktu yang lebih lama, dan memusatkan ketegangan emosional pada suatu objek tertentu.<br />Proses belajar mencoba-coba didasarkan pada pengalaman di masa lalu. Proses belajar jenis ini secara khusus mempengaruhi aspek respon dari pola emosi, untuk memperoleh cara pengungkapan emoi yang paling memuaskan baginya. Proses belajar seperti ini biasanya dijumpai pada awal masa anak-anak. Proses belajar ini kemudian akan diganti dengan proses belajar yang lebih efisien dan perubahan ini dipengaruhi oleh bimbingan yang diberikan kepada anak tersebut.<br /><br />d. karakteristik – karakteristik Emosi Anak<br />Adapun karakteristik-karakteristik emosi anak dapat diuraikan sebagai berikut :<br /> Pada masa anak-anak, respon emosional menunjukkan intensitas yang sama terhadap semua kejadian, belum terdeferensiasi dalam hal intensitas.<br /> Pada masa anak-anak,respon emosional menunjukkan frekuensi yang tinggi, karena anak belum mampu menyesuaikan diri terhadap situasi yang menimbulkan emosi.<br /> Pada masa anak-anak, respon emosional bersifat sementara, sangat mudah beralih dari satu respon ke respon lain yang sangat berbeda<br /> Setiap bayi beremosi, namun demikian dengan bertambahnya usia bayi serta pengaruh proses belajar dan pengaruh lingkungan, tingkah laku yang menyertai emosi tertentu menjadi lebih bersifat individual.<br /> Emosi berubah dalam kekuatannya.<br /> Emosi dapat diketahui melalui gejala tingkah laku.<br /><br /><br /><br /><br /><br />e. Pola – pola Emosi yang Umum<br />Beberapa bulan setelah bayi dilahirkan, pola-pola emosi terdeferensiasi yang mulai terbentuk adalah:<br /> Takut<br /> Malu (Shyness)<br /> Malu (Embarassment)<br /> Kekhawatiran<br /> Kecamasan (Anxiety)<br /> Marah<br /> Iri Hati<br /> Sedih<br /> Hasrat ingin Tahu<br /> Kesukaan,kesanggupan,kegembiraan (Joy,pleasure,Delight)<br /> Kasih sayang<br /><br />f. Perkembangan Emosional<br />Perkembangan emosional anak mempunyai satu arah yaitu keseimbangan emosional yang diartikan sebagai suatu keadaan pengendalian emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.<br />Keseimbangan emosional ini dapat dicapai melalui dua cara, yaitu mengendalikan lingkungan dan mengembangkan toleransi emosional yang berarti mengembangkan kemampuan untuk menahan akibat emosi yang tidak menyenangkan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />5. Perkembangan Sosial<br />a. Tuntutan Sosial (social Expectations)<br />Beberapa kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial adalah :<br />• Keadaan yang dibawa sejak lahir,hal ini biasanya berhubungan dengan keadaan diri individu yang tidak dapat diperbaiki,misalnya cacat tubuh.<br />• Seorang anak yang telah berhasil memenuhi tuntutan sosial kelompok tertentu mungkin akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial kelompok lainnya.<br />• Penyesuaian diri seorang anak terhadap tuntutan sosial kelompok, akan berlangsung dengan sulit bila anak tersebut tidak dapat menerima ideal kelompok tersebut.<br />• Anak yang telah berhasil menguasai tuntutan sosial pada suatu tingkat umur tertentu.<br />• Kebingungan akibat tuntutan sosial yang kurang jelas.<br />• Kurangnya kesempatan bagi anak untuk mempelajari pola tingkah laku yang dapat diterima oleh suatu kelompok.<br />• Kurangnya motivasi untuk memenuhi tuntutan sosial juga akan menimbulkan kesulitan bagi anak.<br /><br />b. Pengalaman Sosial pada Usia Dini<br />Pengalaman sosial pada usia dini yang tidak menyenangkan menimbulkan pengaruh yang merugikan, karena usia dini merupakan suatu masa yang kritis bagi pembentukan sikap sosial yang mendasar. Bila sikap sosial yang mendasar itu sudah terbentuk, maka sulit untuk diubah.<br />Pengaruh keluarga dan lingkungan di luar keluarga merupakan hal yang penting bagi perkembangan sosial anak. Di samping itu, posisi anak dalam urutan anak-anak dalam keluarga dan jumlah anggota keluarga juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak.<br /> <br />c. Pengaruh Kelompok Sosial<br />Pola pengaruh kelompok sosial bagi seorang anak bersifat universal.Orang-orang yang sangat mempengaruhi Pola perkembangan sosial anak yaitu : keluarga, guru, Teman-teman seusia. Selain itu juga perlu diperhatikan faktor-faktor yang ada dalam kelompok sosial yang berpengaruh terhadap anak, yaitu : Penerimaan kelompok, Kapasitas status, Tipe kelompok, Popularitas, Kepribadian anak yang bersangkutan, Motif untuk bergaul (afiliasi).<br /><br />d. Landasan Pemikiran mengenai perkembangan sosial<br />Perkembangan sosial merupakan suatu hal yang relatif konstan, hal ini berlandaskan pada dua alasan, yaitu :<br />1). Pola perkembangan fisik dan mental serupa untuk semua anak. Perbedaan yang dapat dikatakan tak berarti biasanya disebabkan oleh kecerdasan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian anak-anak menguasai tugas perkembangan pada usia yang kurang lebih sama.<br />2). Dalam suatu kelompok kultur, tekanan dan tuntutan sosial mengarah pada pengalaman belajar yang sama bagi semua anak. Bila seorang anak menunjukkan tingkah laku yang sangat berbeda dibandingkan dengan anak-anak seusia, maka hal itu berarti bahwa anak itu mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosialnya.<br /><br />PERKEMBANGAN SOSIAL PADA MASA ANAK-ANAK AWAL<br />Dari usia 2 sampai 6 tahun, anak mulai melaksanakan kontak sosial dengan orang-orang di luar keluarganya terutama dengan anak-anak seusianya.Mulai belajar untuk menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan teman-temannya.Makin banyak kontak sosial yang terjadi pada usia dini, semakin baik penyesuaian sosialnya di masa yang akan datang.<br />1. Hubungan dengan Orang Dewasa<br /> Dengan meningkatnya usia, anak menunjukkan penurunan minat untuk bergaul dengan orang dewasa dan sejalan dengan itu anak menunjukkan minat yang meningkat untuk bergaul dengan anak-anak seusianya. Hal ini terungkap dalam bentuk tingkah laku yang tidak tergantung pada orang dewasa bukan menentang otoritas orang dewasa.<br />2. Hubungan dengan anak-anak lain<br /> Pada usia 2 tahun, anak-anak bermain sendiri walaupun mereka berkumpul di suatu tempat tertentu. Interaksi sosial sangat sedikit dan hanya berbentuk tingkah laku meniru atau memandang anak lain.Mulai usia 3 tahun, anak-anak mulai bermain bersama dalam kelompok, berbicara satu dengan lainnya, bersama-sama menentukan kegiatan apa yng mereka lakukan. Pada usia ini anak mulai menunjukkan pendekatan yang baik pada teman-temannya.<br />3. Bentuk-bentuk Tingkah Laku Sosial yang Umum<br /> Bentuk-bentuk tingkah laku sosial yang biasa dijumpai pada masa anak-anak adalah :<br />1. Negativisme<br />2. Agresi<br />3. Kerja sama<br />4. Tingkah laku Menguasai<br />5. Kemurahan Hati<br />6. Ketergantungan<br />7. Persahabatan<br />8. Simpati<br />5. Pola Tingkah laku Sosial dalam Masa Anak-anak Akhir<br />Beberapa pola tingkah laku pada masa anak-anak akhir adalah :<br />(1). Kepekaan terhadap penerimaan dan penolakan sosial.<br />(2). Kepekaan yang berlebihan<br />(3). Sugestibilitas dan kontra sugestibilitas seperti kepekaan yang berlebihan<br />(4). Persaingan<br />(5). Kesportifan.<br />(6). Tanggung Jawab<br />(7). Insight sosial <br />(8). Diskriminasi sosial<br />(9). Prasangka<br /><br />PERKEMBANGAN SOSIAL PADA MASA REMAJA<br /> Pada masa remaja, seorang anak menunjukkna kecendrungan menyendiri. Dengan meningkatnya usia, sikap dan tingkah lakunya sering menunjukkan sikap antisosial sehingga masa remaja sering kali disebut fase negatif.<br /> Perkembangan Kepribadian<br />Dalam situasi sosial yang kompleks, guru dan orang tua menunjukkan perhatian terhadap usaha untuk mengembangkan pola kepribadian anak untuk mengembangkan pola kepribadian anak untuk mencapai suatu penyesuaian diri yang baik dalam lingkungan, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang.<br /><br />Pola Kepribadian<br /> Pola kepribadian terdiri dari dua komponen, yaitu komponen inti yang disebut konsep diri dan komponenpenunjang yang disebut sifat (trait). Pola kepribadian orang normal dan yang abnormal dibedakan berdasarkan derajat organisasinya. Pola kepribadian orang normal terorganisasi, komponen-komponennya menunjukkan hubungan yang erat dan berstruktur, sedangkan kepribadian orang abnormal menunjukkan disorganisasi.<br /> Stabilitas konsep diri seseorang tergantung pada beberapa hal antara lain :<br />1). Perlakuan yang tidak konsistan yang menyebabkan perbedaan perlakuan di dalam <br /> Keluarga.<br />2). Kesenjangan antara konsep diri yang riil dan konsep yang dicita-citakan.<br /><br />Perkembangan Pola kepribadian<br />Perkembangan pola kepribadian dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : pembawaan sejak lahir, pengalaman pada masa dini dalam keluarga, dan pengalaman dalam masa kehidupan selanjutnya. Dalam membicarakan perkembangan pola kepribadian akan dibicarakan secara terpisah :<br />a. Perkembangan konsep diri<br />Konsep diri diperoleh seorang anak melalui kontaknya dengan manusia lain. Pada mulanya orang-orang yang berarti bagi seorang anak adalah anggota keluarganya, sesudah itu meluas menjadi kelompok teman-teman seusia dan guru.Faktor pembawaan mempengaruhi perkembangan seseorang dalam bentuk cara anak menginterpretasikan perlakuan yang diterimanya dari orang lain.Menjelang masa remaja, konsep diri seorang anak biasanya sudah mantap walaupun masih terbuka kemungkinan perubahan bila anak memperoleh pengalaman pribadi atau pengalaman sosial yang berarti.<br />b. Perkembangan sifat<br />Sifat merupakan hasil proses belajar dan berdasar pada faktor-faktor keturunan. Beberapa sifat kepribadian dipelajari dengan cara mencoba-coba.Anak-anak mengembangkan sifat kepribadiannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya untuk dikagumi oleh anggota kelompoknya. Dengan demikian anak tersebut akan diterima dan diakui sebagai anggota kelompok.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />KARAKTERISTIK DAN<br />PERKEMBANGAN<br />ANAK TUNANETRA<br /><br />A. Pengertian Gangguan Penglihatan (Ketunanetraan)<br /> Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut :<br />• Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.<br />• Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.<br />• Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.<br />• Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.<br />Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya(visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca jarak 21 meter.<br />Berdasarkan acuan tersebut,anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :<br />(1). Buta<br />Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0)<br />(2). Low Vision<br />Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.<br /><br /><br />B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketunanetraan<br /> Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya : kecelakaan,terkena penyakit siphlis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyaratan rusak,dll.<br /><br />C. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra<br /> Tunanetra juga akan mengenal bentuk, posisi,ukuran, dan perbedaan permukaan melalui perabaan. Melalui bau yang diciumnya ia dapat mengenal seseorang, lokasi objek, serta membedakan jenis benda. Walaupun sedikit perannya melalui pengecapan, tunannetra juga dapat mengenal objek melalui rasanya walaupun terbatas. Karena itu bagi tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau yang diciumnya, ,kualitas kesan yang dirabanya, dan rasa yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya. Implikasinya, kebutuhan akan rangsangan sensoris bagi anak tunanetra harus benar-benar diperhatikan agar ia dapat mengembangkan pengetahuannya tentang benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang ada di lingkungannya.<br /> Karena kurangnya stimuli visual, perkembangan bahasa anak tunanetra juga tertinggal dibanding anak awas. Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata terbagi atas dua golongan,yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalamnnya sendiri, dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari orang lain yang ia sendiri sering tidak memahaminya. Komunikasi nonverbal pada tunanetra juga merupakan hal yang kurang dipahaminya karena kemampuan ini sangat tergantung pada stimuli visual dari lingkungannya. Dalam hal pemahaman bahasa, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan anak awas, kosakata anak tunanetra cenderung bersifat definitif, anak awas cenderung lebih luas.<br /><br /><br /> Bagi anak tunanetra proses pencarian keseimbangan ini tentu tidak semudah orang awas, sebabnya adalah penggunaan teknik asimilasi maupun akomodasi sangat terkait erat dengan kemampuan indera penglihatan sebagai modalitas pengamatan terhadap objek atau hal-hal baru yang ada di lingkungannya.<br /> Pada tahap sensorimotor yang ditandai dengan penggunaan sensori-motorik dalam pengamatan dan pengindraan yang intensif terhadap dunia sekitarnya, pada anak tunanetra prestasi intelektual dalam perkembangan bahasa mungkin bukan masalah besar, asal lingkungan memberi stimuli yang kuat dan intensif terhadap anak. Tanpa stimuli tersebut bukan tidak mungkin perkembangan bahasa anak juga terhambat karena pengamatan visual juga merupakan faktor penting dalam menumbuhkembangkan bahasa anak.Sedangkan prestasi intelektual dalam konsep tentang objek, kontrol, skema, dan pengenalan hubungan sebab akibat jelas akan mengalami kelambatan.<br /> Pada tahapan pra-operasional yang ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang khusus; sapi disebut kerbau), Dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum memahami cara orang memandang objek yang sama), serta bersifat searah, anak tunanetra cenderung mengalami hambatan atau kesulitan dalam cara-cara berpikir seperti itu. Ketidakmampuannya dalam menggunakan indera penglihatan sebagai saluran informasi cenderung mengakibatkan kesulitan dalam belajar mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri yang mencolok (menonjol) atau kriteria tertentu.<br /> Pada tahapan operasional konkret yang ditandai dengan kemampuan anak dalam mengklasifikasikan, menyusun, mengasosiasikan angka-angka atau bilangan, serta proses berpikir, walaupun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret, anak tunanetra dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam batas-batas tertentu, namun secara umum hal ini akan sulit dilakukan. Ini disebabkan oleh sistem organisasi kognitif sebelumnya yang mutlak diperlukan dalam cara-cara seperti di atas tidak terorganisasi secara utuh pada anak tunanetra.<br /> Pada tahapan operasinal formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah formalyang tidak terikat lagi dengan objek-objek yang bersifat konkret, seperti kemampuan berpikir hipotesis deduktif. Anak tunanetra dalam hal-hal tertentu mungkin dapat melakukan dengan baikwalaupun sifatnya sangat verbalistis. Namun demikian, karena dalam perkembangan kognitif ini sifatnya hierarkis, artinya tahapan sebelumnya akan menjadi dasar bagi berkembangnya tahapan berikutnya, pencapaian tahapan operasi formal ini juga akan dicapai secara utuh oleh anak tunanetra.<br /><br />D. Perkembangan motorik anak tunanetra<br /> Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan anak awas pada umumnya. Kelambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungisional antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot)dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif).<br /> Bagi anak awas, mungkin sangat mudah melihat dan memahami batas wilayah ruang geraknya,bahaya-bahaya apa yang mungkin timbul, serta belajar menirukan bagaimana orang lain melakukan sesuatu aktivitas motorik. Namun bagi anak tunanetra, hal ini adalah masalah besar. Anak hanya akan tahu batas wilayah ruang geraknya sepanjang jangkauan tangan dan kakinya. Ia hanya tahu ada bahaya sepanjang bahaya tersebut dapat dideteksi oleh tangan, kaki atau indera pendengaran dan penciumannya.ia juga tidak dapat menirukan bagaimana orang lain melakukan sesuatu aktivitas gerak dengan melihatnya. Hambatan –hambatan inilah yang pada akhirnya seorang tunanetra mengalami masalah besar dalam orientasi dan mobilitasnya. Berikut ini adalah tahap perkembangan perilaku motorik permulaan dalam kaitannya dengan fungsi penglihatan <br />1. Tahap Sebelum Berjalan<br />Anak Tunanetra juga mengikuti pola perkembangan perilaku motorik yang sama, hanya saja faktor kecepatannyayang berbeda sebagai akibat dari kurangnya rangsangan visual. Akibat ketunanetraannya tersebut, gangguan atau hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi tangan dan koordinasi badan akan berpengaruh pada perilku motorik tunanetra dikemudian hari (setelah dewasa).Pada koordinasi tangan bayi normal yang usianya 16 minggu akan mengikuti sebuah benda bergerak dengan matanya kemudian berusaha untuk menjangkaunya. Diawali dengan menatap suatu objek,kemudian merasa tertarik lalu merogohkan lengan, tangan, mengambil lewat jari-jari mungilnya walaupun belum terkoordinasi dengan baik. Koordinasi tangan yang baik diperoleh melalui pengalaman dan percobaan kerjasama mata dan tangan sejak dini.<br /> Pada bayi tunanetra, hal tersebut tidak dialami dengan sendirinya. Mereka tidak mengetahui apa yang disekelilingnya, karenanya cenderung diam dan tidak responsif. Karena itu perlu diciptakan suatu lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti yang mampu merangsang perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi keterlambatan perkembangan ini.Bagaimanapun juga hambatan dalam perkembangan koordinasi tangan yang baik akan berpengaruh pada berbagai aktivitas kemudian seperti dalam jabat tangan yang lemah, kesulitan memegang suatu benda, serta keterlambatan dalam latihan persiapan membaca huruf Braille.Pada koordinasi badan pada bayi normal yang usianya 18 minggu,bayi normal mulai belajar mengontrol gerak kepalanya, sambil menatap benda atau objek yang ada di depannya ia termotivasi untuk menegakkan kepalanya. Pada bayi tunanetra, kesempatan atau peristiwa alami semacam ini tentu tidak akan pernah dijumpai.Bayi Tunanetra cenderung diam atau mengadakan gerakan-gerakan yang kurang berarti yang kemudian disebut dengan istilah blindsim, seperti menusuk-nusuk mata mata dengan jarinya, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki, atau sejenisnya yang umumnya kurang sedap untuk dipandang. Tanpa disadari kebiasaan terhadap gerakan-gerakan ini biasanya terbawa sampai dewasa.<br />2. Tahap Berjalan<br />Pada usia sekitar 15 bulan, anak awas sudah mampu berjalan dan mengadakan eksplorasi sendiri. Sekali ia mampu memperoleh posisi untuk berdiri tegakyang baik disertai dengan tercapainya keseimbangan untuk mendorong dirinya maju, maka ia akan segera berlari, melompat-lompat, sehingga pada usia sekitar 6 tahun ia sudah sanggup bernain lompat tali.<br />Pada anak Tunanetra, dalam usia yang sama sangat kecil kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Anak tunanetra merasakan apa yang di depannya adalah bahaya karena ia tidak tahu persis apa yang ada dan terjadi di depannya. Karenanya anak tunanetra sering mengalami ketakutan dan kecemasan ketika akan melangkahkan kakinya.Kondisi ini biasanya cenderung dibawa sampai ia dewasa sehingga anak tunanetraakan memilih untuk tetap tinggal di rumah atau tempat yang sudah dikenalnya.<br />Salah satu keterbatasan yang paling menonjol pada anak tunanetra ialah kemampuan dalam melakukan mobilitas (kemampuanberpidah-pindah tempat). Namun demikian, kekurangmampuan ini dapat diminimalkan melalui manipulasi lingkungan tempat tunanetra berada, yaitu melalui penciptaan lingkungan yang berarti yang memungkinkan anak tunanetra mampu mengembangkan pertumbuhan jasmani dan geraknya secara bebas dan aman.<br /><br />E. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra<br /> Salah satu variabel perkembangan emosi adalah variabelorganisme, yatu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang mengalami emosi. Sedangkan variabel lainnya ialah stimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi, serta respon atau jawaban terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungannya. Secara umum dari ketiga variabel tersebut yang tidak dapat diubah oleh pendidikan adalah variable organisme.<br /> Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterlambatan ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan ank tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.<br /> Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi,yaitu keadaan di mana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak yang mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya. Di samping itu, ada kecendrungan bahwa anak tunanetra yang dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.<br /><br />F. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra<br /> Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai denga tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Dibandingkan dengan anak-anak awas, anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial. Hambatan-hambtan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, acuh tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan kecendrungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya terhambat.<br /> Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung pada bagaiman perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri.Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti keterbatasan anak untuk belajar sosial melakukan identifikasi maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.<br /><br /><br />BAB III<br />KARAKTERISTIK DAN<br />MASALAH PERKEMBANGAN<br />ANAK TUNARUNGU<br /><br />A. Pengertian dan Klasifikasi Gangguan pendengaran<br />1. Pengertian<br />Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui panca indera pendengarannya.<br />2. Klasifikasi Tunanrungu<br />a. Klasifikasi secara etiologis<br />Yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu :<br />(1). Pada saat sebelum dilahirkan<br />• Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempubyai gen sel pembawa sifat abnormal,misalnya dominat genes, recesive gen, dan lain-lain<br />• Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu penyakt,terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga. Penyakit itu ialah rubella,moribili,dan lain-lain<br />• Karena keracunan obat-obatan<br />(2). Pada sat kelahiran<br />• Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang)<br />• Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.<br />(3). Pada saat setelah kelahiran (post natal)<br />• Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.<br />• Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak<br />• Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.<br /><br />b. Klasifikasi menurut tarafnya<br />Klasifikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut :<br /> Andreas Dwidjosumarto (1990:1)mengemukakan :<br />Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB.<br />Penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.<br />Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB,<br />Penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.<br />Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.<br />Tingkat IV, Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.<br /> Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />KARAKTERISTIK DAN<br />MASALAH PERKEMBANGAN<br />ANAK TUNAGRAHITA<br /><br />A. Pengertian Anak Tunagrahita<br /> Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata.Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaa pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.<br /> Dikatakan bahwa bila seorang anak mengalami keterbatasan kecerdasan (IQ) 2 kali standar deviasi barulah termasuk tunagrahita. Contoh, anak normal mempunyai IQ 100, maka anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia mengalami keterlambatan 2 x 15 = 30 maka diperoleh IQ 70 tersebut.<br /> Penyesuaian perilaku, maksudnya saat ini seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi jika anak ini dapat menyesuaikan diri, maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi pada masa perkembangan, maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa, maka ia tidak tergolong tunagrahita.<br /> Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi di mana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal. <br />B. Klasifikasi Anak Tunagrahita<br /> Pengelompokkan pada umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Pengelompokkan seperti ini sebenarnya bersifat artifical karena ketiganya tidak dibatasi oleh garis demarkasi yang tajam. Gradasi dari satu level ke level berikutnya bersifat kontinuum.<br /> Kemampuan intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Staford Binet dan Skala Weschler (WISC).<br />1. Tunagrahita Ringan<br /> Tunagrahita ringan disebut juga maronatau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.<br /> Anak terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.<br /> Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya dengan lugu (malahan tolol), tidak dapat merencanakan masa depan, dan bahkan suka berbuat kesalahan.<br /> Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal.<br />2. Tunagrahita Sedang<br /> Anak Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapt dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahay seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.<br /> Anak Tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secra akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapt menulis secra sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamt rumahnya, dan lain-lain. Masih dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di tempat kerja terlindung (sheltered workshop).<br />3. Tunagrahita Berat<br /> Kelompok anak Tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (serve) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menuru Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut Skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari 3 tahun. <br /> Anak unagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.<br /><br />A. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita<br /> Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal pada short term memory. Anak Tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam long term memory, daya ingatannya sama dengan anak normal dalam hal mengingat yang segera.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB V<br />KARAKTERISTIK DAN<br />MASALAH PERKEMBANGAN<br />ANAK TUNADAKSA<br /><br />A. Pengertian Anak Cereberal Palsy dan<br />Anak Tunadaksa<br />Cerebral palsy merupakan salah satu bentuk brain injury, yaitu suatu kondisi yang mempengaruhi pengendalian system motorik sebagai akibat lesi dalam otak (R.S. Illingworth), atau suatu penyakit neuromuscular yang disebabkan oleh gangguan perkembangan atau kerusakan sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fingsi motorik.<br />Tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan atau hambatan pada tulanng, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal.<br />1. Klasifikasi Cerebral Palsy<br />Menurut Bakwin-Bakwin, cerebral palsy dapat dibedakan sebagai berikut :<br /> Spasticity, yaitu kerusakan pada cortex cerebri yang menyebabkan hyperactive reflex dan stretch reflex.<br /> Athetosis, yatu kerusakan pada basal banglia yang mengakibatkan adanya gangguan pada keseimbangan<br /> Ataxia, yaitu kerusakan pada cerebellum yang mengakibatkan adanya gangguan pada keseimbangan<br /> Tremor, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang berakibat timbulnya getaran-getaran berirama<br /> Rigidity, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang mengakibatkan kekuatan pada otot-otot.<br />a. sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran<br />• Faktor congenital ketidaknormalan sel kelamin pria<br />• Pendarahan waktu kehamilan<br />• Trauma atau infeksi pada waktu kehamilan<br />• Kelahiran premature<br />• Keguguran yang sering dialami ibu<br />• Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak<br />b. sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran :<br />• Penggunaan alat-alatpada waktu proses kelahiran yang sulit. Misalnya : tang,tabung, vacuum, dll.<br />• Penggunaan obat bius pada waktu proses kelahiran.<br />c. Sebab-sebab yang timbul setelah kelahiran :<br />• Penyakit tuberculosis<br />• Radang selaput otak<br />• Radang otak<br />• Keracunan arsen atau karbon monoksida<br />2. Klasifikasi Tunadaksa<br />Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :<br />a. Kerusakan yang dibawa sejaklahir atau kerusakan yang merupakan keturunan meliputi :<br />• Club-foot(Kaki seperti tongkat)<br />• Club-hand(Tangan seperti tongkat)<br />• Polydactylism(jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan dan kaki)<br />• Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya0<br />• Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).<br />• Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulanng belakang tidak tertutup)<br />• Cretinism (kerdil/katai)<br />• Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal)<br />• Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan )<br />• Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang)<br />• Herelip (gangguan pada bibir dan mulut )<br />• Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)<br />• Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu)<br />• Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang<br />• Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar )<br />• Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis)<br />Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :<br />a. sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran :<br />• Faktor keturunan<br />• Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan<br />• Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak<br />• Pendarahan pada waktu kehamilan<br />• Keguguran yang dialami ibu<br />b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran :<br />• Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran<br />• Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran<br />c. Sebab-sebab sesudah kelahiran<br />• Infeksi<br />• Trauma<br />• Tumor<br />• Kondisi-kondisi lainnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB VI<br />KARAKTERISTIK DAN<br />MASALAH PERKEMBANGAN<br />ANAK TUNALARAS<br /><br />A. Pengertian dan Klasifikasi Anak Tunalaras<br />1. Pengertian Anak Tunalaras<br />Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. <br />2. Klasifikasi Anak Tunalaras<br />Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan berat dan ringannya kelainan yang dialaminya<br />Sehubungan dengan itu, William M.Cruickshank mengemukakan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut ini :<br />a. The semi-socialize child<br /> Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu,misalnya : keluarga dan kelompoknya.<br />b. Children arrested at a primitive level or sovialization<br />Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level<br />Atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan.<br /><br /><br /><br /><br />c. Children with minimum socialization capacity<br /> Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial.ini disebabkan oleh kelainan atau tidak mengenal kasih sayang. Sehingga anak pada golongan ini banyak bersifat apatis dan egois.<br /><br />B. Faktor-faktor Penyebab Ketunalarasan<br />1. kondisi/ keadaan fisiknya<br />2. Masalah perkembangan<br />3. Lingkungan keluarga<br />4. Lingkungan Sekolah<br />5. Lingkungan Masyarakat<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB VII<br />KARAKTERISTIK DAN<br />MASALAH PERKEMBANGAN<br />ANAK BERKESULITAN BELAJAR<br /><br />A. Definisi Kesulitan Belajar<br /> Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar.Gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.<br />B. Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar<br />1. Aspek Kognitif<br />Berbagai definisi kesulitan belajar lebih beriorentasi kepada aspek akademik atau kognitif. Masalah-masalah kemampuan bicara, membaca, menulis, mendengarkan, berpikir, dan matematis semuanya merupkan penekanan terhadapo aspek akademik dan kognitif.<br />2. Aspek Bahasa<br />Masalah bahasa anak berkesulitan belajar menyangkut bahasa reseptif maupun ekspresif. Bahasa reseptif adalah kecakapan menerima dan memahamibahasa. Bahasa ekspresif adalah kemampuan mengekspresikan diri secara verbal. Kedua kemampuan bahasa ini dapat dipahami dengan menggunakan tes kemampuan berbahasa.<br />3. Aspek Motorik<br />Masalah Motorik merupakan masalah yang umumnyadikaitkan dengan kesulitan belajar. Masalah motorik anak berkesulitan belajar bisanya menyangkut keterampilan motorik-perseptual yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan meniru rancang atau pola.<br /><br />4. Aspek Sosial dan Emosi<br />Karakteristik anak berkesulitan belajar tidak akan berlaku universal bagi seluruh anak tersebut karena setiap kesulitan belajar yang spesifik memiliki gejala dan karekteristik sendiri.<br />C. Sebab-sebab Kesulitan Belajar<br /> Beberapa simptom spesifik dari ketidak berfungsian otak minimal ialah :<br />a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep<br />• Kelemahan dalam membedakan ukuran<br />• Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah<br />• Kelemahan tilikan ruang<br />• Kelemahan orientasi waktu<br />• Kelemahan dalam memperkirakan jarak<br />• Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan<br />• Kelemahan memahami keutuhan<br />b. Gangguan bicara dan Komunikasi<br />• Kelemahan membedakan stimulus auditif<br />• Perkembangan bahasa yang lamban<br />• Seringkali kehilangan pendengaran<br />• Seringkali berbicara tidak teratur<br />c. Gangguan fisik Motorik<br />• Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak<br />• Hiperaktivitas<br />• Hipoaktivitasumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-89925861617407627982009-05-28T02:57:00.002-07:002009-05-28T02:58:01.660-07:00Anak autis juga bisa belajarSaat si kecil terdiagnosa mempunyai bakat khusus berupa autisme, rasa kaget tak dapat dipungkiri pasti ada di pikiran Anda. begitu juga dengan kehidupannya nanti. Bagaimana caranya belajar? Bagaimana nanti dengan perkembangannya? Apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak autis? Semoga yang di bawah ini dapat membantu menjawab berbagai pertanyaan Anda.<br /><br /><br />1. Terapi apa yang paling cocok bagi anak autis?<br />Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri. Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai. Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-keterampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa reseptif (menyerap dan memahami bahasa). Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan ketrampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain. Dengan kata lain, terapi untuk anak autis bersifat multiterapi.<br /><br />2. Apa kendala paling sulit pada saat terapi anak autis?<br />Kendala pada terapi anak autis tergantung pada kemampuan unik yang ia miliki, ada anak autis yang dapat berkomunikasi, ada yang sama sekali tidak. Namun sebagian besar anak autis memiliki keterbatasan atau hambatan dalam berkomunikasi sehingga ini menjadi kendala besar saat terapi. Anak belum dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Bahkan anak kadang tantrum saat diminta mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang anak autis suka berbicara, mengoceh, atau tertawa sendiri pada waktu belajar.<br /><br />3. Bagaimana sikap anak autis saat menjalani terapi?<br />Biasanya anak autis memiliki hambatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari perilaku mereka yang cenderung tidak melihat wajah orang lain bila diajak berinteraksi, sebagian besar kurang memiliki minat terhadap lingkungan sekitar, dan sebagian cenderung tertarik terhadap benda dibandingkan orang.<br /><br />4. Apa perubahan yang diharapkan setelah terapi?<br />Pada akhirnya, anak autis diharapkan dapat memiliki berkomunikasi, yang tadinya cenderung bersifat satu arah menjadi dua arah. Dalam artian ada respon timbal balik saat berkomunikasi atau bahasa awamnya “nyambung”. Kemudian perubahan lain yang juga diharapkan adalah memiliki ketrampilan bantu diri, kemandirian, serta menyatu dan berfungsi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hasil yang menggembirakan tentu sangat diharapkan orang tua anak penderita autis. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya<br />sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal,<br />serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya.<br /><br />5. Seberapa cepat perubahan akan terlihat?<br />Perubahan atau kemajuan yang terjadi tentunya bersifat individual. Hal tersebut tergantung pada hasil asesmen, gaya belajar anak autis, dan intensitas dari terapi atau pendidikan yang diberikan serta kerjasama antara orangtua, pengasuh anak dengan para pendidik, terapis atau ahli kesehatan<br /><br />6. Bagaimana mengenai pendidikan anak autis?<br />Perlu diketahui bahwa setiap anak autis memiliki kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda. Ada anak autis yang mampu berbaur dengan anak-anak ’normal’ lainnya di dalam kelas reguler dan menghabiskan hanya sedikit waktu berada dalam kelas khusus namun ada pula anak autis yang disarankan untuk selalu berada dalam kelas khusus yang terstruktur untuk dirinya. Anak-anak yang dapat belajar dalam kelas reguler tersebut biasanya mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, kognitif dan bantu diri yang memadai. Sedangkan yang masih membutuhkan kelas khusus biasanya anak autis dimasukkan dalam kelas terpadu, yaitu kelas perkenalan dan persiapan bagi anak autis untuk dapat masuk ke sekolah umum biasa dengan kurikulum umum namun tetap dalam tata belajar anak autis, yaitu kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb).<br /><br />7. Bagaimana metode belajar yang tepat bagi anak autis?<br />Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus<br /><br />8. Pengajar seperti apa yang dibutuhkan bagi anak autis?<br />Pengajar yang dibutuhkan bagi anak autis adalah orang-orang yang selain memilii kompetensi yang memadai untuk berhadapan dengan anak autis tentunya juga harus memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat dalam kehidupan anak autis, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan kecenderungan untuk selalu belajar sesuatu yang baru karena bidang autisma ini adalah bidang baru yang selalu berkembang.<br /><br />9. Suasana belajar seperti apa yang dibutuhkan anak autis?<br />Tergantung dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing anak autis. Ada anak autis yang mencapai hasil yang lebih baik bila dibaurkan dengan anak-anak lain, baik itu anak ’normal’ maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Ada anak autis yang lebih baik bila ditempatkan pada suasana belajar yang tenang, tidak banyak gangguan atau stimulus suara, warna, atau hal-hal lain yang berpotensi mengalihkan perhatian.<br /><br />10. Apa saja yang diajarkan dalam pendidikan anak autis?<br />Komunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), ketrampilan bantu diri, ketrampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak serta tingkat inteligensi,.<br /><br />11. Sampai umur berapa tahun anak autis mendapat pendidikan khusus?<br />Semua itu sekali lagi tergantung pada kemampuan anak, gaya belajar anak, serta sejauh mana kerjasama antara orangtua atau pengasuh dengan pendidik atau terapis.<br /><br />12. Umur berapa anak sudah dapat dilepas masuk ke sekolah umum?<br />Lagi-lagi hal ini tergantung pada kemampuan anak.<br /><br />13. Berapa besar kemungkinan anak autis berbaur dengan murid lain di sekolah biasa?<br />Kemungkinan selalu ada. Akan tetapi semua itu tergantung pada kemampuan anak autis tersebut dan apakah sistem pendidikan atau fasilitas di sekolah ’biasa’ itu mendukung berbaurnya anak autis dengan murid-murid lain dalam kelar reguler.<br /><br />14. Apakah pada akhirnya anak autis dapat hidup di lingkungan umum tanpa perlakuan khusus?<br />Untuk beberapa kasus yang amat jarang terjadi (sampai saat ini), ada individu dengan autisma dengan kemampuan berkomunikasi yang memadai, tingkat inteligensi yang memadai, serta pendidikan dapat mendukung dirinya untuk mandiri dan berbaur dengan lingkungan tanpa perlakuan khusus. Hal ini bergantung pada faktor internal (diri anak autis sendiri) dan faktor eksternal, yaitu lingkungan, apakah sistem di lingkungan mendukung atau memungkinkan anak autis untuk dapat berfungsi secara baik dalam kesehariannya.<br /><br /><br />Sumber: http://www.parenting.co.id/article/article_detail.asp?catid=2&id=12umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-27479404089817217432009-05-28T02:55:00.001-07:002009-05-28T02:56:44.135-07:00ANAK AUTIS KESULITAN PEROLEH PENDIDIKANBanda Aceh,<br />banyak orang tua yang memiliki anak autis, sukar memperoleh pendidikan dan terapi untuk buah hatinya. Padahal jika diobati secara dini dan rutin, anak autis bisa sembuh total.<br />Autisme adalah gangguan perkembangan kompleks akibat kerusakan otak. Kerusakan ini bisa menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosial, sensoris, dan belajar.<br />Saat ini di Aceh hanya ada satu tempat memberikan terapi, sekaligus pendidikan khusus kepada anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan fisik dan mental, yakni di Buah hati School House, Blower Banda Aceh. Sedangkan untuk terapi wicara, hanya ada di kawasan Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh.<br />Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Pendidikan, membantu menunjuk beberapa Sekolah Dasar (SD) untuk menerima anak-anak autis memperoleh pendidikan. Menurut orang tua salah seorang anak autis, yang akrab dipanggil Mama Charlie, meskipun Pemko telah mengeluarkan SK menunjuk enam SD untuk menerima anak autis, sebagian besar SD tersebut menolah mentah-mentah anaknya. "Saya mengerti mengapa mereka menolak, anak saya dikhawatirkan mengganggu proses belajar mengajar didalam kelas", katanya miris.<br />Meskipun ada SD yang menerima anaknya bersekolah, biaya dibebankan untuk biaya pendidikan Charlie sama sekali tidak bisa dipenuhinya. "Ada SD yang menerima anak saya, namum biayanya tinggi sekali karena mereka harus menyediakan satu guru khusus untuk mengajari Charlie", ujarnya lagi.<br />Psykolog Poppy Amalya mengatakan, banyak anak-anak autis di Aceh sama sekali tidak mendapatkan akses pendidikan maupun terapi. Sebagian besar karena ketidaktahuan orang tua tentang tempat terapi dan kepasrahan, kalau anaknya tidak bisa disembuhkan.<br />"Padahal autis bisa disembuhkan total, jika mengikuti terapi perilaku dengan konsep Aplly Behaviour Analysis (BSA) sejak dini dan tidak terputus. Di Amerika sebagian anak autis yang berhasil sembuh mengikuti terapi ABA, kini menjadi orang-orang yang bisa berdiri sendiri dan sukses", papar Direktris Biro Psikologi Psikodinamika ini yakin.<br />Ketua Center for Aceh Justice and Peace (CAJP), Dewi Meuthia, memimpin kepedulian berbagai pihak untuk lebih memperhatikan keberadaan anak-anak autis di Aceh.<br />Dewi yakin, banyak orang tua memiliki anak berkemampuan khusus. Tapi mereka tidak mengetahui anaknya bisa diterapi dan sembuh. " Kami akan mengadakan sosialisasi tentang autisme, hingga ke daerah-daerah agar masyarakat mengetahui segala sesuatu tentang autis. Mengetahui ada tempat terapi dan sekolah bagi anak autis. ini juga bisa dijadikan masukan bagi Dinas Pendidikan Aceh untuk lebih peduli terhadap anak-anak berkemampuan khusus," harapnya.<br /><br /><br />Sumber: http://prov.bkkbn.go.id/nad/print.php?tid=2&rid=7umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-15203095277735220702009-05-28T02:53:00.001-07:002009-05-28T02:54:43.060-07:00Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus AnakMasa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.<br /><br />Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.<br /><br />Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.<br /><br />Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.<br /><br />Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.<br /><br />Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.<br /><br />Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.<br /><br />Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.<br /><br />Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.<br /><br />Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.<br />Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.<br /><br /><br />Sumber: http://www.indosiar.com/news/kisi-kisi/74803/kerajinan-peraga-pendidikan-khusus-anaumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-66523727518415653222009-05-28T02:47:00.000-07:002009-05-28T02:53:29.268-07:00Pendidikan Khusus Pendahuluan Dengan Lancers-00-702Apakah anda seorang guru, orang tua, anak, atau seseorang yang hanya tertarik mengenai akuisisi lagi, adalah penting untuk memahami bagaimana dasar kegiatan sesuai dengan kerangka pendidikan.<br /><br />Pertama, National Center for Learning Disabilities mendefinisikan kegiatan utama sebagai "instruksi yang dirancang khusus, tanpa biaya kepada orang tua, untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari seorang wanita dengan cacat. Tergantung pada kebutuhan anak serta negara, gedung kabupaten lokal dan bangunan besar kebijakan, kegiatan utama layanan gagap akan ditawarkan dalam perbedaan struktur dan perbedaan dalam pengaturan. " Amerika Serikat yang memberikan kesempatan pendidikan dan dana untuk kebutuhan mereka yang utama. Siapa yang memenuhi syarat untuk mendukung aktivitas utama?<br /><br />Tigabelas cacat memenuhi syarat:<br /><br />1. Autism<br />2. Sambutan dan Bahasa pelemahan<br />3. Alat pelemahan<br />4. Tuli / Blind<br />5. Visual pelemahan<br />6. Mental penghambatan<br />7. Multiple Disabilities<br />8. Tulang pelemahan<br />9. Serius Kesehatan Impairments<br />10. Emosional / Perilaku Disorder<br />11. Melukai Brain Injury<br />12. Multi-indrawi pelemahan<br />13. Learning Disabilities<br /><br />Sejak 1975, ketika Kongres dilantik kebutuhan utama untuk kegiatan pelayanan, berbagai tindakan diproduksi membantu kebutuhan mereka yang utama. Pertama akumulasi yang telah disahkan bernama Pendidikan untuk Semua Anak Cacat Undang-Undang. Di tahun 1990, pembaruan disahkan bernama The Individu Penyandang Cacat Undang-Undang Pendidikan, atau IDEA dan pada tahun 2004 ini akumulasi telah diupdate lagi dan hari ini disebut sebagai IDEA 2004. IDEA 2004 federal menyediakan dana untuk kegiatan utama memberikan kepada siswa dengan salah satu cacat di atas. Fare (Free Tepat Publik Pendidikan) dilindungi oleh IDEA 2004 sebagai benar untuk setiap perempuan dan tanah di setiap wilayah AS. Lebih dari 6 juta siswa manfaat utama dari kegiatan pelayanan.<br /><br />Siswa penyandang cacat yang hit alarming drop-out tinggi. Pada tahun 2000 lebih dari 5 persen dari siswa putus sekolah tinggi. Siswa ini, 27 persen memiliki berbagai akuisisi cacat. Jadi pasti sambil memukul diambil langkah-langkah untuk memberikan pendidikan dasar, IDEA 2004 bukan tujuan akhir. Dan pada kenyataannya, the US Department of Education adalah lebih mempersiapkan peraturan federal yang membantu membatasi IDEA 2004. Proposal yang dikirim pada bulan Juni 2005, masih akhir peraturan tidak karena hingga akhir musim panas 2006. Beberapa negara sudah menerapkan peraturan yang diusulkan dan tekan peraturan mereka sendiri di samping mandat federal. Tetapi negara-negara lain yang tidak aktif sampai akhir peraturan yang dikeluarkan sebelum menerapkan perubahan sendiri.<br /><br />Setiap tanah memiliki tanah mereka sendiri kegiatan departemen dengan akses yang paling Diperbaharui peraturan tentang pendidikan dasar. Juga di bawah IDEA 2004, masing-masing tanah yang diperlukan untuk memukul setidaknya satu Parent Pelatihan dan Pusat Informasi (PTI). Sumber daya ini berada di tempat orang tua untuk membantu menemukan informasi tentang aktivitas utama yang tersedia di daerah mereka. Kegiatan utama sebagai sumber daya yang baik dan sesuai-update, lebih banyak pelajar akan pergi diperlukan dan adil sesuai aktivitas kesempatan untuk membantu mereka berhasil.<br /><br />Sumber: http://www.earticlesonline.com/id/Article/Special-Eduction-Overview-By-Lancersumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-17109132520616651862009-05-28T02:43:00.000-07:002009-05-28T02:45:50.667-07:00Setiap anak memiliki fitrah Islam dan dipersiapkan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ingatlah ketikaTuhanmu berfirman kepada para malaikat: “ SesunSetiap anak memiliki fitrah Islam dan dipersiapkan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ingatlah ketikaTuhanmu berfirman kepada para malaikat: “ Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi... “ (Qs. Al-Baqarah : 30 ). Untuk itu anak harus diberi pendidikan agar dapat mempersiapkan dirinya, mempeljari, dan memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah dianugrahkan Allah SWT kepadanya.<br /><br />Memberikan pendidikan pada anak usia dini atau anak usia 0 - 8 tahun, telah menjadi perhatian para orang tua, ahli pendidikan, masyarakat dan pemerintah. Anak usia dini (AUD) merupakan kelompok yang berada dalam proses perkembangan unik. Karena proses perkembangannya (tumbuh dan kembang) terjadi bersamaan dengan golden age (masa peka). Golden age merupakan waktu paling tepat untuk memberikan bekal yang kuat kepada anak. Pada masa itu anak melakukan proses pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik kasar dan halus), daya pikir, daya cipta, bahasa dan komunikasi (Kecerdasan Jamak). Di masa peka, kecepatan pertumbuhan otak anak sangat tinggi hingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya. Artinya, golden age merupakan masa yang sangat tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyaknya.<br /><br />Piaget (Forman, 1983) menyarankan agar aspek kognitif, moral dan fisiologis dirangsang pengembangannya secara terpadu dalam aktivitas pembelajaran. Oleh sebab itu, dalam mengorganisiasi dan mengurutkan proses pembelajaran anak usia dini yang efektif, harus sesuai dengan perkembangannya yang diselaraskan dengan aspek ilahiyah.<br /><br />Pertumbuhan dan perkembangan AUD perlu diarahkan pada peletakan (dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya. Dengan demikian anak dapat berkembang optimal. Sedangkan makna PAUD bukan semata agar anak dapat bersekolah lalu mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, tetapi lebih luas dari itu. Anak menjadi tumbuh dan berkembang lebih sempurna bila mendapatkan pendidikan paripurna (komprehensif) antara kecerdasan spiritual, Intelektual dan emosional.<br /><br />Untuk dapat memberikan pendidikan yang paripurna, berikut ini penjelasan yang dapat kami berikan berkenaan dengan cara-cara yang efektif dalam mengorganisasi dan mengurutkan proses pembelajaran bagi anak usia dini yang dianalisis melalui perkembanan anak pada rentang usia 0-3 tahun. Mudah-mudahan apa yang kami bahas dan kami sampaikan dapat memberikan gambaran kepada khalayak ramai yang peduli kepada tumbuh kembang anak melalui website Bunyan ini.<br /><br />Aspek-aspek Perkembangan Fisiologis Anak Usia Dini 0 Sampai 3 Tahun<br /><br />1. Perkembangan Otak dan susunan syaraf Pusat<br /><br />Pada waktu dilahirkan, bayi hanya memiliki otak seberat 25% dari berat otak orang dewasa. Syaraf-syaraf yang ada di pusat susunan syaraf belum berkembang dan berfungsi sesuai dengan fungsinya dalam mengkontrof gerakan motorik. Artinya, bayi belum dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan koordinasi sistem syaraf, seperti kegiatan motorik halus (fine motoric) maupun keterampilan motorik kasar (gross motoric). Oleh karena itu, aktivitas bayi bersifat pasif yakni memerlukan rangsangan (stimulasi) dari luar dan biasanya is selalu berada di seputar tempat tidurnya.<br /><br />Kemudian Pada tahun pertama dan kedua setelah kelahiran, otak terus berkembang. Pada usia 3 – 4 tahun, berat otak anak telah mencapai 75% dari berat otak orang dewasa. Pada tahun berikutnya, berat otak anak mencapai 90% dari berat orang dewasa. Dan susunan syaraf pusat berkembang sejalan dengan perubahan berat otak tersebut. Perkembangan ini berjalan sampai usia 12 tahun.<br /><br />Seiring dengan perkembangan fisik dan usia anak, syaraf-syaraf yang berfungsi mengontrol gerakan motorik mengalami proses neurological maturation (kematangan neurologic). Kematangan secara neurologic ini merupakan hal yang penting dan berpengaruh dalam mengontrol gerakan motoriknya.<br /><br />2. Perkembangan tubuh<br /><br />Perkembangan tubuh merupakan perkembangan yang berjalan sesuai dengan prinsip yang disebut cephalocaudal, yaitu prinsip perkembangan yang dimulai dari atas, yaitu kepala, dan berlanjut secara teratur ke bagian bawah tubuh. Contohnya ialah pada bagian wilayah atas kepala yaitu mata dan otak berkembang lebih pesat dibandingkan dengan bagian bawah seperti rahang.<br /><br />Serta prinsip Proximodistal, yaitu urutan pertumbuhan di mana pertumbuhan dimulai pada bagian tengah tubuh lalu bergerak menuju kaki dan tangan. Contohnya ialah bahwa kematangan awal kendali otot diawali oleh batang tubuh dan lengan baru tangan dan jari<br /><br />Pada usia dua bulan dalam kandungan, kepala bayi berukuran setengah dari seluruh ukuran tubuhnya. Pada waktu dilahirkan, kepala bayi berukuran seperempat dari seluruh ukuran tubuhnya. Selanjutnya, pada usia 2 – 5 tahun kepala anak hanya berukuran seperlima dari ukuran tubuhnya, dan pada usia 6 tahun kepala anak memiliki ukuran sepertujuh dari ukuran tubuhnya. Pada usia inilah anak telah memiliki proporsi tubuh yang akan mewamai proporsi tubuhnya di masa dewasa.<br /><br />Secara normal, pertambahan tinggi badan selama masa kana-kanak hanya sebanyak 2,5 inchi setahun dan berat badan secara normal hanya bertambah 2,5 – 3,5 kilogram setahun.<br /><br />3. Perkembangan Psikomotorik<br /><br />Otak merupakan pusat syaraf yang berfungsi untuk melakukan koordinasi gerakan organ-organ fisik. Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada awalnya, fungsi otak bayi belum mampu menjalankan gerakan sadar. Sebagian besar gerakan – gerakan dan aktivitas bayi dipengaruhi oleh sistem syaraf otonom yang bersifat reflektif artinya gerakan itu terjadi tanpa koordinasi syaraf pusat yang disadari. Berikut macam-macam gerakan refleks yang dilakukan bayi:<br /><br />a. Refleks Permenen, yaitu gerakan-gerakan refleks yang muncul sejak bayi dan akan tetap ada selama individu tumbuh kembang – menjadi dewasa. Ada tujuh refleks permanen yaitu (1) kedipan mata, (2) pernapasan,(3) sentakan kaki, (4) gerakan biji mata, (5) batuk, (6) bersin, (7) menelan.<br /><br />b. Refleks Sementera, yaitu gerakan refleks yang terjadi pada masa bayi dan akan hilang dengan sendirinya, beberapa bulan atau setahun sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Ada sembilan refleks sementara yaitu (1) babinski. (2) memegang, (3) moro, (4) mencari, (5) melangkah, (6) mengisap, (7) berenang, (8) dan tonick neck.<br /><br />Tabel 1. Refleks Sementara Pada Bayi<br /><br />Refleks<br /> <br /><br />Srimulasi<br /> <br /><br />Respon Bayi<br /> <br /><br />Pola Perkembangan<br /><br />Babinski<br /> <br /><br />Telapak kaki diusap<br /> <br /><br />Menyebarkan jari kaki, memutar-mutarkan kaki<br /> <br /><br />Menghilang setelah 9 bulan-1 tahun<br /><br />Memegang<br /> <br /><br />Telapak tangan diusap<br /> <br /><br />Memegang dengan kuat<br /> <br /><br />Melemah setelah 3 bln dan menghilang setelah 1 tahun<br /><br />Moro (mengejutkan)<br /> <br /><br />Stimulasi tiba-tiba, seperti mendengar suara nyaring atau diturunkan<br /> <br /><br />Kaget, melengkungkan punggung, melemparkan kepala ke belakang, merentangkan lengan dan kaki serta kemudian menutupkannya ke pusat tubuh<br /> <br /><br />Menghilang setelah 3-4 bulan<br /><br />Mencari<br /> <br /><br />Leher atau pinggir mulut diusap<br /> <br /><br />membalikkan kepala, membuka mulut, mulai mengisap<br /> <br /><br />Menghilang setelah 3-4 bulan<br /><br />Melangkah<br /> <br /><br />Bayi diangkat dan diturunkan untuk menyentuh tanah<br /> <br /><br />menggerakkan kaki seolah-olah berjalan<br /> <br /><br />Menghilang setelah 3-4 bulan<br /><br />Mengisap<br /><br /> <br /><br />Benda menyentuh mulut<br /> <br /><br />respon bayi mengisap secara otomatis<br /><br /> <br /><br />Menghilang setelah 3-4 bulan<br /><br />Berenang<br /> <br /><br />bayi menaruh wajah ke bawah di dalam air<br /> <br /><br />membuat gerakan-gerakan berenang yang terkoordinasi<br /> <br /><br />Menghilang setelah 6-7 bulan<br /><br />Leher di topang<br /> <br /><br />bayi ditelentangkan,<br /> <br /><br />mengepalkan tinju kedua tangan dan biasanya membalikkan kepala ke kanan<br /> <br /><br />Menghilang setelah 2 bulan<br /><br />Walaupun belum mampu melakukan gerakan koordinatif, namun gerakan refleks pada dasarnya memerlukan pemfungsian organ-organ fisik bayi. Organ –organ fisik yang digerakkan secara terus – menerus merupakan sarana pelatihan untuk memperkuat otot – otot, sehingga dapat dijadikan persiapan diri guna melakukan akiivitas yang lebih berkualitas. Pada dasarnya, Gerakan refleks merupakan dasar yang akan memacu perkembangan keterampilan motorik kasar maupun halus.<br /><br />Implikasi Perkembangan Fisiologis dalam Proses Pembelajaran<br /><br />1. Melakukan rangsangan – rangsangan positif yang dapat mengembangkan kecerdasan maupun keberbakatan anak sejak dini. Sifat stimulasi yang diberikan kepada anak sebaiknya yang bersifat menarik, menyenangkan, dan sederhana. misalnya: benda yang berwarna-warni, bentuknva lucu, dan indah,<br /><br />2. Mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk, berdiri dan berjalan (gradasi tingkat kemampuan).<br /><br />3. Mempelajari keterampilan menggunakan panca indera, seperti melihat atau mengamati, meraba.<br /><br /><br />Sumber: http://bunyan.co.id/new/?m=article&id=12372737umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-29821721945819906602009-05-28T02:40:00.001-07:002009-05-28T02:42:35.139-07:00Kasih Sayang adalah Kebutuhan Dasar AnakTempat pertama anak belajar adalah keluarga, Baik tidaknya karakter anak ditentukan oleh keluarga. Setiap anak orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang begitu juga dengan anak-anak kita. Kasih sayang adalah kebutuhan dasar anak. Banyak orang tua yang salah persepsi mengenai kasih sayang, sehingga anak dapat bertindak semaunya. Kasih sayang terhadap anak bukan berarti mebiarkan anak bertindak semaunya. Mengungkapkan kasih sayang yang baik dapat melalui:<br /><br /> 1. Sentuhan Positif<br /><br /> Yaitu segala sesuatu dari orang tua yang memberi dampak positif pada anak baik secara verbal maupun non verbal. Sentuhan positif verbal berupa ungkapan atau kata-kata yang diucapkan langsung orang tua kepada anaknya. Seperti mama dan papa sayang kamu, engkau buah hati mama papa, engkau adalah cinta kami dan lain-lain. Sedangkan sentuhan non verbal berupa bahasa tubuh yang mengekspresikan rasa sayang orang tua kepada anaknya, seperti pelukan hangat, belaian lembut.<br /><br />2. Kepekaan terhadap Kebutuhan Anak<br /><br /> Yaitu kepekaan orang tua terhadap kebutuhhan fisik dan nonfisik sepertiorang tua mengetahui kapan anaknya lapar dan haus, kebutuhan pakainnya. Sedangkan kebutuhan non fisik, misalnya ketika mengetahui anak balitanya sedih, orang tua mendekatkannya untuk menanyakan apa yang dirasakan dan apa yang membuatnya sedih. Mengembangkan minat dan menggali bakat anak termasuk juga kepekaan terhadap kebutuhan non fisik anak.<br /><br />3. Memiliki Waktu Bersama Anak<br /><br /> Yaitu waktu dimana orang tua bisa bersama dengan anak-anaknya. Termasuk waktu untuk mendampingi dan mengarahkannya, mengembangkan berbagai kemampuan yang dimiliki anak, mulai dari kemampuan motorik kasar dan halusnya seperti memanjat, berjalan, berlari, mencoba makan sendiri, mengenakan baju sendiri dan sebagainya. Disamping orang tua menyediakan waktu untuk bercengkrama dan bermain bersama anak, bahkan orang tua sepenuhnya terlibat dalam aktivitas bermain yang memiliki tujuan tertentu. Misalnya bermain peran yang akan mengasah kemampuan anak bersosialisasi. Memberi perhatian dan kasih sayang terhadap kasus sesuai dengan porsi, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan. Ibarat vitamin bagi mental anak, pemberian cinta hendaknya sesuai dengan porsinya.<br /><br /><br /><br />Tips Memberi Kasih Sayang Sesuai Porsi<br /><br /> 1. Memperhatikan Kepribadian Anak<br /><br /> Penyampaian bahasa cinta tidak dapat disamaratakan pada setiap anak karena mereka memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Maka dibutuhkan pengetian antara orang tua dan anak.<br /><br />2. Melihat Kebutuhan Anak<br /><br /> Kebutuhan anak berbeda dari waktu ke waktu. Misalnya saat ia sakit, maka ia membutuhkan perhatian dan pelayanan lebih banyak disbanding saat sehat.<br /><br />3. Memperhatikan Usia Anak<br /><br /> Pemberian kasih sayang akan berbeda saat anak masih balita dengan anak umur 8 tahun.<br /><br /><br />4. Menyeimbangkan Pemberian Hadiah dan Sanksi<br /><br /> Pemberian sanksi dilakukan saat anak memang berbuat salah dan pemberian hadiah jika anak memang pantas mendapatkannya.<br /><br /><br /><br /><br />Sumber: http://bunyan.co.id/new/?m=article&id=1229495104umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-39940140937769227662009-05-28T02:37:00.000-07:002009-05-28T02:40:33.118-07:00Pengaruh Permainan pada Perkembangan AnakBermain merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak bermain akan membuat anak menjadi malas bekerja dan bodoh. Pendapat ini kurang begitu tepat dan bijaksana, karena beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak.<br /><br />Faktor-faktor yang mempengaruhi permainan anak :<br /><br />1. Kesehatan<br /><br />Anak-anak yang sehat mempunyai banyak energi untuk bermain dibandingkan dengan anak-anak yang kurang sehat, sehingga anak-anak yang sehat menghabiskan banyak waktu untuk bermain yang membutuhkan banyak energi.<br /><br />2. Intelligensi<br /><br />Anak-anak yang cerdas lebih aktif dibandingkan dengan anak-anak yang kurang cerdas. Anak-anak yang cerdas lebih menyenangi permainan-permainan yang bersifat intelektual atau permainan yang banyak merangsang daya berpikir mereka, misalnya permainan drama, menonton film, atau membaca bacaan-bacaan yang bersifat intelektual.<br /><br />3. Jenis kelamin<br /><br />Anak perempuan lebih sedikit melakukan permainan yang menghabiskan banyak energi, misalnya memanjat, berlari-lari, atau kegiatan fisik yang lain. Perbedaan ini bukan berarti bahwa anak perempuan kurang sehat dibanding anak laki-laki, melainkan pandangan masyarakat bahwa anak perempuan sebaiknya menjadi anak yang lembut dan bertingkah laku yang halus.<br /><br />4. Lingkungan<br /><br />Anak yang dibesarkan di lingkungan yang kurang menyediakan peralatan, waktu, dan ruang bermain bagi anak, akan menimbulkan aktivitas bermain anak berkurang.<br /><br />5. Status sosial ekonomi<br /><br />Anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang status sosial ekonominya tinggi, lebih banyak tersedia alat-alat permainan yang lengkap dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di keluarga yang status ekonominya rendah.<br /><br />Pengaruh bermain bagi perkembangan anak :<br />- Bermain mempengaruhi perkembangan fisik anak<br />- Bermain dapat digunakan sebagai terapi<br />- Bermain dapat mempengaruhi dan menambah pengetahuan anak<br />- Bermain mempengaruhi perkembangan kreativitas anak<br />- Bermain dapat mengembangkan tingkah laku sosial anak<br />- Bermain dapat mempengaruhi nilai moral anak<br /><br />Macam-macam permainan dan manfaatnya bagi perkembangan jiwa anak<br /><br />A. Permainan Aktif<br /><br />1. Bermain bebas dan spontan<br /><br />Dalam permainan ini anak dapat melakukan segala hal yang diinginkannya, tidak ada aturan-aturan dalam permainan tersebut. Anak akan terus bermain dengan permainan tersebut selama permainan tersebut menimbulkan kesenangan dan anak akan berhenti apabila permainan tersebut sudah tidak menyenangkannya. Dalam permainan ini anak melakukan eksperimen atau menyelidiki, mencoba, dan mengenal hal-hal baru.<br /><br />2. Sandiwara<br /><br />Dalam permainan ini, anak memerankan suatu peranan, menirukan karakter yang dikagumi dalam kehidupan yang nyata, atau dalam mass media.<br /><br />3. Bermain musik<br /><br />Bermain musik dapat mendorong anak untuk mengembangkan tingkah laku sosialnya, yaitu dengan bekerja sama dengan teman-teman sebayanya dalam memproduksi musik, menyanyi, atau memainkan alat musik.<br /><br />4. Mengumpulkan atau mengoleksi sesuatu<br /><br />Kegiatan ini sering menimbulkan rasa bangga, karena anak mempunyai koleksi lebih banyak daripada teman-temannya. Di samping itu, mengumpulkan benda-benda dapat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Anak terdorong untuk bersikap jujur, bekerja sama, dan bersaing.<br /><br />5. Permainan olah raga<br /><br />Dalam permainan olah raga, anak banyak menggunakan energi fisiknya, sehingga sangat membantu perkembangan fisiknya. Di samping itu, kegiatan ini mendorong sosialisasi anak dengan belajar bergaul, bekerja sama, memainkan peran pemimpin, serta menilai diri dan kemampuannya secara realistik dan sportif.<br /><br />B. Permainan Pasif<br /><br />1. Membaca<br /><br />Membaca merupakan kegiatan yang sehat. Membaca akan memperluas wawasan dan pengetahuan anak, sehingga anakpun akan berkembang kreativitas dan kecerdasannya.<br /><br />2. Mendengarkan radio<br /><br />Mendengarkan radio dapat mempengaruhi anak baik secara positif maupun negatif. Pengaruh positifnya adalah anak akan bertambah pengetahuannya, sedangkan pengaruh negatifnya yaitu apabila anak meniru hal-hal yang disiarkan di radio seperti kekerasan, kriminalitas, atau hal-hal negatif lainnya.<br /><br />3. Menonton televisi<br /><br />Pengaruh televisi sama seperti mendengarkan radio, baik pengaruh positif maupun negatifnya.<br /><br /><br /><br />Sumber: http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=27umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-39818041958347852882009-05-28T02:36:00.000-07:002009-05-28T02:37:27.803-07:00850 Guru Ikuti Senam Massal PAUD CeriaSekitar 850 ibu-ibu guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kabupaten Lamongan, Kamis (23/4), memeragakan senam massal PAUD Ceria dan lomba senam PAUD Ceria.<br /><br />Lomba Senam PAUD Ceria di Lamongan dinilai tiga juri pencipta Senam PAUD Ceria, yakni Putut Purnawirawan, Yuniar Ari Riswati, dan Tirta Buringsih. Lomba tersebut diikuti perwakilan guru PAUD dari 27 kecamatan di Kabupaten Lamongan, di mana setiap kecamatan mengirimkan enam perwakilan.<br /><br />Senam PAUD Ceria secara spesifik diperuntukkan bagi anak usia dini. Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Lamongan Arif Supono menyatakan, gerakan senam dibuat sederhana secara teknik tetapi tetap menyehatkan. Gerakan senam disisipi gerakan unsur fun (menyenangkan) dengan gerakan seperti berenang. Dalam iringan musik untuk senam itu disertai lantunan syair sebagai petunjuk masing-masing gerakan.<br /><br />Kepala Seksi PAUD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Puji Astuti menyatakan, kegiatan senam massal PAUD Ceria yang digelar Dinas Pendidikan Lamongan akan dijadikan referensi karena berhasil mengumpulkan hampir 1.000 guru PAUD dalam senam massal.<br /><br />"Ini sangat bagus sebagai pemicu semangat bagi para pendidik dalam menjalankan tugas mulianya. Senam massal sekaligus sebagai satu bentuk publikasi pada masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini," kata Puji.<br /><br />Menurut Puji, di masa lalu ada banyak anggapan pendidikan anak usia dini tidak terlalu penting, tetapi sekarang pendidikan pada anak usia dini sudah tidak bisa lagi dikesampingkan. Pendidikan ketika anak berada di usia dini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak, baik pendidikan maupun kesehatannya.<br /><br />"Di usia dinilah masa-masa keemasan perkembangan anak. Saya percaya ibu-ibu guru PAUD mampu menjalankan amanat ini, karena guru PAUD adalah ibu bagi anak-anak masa depan Indonesia," tuturnya.<br /><br />Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Mustofa Nur menambahkan, suatu bangsa hanya bisa maju jika didukung sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Anak-anak yang berada di lembaga PAUD nanti akan menjadi SDM penentu kemajuan bangsa. "Di sinilah peran penting guru PAUD sebagai penentu kualitas SDM bangsa ini," ujarnya.<br /><br /><br />Sumber: http://regional.kompas.com/read/xml/2009/04/23/16072489/850.Guru.Ikuti.Senam.Maumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-34116235865190472222009-05-28T02:32:00.000-07:002009-05-28T02:34:57.822-07:00Kesetaraan: Pendidikan Berbasis JenderBiaya pendidikan yang setiap tahunnya semakin bertambah mahal semakin membebani orangtua siswa. Akibatnya, bagi siswa dari keluarga miskin, sekolah semakin menjadi impian.<br /><br />Untuk menikmati fasilitasi pendidikan "berkualitas" semakin tidak memungkinkan. Banyak anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin melanjutkan studinya di sekolah yang kualitasnya di bawah standar. Yang penting, biaya terjangkau oleh kocek pendapatan orangtua mereka.<br /><br />Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh arus komersialisasi pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas yang ditawarkan kepada siswa (orangtua siswa) dengan berbagai variasi biaya.<br /><br />Pendidikan berkategori "unggulan" biayanya tentu saja setinggi langit. Banyak sekolah unggulan mematok biaya pendidikan mahal. Mulai dari sumbangan pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib yang seharusnya tidak menjadi beban orangtua siswa.<br /><br />Dampak komersialisasi pendidikan lambat laun akan membuat diskriminasi hak memperoleh fasilitasi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas adalah merupakan bentuk perwujudan hak asasi manusia, hak sosial-ekonomi-budaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.<br /><br />Pemerintah (negara) ini yang telah mengikrarkan diri untuk berkomitmen pada Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi upaya pencapaian pendidikan dasar bagi anak-anak usia sekolah.<br /><br />Hak memperoleh fasilitasi pendidikan harus dijamin melalui subsidi negara secara berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak.<br /><br />Sayangnya, filosofi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) menjadikan pendidikan bukan lagi sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara seolah lepas tangan dalam membiayai pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan justru dilepas sebagai "kewajiban" masyarakat untuk ikut andil dalam pembiayaan pendidikan.<br /><br />Tidak mengherankan alokasi anggaran pendidikan di Indonesia yang dipatok dalam APBN masih belum memenuhi batas minimal 20 persen.<br /><br />Minimnya alokasi anggaran negara untuk program pendidikan memang akan menyebabkan dampak buruk bagi komitmen memfasilitasi hak anak-anak miskin memperoleh pendidikan layak. Akan semakin banyak anak-anak usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah.<br /><br />Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak- anak dari keluarga miskin makin meningkat persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen. Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika memasuki bangku usia sekolah menengah mencapai 18,3 persen, dan yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah pertama mencapai 29,5 persen.<br /><br />Diskriminasi<br /><br />Ironisnya, kebanyakan anak- anak usia sekolah dari keluarga miskin yang gagal melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP atau dari SMP ke SMA mayoritas (72,3 persen) adalah siswa perempuan.<br /><br />Anak-anak perempuan usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah selain karena minimnya biaya pendidikan dari keluarga, juga karena masih terjerat cara pandang patriarkis orangtua.<br /><br />Orangtua anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menganggap anak-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah. Lebih baik anak perempuannya langsung dinikahkan atau didorong bekerja di sektor publik sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.<br /><br />Kondisi demikian menjadikan anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menjadi kelompok sosial yang dilanggar hak sosial-ekonomi-budayanya. Mereka tidak bisa mendapatkan hak memperoleh (menikmati) pendidikan yang berkualitas dan berbiaya murah.<br /><br />Andai kata pun anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin bisa meneruskan studi sampai jenjang sekolah menengah, mereka terpuruk menjadi pekerja sektor informal berupah murah.<br /><br />Membaca realitas di atas, maka sebenarnya dunia pendidikan di negeri ini telah mendiskriminasi hak-hak anak perempuan.<br /><br />Pendidikan alternatif<br /><br />Untuk itulah saat ini perlu bagi kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mengembangkan program pendidikan berbasis kesetaraan jender.<br /><br />Langkah-langkahnya adalah, pertama, perlu dirumuskan reorientasi kurikulum pendidikan sekolah alternatif yang sensitif jender sehingga ada penghormatan terhadap hak-hak anak-anak perempuan.<br /><br />Kedua, perlu kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mendesak adanya plafon subsidi anggaran pendidikan yang khusus untuk anak-anak usia sekolah dari komunitas perempuan (keluarga miskin) sehingga mereka bisa melanjutkan studi setidaknya sampai lulus jenjang sekolah menengah atas.<br /><br />Ketiga, perlu diimplementasikan program perwujudan kesetaraan hak pendidikan bagi anak perempuan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan.<br /><br />Keempat, kesetaraan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses dan kegiatan belajar-mengajar.<br /><br /><br />Sumber: http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=103:kesetaraan-pendidikan-berbasis-jender-&catid=49:gender&Itemid=90umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-42037567175759662532009-05-28T02:31:00.000-07:002009-05-28T02:32:17.835-07:00SDM - Penghambat Perkembangan Pendidikan Menengah Pertama dan Menengah AtasSetelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, semakin banyak kita lihat pemerintah Indonesia mencoba untuk melakukan perubahan sistem hampir di semua bidang seperti pada contohnya ekonomi, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu.<br />Disini kita akan lebih memfokuskan pada perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Negara kita Indonesia apabila kita analisa lebih rinci sebenarnya mempunyai banyak sekali tantangan terhadap perkembangan pendidikan, salah satunya yang sangat penting adalah minat siswa yang kurang dan berbagai kebijakan-kebijakan baru dan selalu berubah seakan-akan menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan, dan juga korupsi yang bukanlah hanya dapat mencuri anggaran negara untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi dimasa yang akan datang yang dapat mengurangi anggaran negara untuk memfasilitasi perkembangan pendidikan yang sedang berjalan.<br />Di tanah air kita Indonesia ini, yang terdiri dari 17,000 pulau lebih, memang harus kita akui bahwa jalur komunikasi yang efektif dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan masih sangatlah sulit. Pengembangannya pun tidak bisa kita pungkiri bahwa masih belum dapat dikatakan adil dan merata, contohnya adalah kota-kota besar biasanya mendapatkan dana yang jauh lebih banyak dan perhatian yang lebih dari pemerintah ketimbang daerah-daerah pedalaman yang seharusnya mendapatkan “special attentions” dari pemerintah tetapi masih belum juga dapat terlaksana.<br />Kualitas pendidikan di Indonesia pun akan dapat ditingkatkan dengan cepat dan secara signifikan bilamana sumber daya manusia (guru yang berkualitas dan memliki profesionalisme yang tinggi) dan sumber daya lainnya yang sudah terdapat di Indonesia dapat dimanfaatkan merata. Akan tetapi, semua ini hanya bisa efektif jika suara masyarakat pendidikan secara luas didengarkan dan kemandirian ataupun kepercayaan masyarakat secara luas dapat dicapai.<br />IDENTIFIKASI & ANALISA PERMASALAHAN<br /><br />Lalu apa yang sebenarnya menjadi penghambat perkembangan pendidikan saat ini? Dan apakah yang harus dihadapi bukan hanya oleh pemerintah saja tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat didalam perkembangan pendidikan di negara kita tercinta ini<br />Ada beberapa hal yang sangat penting yang menjadi pokok permasalahan dari penghambat perkembangan pendidikan terlepas dari masalah alokasi dana pendidikan dari APBN/APBN 20% yang sampai saat ini masih belum jelas sistematika pembagian kewenangannya dan upaya peningkatan sumber daya manusia para pengajar yang merupakan hal penting yang harus diperhatikan dan harus ditindak lanjuti, tetapi akan saya lebih fokuskan kepada 2 hal berikut;<br /><br />1. Pendidikan di Indonesia belum maksimal mengajak semua pelajar berusaha untuk berfikir mandiri dan kurangnya penerapan ilmu menganalisa sesuatu. Memang pemerintah sudah menerapkan solusi yang masih terbilang baru yaitu sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pengganti kurikulum 1994 yang menerapkan ilmu menganalisa dan menanamkan kemandirian di setiap pelajar tetapi apakah semua itu berjalan dengan lancar? Sedangkan menurut Drs.Yusuf Rianto, Dinas Pendidikan Kulon Progo, selama ini memang belum ada SK Menteri yang menetapkan pemberlakuan KBK. Jadi selama ini kebijakan KBK tersebut secara yuridis formal memang tidak ada dasar hukumnya. Beliau merasa sekarang ini hanya menjadi kelinci percobaan saja. Kurikulum yang selalu berubah-ubah pada setiap pergantian menteri pendidikan menajamkan pandangan masyarakat bahwa ada unsure politik didalamnya dan membuat masyarakat berasumsi bahwa pemerintah tidak ada mempunya konsistensi terhadap sebuah keputusan yang telah diambil. Pada akhirnya pihak siswalah yang paling dirugikan, pelajar yang dipaksa menerima perubahan yang begitu cepat, tanpa alasan yang memadai. Beliau juga menegaskan bahwa ini menunjukkan bahwa sikap pemerintah yang sangat ragu-ragu dan mengambil langkah cepat tanpa memikirkan dampak-dampak yang akan terjadi, menunjukkan pemerintah dalam hal ini Depdiknas dinilai selalu tergesa-gesa, reaktif, tidak transparan dan partisipatif.<br /><br />2. Kebijakan Nilai UAN (Ujian Akhir Nasional) / Ujian Akhir Semester atau sejenisnya yang terbilang sangat memaksakan para pelajar. Didalam artikelnya Bapak Achmad Sentosa, seorang advisor untuk Partnership for Governance Reform in Indonesia menyatakan kekhatirannya bahwa UAN hanya akan mememperpanjang deret masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia. UAN mempunyai dampak negatif yang sangat besar terhadap perkembangan mental pelajar Indonesia. Kita dapat mengambil satu contoh nyata, dikutip dari kompas cyber media edisi Juni 2006 seorang siswa SMK di Pontianak memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya lantaran tidak lulus didalam UAN, ini sudah jelas bahwa kebijakan tersebut telah menurunkan selera serta mentalitas pelajar untuk saling berkompetensi dalam menuntut ilmu. Pasal 60 UU No. 39 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecedasannya. Apabila sistem pendidikan kita melalui kebijakan konversi nilai tidak mampu menghargai siswa sesuai dengan bakat dan tingkat kecedasannya, maka perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.<br />William Chang juga menyebutkan dalam artikel yang pernah di muat di media yang sama kompas bahwa, penerapan instrument multiple choice pada UAN juga tidaklah terlalu cukup untuk merepresentasikan kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotorik siswa secara komprehensif dan objektif. Lama kelamaan secara tidak langsung, dari satu sisi, sistem ini akan lebih condong untuk menghargai pelajar yang mempunyai intelektualitas yang tinggi daripada anak-anak yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan rendah. Dengan begitu pelajar yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan rendah akan mengalami suatu perang batin apakah mereka cukup kompeten atau tidak. Dan apabila ini terus berlanjut tidak dapat dipungkiri bahwa akan banyak pelajar Indonesia pada masa mendatang yang akan mengalami penurunan mental yang selanjutnya akan menjadi salah satu pengambat dalam perkembangan pendidikan itu sendiri dan masalah ini sudah bisa digolongkan pada diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.<br /><br /><br /><br /><br />USULAN SOLUSI PERMASALAHAN<br /><br />Melihat 2 jenis permasalahan dan setelah bersama-sama kita analisa masalah diatas, saya mempunyai beberapa usulan mengenai solusi dari setiap permasalahan diatas, berurutan dari nomor identifikasi permasalahan, yaitu;<br /><br />1. Memotivasi minat pelajar Indonesia untuk mencintai sekolah. Dengan cara, pelajar dituntun untuk mengikut sertakan dirinya berperan aktif dalam belajar dan mengembangkan kreatifitas pelajar. Sebagai salah satu sample pendidikan negara maju dan saya akan mencoba memberikan sebuah perbandingan dari pendidikan di Finlandia yang menjadi negara dengan sistem sekolah terbaik di dunia, menurut Alex Steffan seorang Direktur Eksekutif World Changing Weblog.<br />Didalam artikel yang dimuat di Website Negara Finlandia penulis Virual Finland yaitu Sarra Korpela, setiap sekolah di Finlandia dianjurkan untuk memiliki ruang tersendiri untuk pembuatan majalah, musik, drama, ilmu pengetahuan seperti laboratorium, pendidikan lingkungan, ruang olahraga dan perpustakaan. Dan kebanyakan memiliki taman yang diisi dengan tempat duduk santai untuk membaca. Kembali ke jam pelajaran, mereka lebih banyak memilih pekerjaan kelompok daripada bekerja secara individu, agar tidak hanya menerima pelajaran tetapi juga bisa mengimplementasikannya.<br />Di web yang sama Alex Steffan mengatakan, “maybe the secret is what they don't do: Finnish students spend less time in class than students in any other industrialized nation”.<br />Dari contoh-contoh diatas kita bisa mengambil gagasan baru bahwa untuk mencapai pendidikan yang aktif dan kreatif sekolah tidak boleh hanya dijadikan tempat untuk sekedar belajar tetapi juga untuk bermain dan tempat yang bisa menunjang pengekspresian minat dan bakat terpendam siswa.<br />Untuk masalah kurikulum yang sedang terjadi menurut saya, pergantian kurikulum yang terus menerus akan merusak tatanan pendidikan yang telahada, dan pada akhirnya akan bingung dimana kurikulum kita sebenarnya berada dana akan dibawa kemana kurikulum kita. Seharusnya pemerintah melakukan reevaluasi dari kurikulum yang ada untuk menghilangkan hal-hal yang tidak relevan dan menambah hal yang masih harus diisi dalam kurikulum tersebut. Sehingga pemerintah tidak lagi melakukan pergantian yang berulang-ulang.<br /><br />2. UAN dapat terus dilaksanakan apabila dalam konteks untuk dapat mengetahui pencapaian target pendidikan nasional, dengan begitu pemerintah dapat mengetahui daerah mana yang sudah mencapai target dan daerah mana yang belum agar dapat ditindaklanjuti kemudian. Tetapi, UAN tidaklah perlu dilaksanakan apabila hanya bertujuan untuk standarisasi kelulusan. Saya berikan dua contoh ilustrasi dampak yang akan terjadi apabila UAN menjadi stardarisasi kelulusan. Ada seorang pelajar yang rajin dan pintar, tidak pernah bolos, selalu juara, berkepribadian positif akan tetapi, tetapi karena pada malam sebelum ujian, salah satu keluarganya sakit, sehingga harus masuk rumah sakit dan harus menemani, ketika pagi harinya ujian berlangsung dia mengerjakan soal diliputi dengan perasaan was-was, tidak dapat berkonsentrasi penuh dan akhirnya hasil ujiannya dinyatakan gagal. Dan sebaliknya seorang siswa lainnya yang sering bolos, nilainya kurang memuaskan, tetapi pada saat ujian, kebetulan duduk berdekatan dengan anak yang pintar, sehingga dapat mencontek, akhirnya ujiannya dinyatakan lulus. Kita bisa melihat dari dua contoh diatas bahwa sungguh tidak adil apabila Ujian Akhir Nasional harus dijadikan standarisasi kelulusan siswa. Apakah pendidikan seperti ini yang diharapkan pemerintah kita?? Apakah pemerintah terlalu mementingkan sebuah nilai?? Apakah di Indonesia ilmu sudah bisa dibayar dengan sebuah nilai ujian???? Seharusnya pemerintah memberi kesempatan dan otonomi kepada sekolah dalam hal ini adalah guru untuk menentukan kelulusan karena gurulah yang paling mengetahui proses perkembangan siswa selama di sekolah.<br />Menanggapi pendapat dari William Chang, saya mengusulkan agar penerapan instrument ujian untuk Multiple Choice diganti atau ditambahkan dengan penerapan studi kasus dalam ujian dan pembelajaran dan essay untuk meningkatkan ilmu menganalisa siswa. Didalam buku yang ditulis oleh Fredrick G.Brown disebutkan bahwa dengan essay para pelajar dan pengajar dapat mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa atau sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Terdapat beberapa alasan mengapa mengukur pencapaian siswa. Sebelum itu kita menuju alasan tersebut mari kita ulas bersama apa yang dimaksud dengan pencapaian siswa. Implikasi kemampuan mengekspresikan pengetahuan ini ke berbagai cara, melihat hubungan dengan pengetahuan lain, dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan masalah. Ketrampilan kita artikan mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu.<br /><br />Dua statement solusi tersebut ternyata memiliki hubungan yang kuat dan hubungan timbal balik demi mencapai pendidikan Indonesia yang didambakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang didukung dengan kurikulum yang transparan. Yang dimaksudkan dengan transparan disini adalah kejelasan proses kurikulum dan memiliki simbiosis mutualisme antara pemerintah dan anggota sekolah (guru dan pelajar).<br /><br />Sumber: http://indonesiamasadepan.net/index.php?option=com_content&task=view&id=55umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-11734797665673142872009-05-28T02:27:00.000-07:002009-05-28T02:30:32.901-07:00Kontradikisi KTSP dan UNPresiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap Indonesia dapat menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif pada 2025. Pernyataan itu dikemukakan Presiden dalam pidato sambutannya pada acara puncak Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Lapangan Shiva, Yogyakarta, Sabtu (25/5) setahun lalu. “'Kurang 21 tahun dari sekarang (hendaknya) dapat dihasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif,”' katanya. Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif yaitu masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, menurut Presiden, adalah aset dan kekuatan bangsa yang penting dalam menghadapi era globalisasi.Kepala Negara juga menekankan arti pentingnya pendidikan bermutu bagi kelangsungan dan kelestarian bangsa. Menurut Kepala Negara, Indonesia tidak akan maju dan tidak akan mampu mengelola kekayaan sumber daya alam serta tidak mampu bersaing pada era global jika standar pendidikan rendah. Pendidikan, lanjut Presiden, diperlukan untuk mencetak manusia Indonesia yang pro-aktif, tidak hanya menunggu atau pasif. Dalam pidatonya Presiden Yudhoyono menekankan perlunya perubahan paradigma atau perubahan cara melihat suatu permasalahan, yaitu melihat secara menyeluruh.Dikatakan juga bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang tangguh untuk membentuk karakter bangsa.<br /><br />Ujian Nasional Meningkatkan Mutu ?<br /><br />Ujian Nasional untuk tahun ajaran 2007/2008 mulai berlangsung. Untuk siswa SMA/SMALB/SMK/MA telah dilaksanakan dimulai tanggal 22-24 april, dengan peserta seluruh Indonesia sebanyak 2.260.148. Siswa SMP/MTs/SMPLB tanggal 5-6 Mei dengan jumlah peserta 3.567.472, dan terakhir siswa SD/MI/SDLB pada tanggal 13-15 Mei dengan jumlah peserta 4.599.217. Ujian Nasional (UN) tahun 2008 ini jumlah mata palajaran yang diujikan bertambah. Setelah sebelumnya UN SMP dan SMA hanya memiliki tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika (Jurusan IPA), Ekonomi (Jurusan IPS saja), Bahasa Asing (Jurusan Bahasa). Mulai tahun ini untuk tingkat SMP penambahan hanya untuk mata pelajaran IPA. Untuk tingkat SMA penambahan terjadi pada Jurusan IPA, yaitu : Fisika, Biologi, Kimia. Untuk Jurusan IPS di SMA ditambah dengan mata pelajaran : Sosiologi, Geografi, atau mata pelajaran dasar pada jurusan tersebut. Sementara untuk SMK tidak luput dari penambahan mata pelajaran, yang disesuaikan dengan program kekhususan pada SMK dimaksud. Dan ini adalah otoritas direktur SMK untuk menambah mata uji nasional di SMK. Maksud penambahan ini, menurut Sekretaris BSNP, Suharsono, untuk menambah angka kelulusan siswa, karena mata pelajaran yang ditambahkan adalah mata pelajaran khusus jurusan masing-masing dan otomatis diharapkan siswa tentu sudah lebih menguasai pelajaran spesialisasinya itu. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 45 tahun 2006, pemerintah menetapkan angka 5,00 sebagai standar kelulusan. Untuk tahun 2008, secara tidak langsung BSNP menyatakan angka standar kelulusan tersebut menjadi 5,24.<br /><br />Sejak mulai dicanangkan perencanaan Ujian Nasional sudah mengundang kritik dari berbagai pihak. Di luar kritik soal payung hukum, kritik mengenai substansi ujian nasional itu sendiri menjadi sangat penting. Misalnya, benarkah UN merupakan standar nasional pendidikan dan bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sebagaimana pernah dikemukakan Mendiknas? Idealnya memang begitu, sepanjang pengalaman masa lalu menunjukkan demikian.<br /><br />Tapi yang terjadi justru menunjukkan hal sebaliknya. Tahun 2003, ketika masih bernama Ebtanas, hasil akhir berupa Nilai Ebtanas Murni (NEM) rata-rata sangat rendah, yakni 5,15 untuk SLTP dan 4,56 untuk SMU. Itu pun setelah dilakukan konversi nilai, agar tingkat kelulusannya tinggi. Bahkan dinas pendidikan di daerah diberi izin memberi bobot pada NEM, dan menggabungkannya dengan nilai rapor. Konversi atau penyesuaian nilai juga masih diberlakukan terhadap hasil UAN 2004. Anehnya, konversi nilai dilakukan ke bawah untuk nilai tinggi, dan ke atas untuk nilai rendah. Kebijakan ini dianggap tidak adil, tidak mendidik, bahkan ada kesan membohongi hasil sistem yang dikembangpaksakan secara nasional. Penyesuaian nilai ini justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menggelar UAN, dan semata-mata hanya ingin mengejar tingkat kelulusan yang tinggi. Artinya, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tak tercapai. Disparitas mutu pendidikan antarsekolah dan antarwilayah tetap tak bisa dielakkan lagi.Bila sekarang Depdiknas menggelar UN tanpa konversi nilai, bahkan dengan ambang kelulusan 5,25, pasti banyak peserta ujian yang menjerit. Sebab disparitas mutu tetap berlangsung, dan tak bisa ditangani hanya dengan menyediakan tiga paket soal dengan tingkat kesukaran yang berbeda.<br /><br />KTSP dan UN yang Kontradiktf<br /><br />Mulai tahun ajaran 2006, kurikulum yang dikembangkan disekolah-sekolah adalah KTSP. KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan/kelompok. Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karena itu, kurikulum harus bisa menjawab tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.<br /><br />Sejatinya, KTSP tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya (berbasis kompetensi). Perbedaan utama KTSP memberikan wewenang penuh kepada sekolah/kelompok untuk menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar yang sudah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya. KTSP berdasarkan NSP berlaku pada jenjang pendidikan formal dan nonformal, jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) dan menengah (SMA dan SMK), dan disusun oleh satuan pendidikan/kelompok dengan hanya mengacu pada Standar isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).<br /><br />Pengembangan KTSP yang beragam seharusnya mengacu pada 8 SNP untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun, saat ini penyusunan KTSP hanya mengacu pada dua, yaitu SI dan SKL. SNP lainnya belum dijadikan acuan dalam pedoman penyusunan KTSP. KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau Kantor Depag kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Namun, sampai saat ini aparat birokrat masih sangat banyak yang belum siap. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (b) beragam dan terpadu; (c) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (d) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (e) menyeluruh dan berkesinambungan; (f) belajar sepanjang hayat, dan (g) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Namun, pendidik/kelompok sebagai pelaksana masih meraba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar dan peralatan untuk mendudkung proses belajar mengajar.<br /><br />Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dibuat sesuai kreativitas guru, dan kondisi muatan lokal sangat kontradiktif dengan penyelenggaraan ujian nasional (UN). berkualitas. Prinsip UN yang sentralistik, justru menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya. Hal itu dikemukakan pakar pendidikan dari Universitas Atma Jaya Jakarta M Marcellino PhD. Menurut dia, KTSP merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan memberi tempat pada demokratisasi untuk penentuan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan konteks komunitas di mana sekolah berada, konteks finansial, SDM, dan sebagainya dari sekolah yang bersangkutan.<br /><br />KTSP juga menyesuaikan dengan konteks kultural di mana sekolah itu berada dalam komunitas tersebut. "Atas dasar ini, bobot mutu pendidikan yang direalisasikan pada suatu mata pelajaran tertentu, dari satu sekolah tertentu dengan kondisi finansial tertentu akan berbeda dengan sekolah lain di daerah lain dengan kondisi finansial yang lain pula," katanya. Kontradiksi antara KTSP dan UN, menurut Marcellino, menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, sementara UN sentralistik.<br /><br />KTSP hanya memuat dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Apalagi berbeda dengan Kurikulum 1994 atau Kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. "Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam. Perbedaan materi mungkin terjadi antarsekolah yang berada dalam satu desa, baik muatan maupun kedalaman materinya. Di sisi lain, butir soal UN mengukur muatan tertentu dan kedalaman materi yang sama di seluruh Indonesia," katanya.<br /><br />Dia mengatakan, menyusun soal UN yang merangkum berbagai perbedaan muatan dan kedalaman materi sehingga menjadi paket tes yang reliable, valid, dan adil sangat sulit. Oleh sebab itu, perlu mereformasi berbagai kebijakan pelaksanaan UN yang sejalan dengan KTSP.<br /><br />Marcellino menerangkan, UN memberi makna standarisasi mutu pendidikan nasional yang nota bene berasal dari sekolah-sekolah yang mutunya secara signifikan berbeda-beda. Dia mencontohkan, sekolah di Maumere, Poso, atau di Papua, pada umumnya tentu memiliki perbedaan signifikan dari segi mutu bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta.<br /><br />"Sekolah yang dekat dengan pusat administrasi negara tentunya memperoleh informasi dengan sangat mudah dan bantuan pendidikan pun dengan mudah," katanya.<br /><br />Dijelaskan, Peraturan Mendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan UU No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP di Indonesia. "Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya,'' ujarnya.<br /><br />Sudah rahasia umum, katanya, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP, guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmonisasi pembelajaran yang efektif dan efisien. Marcellino menambahkan, lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah instan, dan kerdil kreativitas.<br /><br />Dikatakan, semua pihak sebaiknya juga mendukung usaha pemerintah untuk mendapatkan standardisasi pendidikan nasional. Hanya saja, perlu pembenahan-pembenahan terdahulu untuk sekolah-sekolah yang belum maju dan berada jauh dari sentra administrasi negara. Sekolah-sekolah yang dianggap sudah memenuhi kriteria untuk standarisasi pendidikan nasional dapat memulai UN secara serentak. Namun, adalah kurang bijak bila sekolah-sekolah yang belum siap harus ikut UN juga.<br /><br />Berbicara tentang mutu pendidikan, dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mengetahui mutu dan kualifikasi lulusan. ''Mendorong semua sekolah di Tanah Air tanpa pandang bulu untuk ikut UN secara serentak tanpa memperhatikan kualifikasi SDM sekolah tersebut, fasilitas yang ada, dan sebagainya merupakan kebijakan yang kurang bijak.<br /><br />KTSP yang memang guru yang membuat, sedangkan UN yang membuat BNSP dengan berpedoman kompetensi dasar. BNSP dan diknas berasumsi pihak sekolah dan guru mampu menjalankan KTSP dengan baik sesuai dengan kondisi sekolah dan murid?. Banyak guru yang faktanya masih kesulitan untuk memahami dan menjalankan kurikulum yang baru. Kalau demikian yang terjadi tanpa ada pemantauan dari pihak Diknas dan BNSP tentang fakta di lapang, tentu UN yang dimaksudkan untuk menilai standar mutu pendidikan tidak akan tercapai. Seharusnya dilakukan dahulu uji kelayakan, baru kemudian soal-soal UN dibuat. Ditambah lagi jika kita cermati evalusi pendidikan seharusnya tidak mengesampingkan proses. KTSP gambaran kualitatif, UN kuantitatif. Soal UN belum dipastikan apakah sudah diserap oleh anak dan guru atau belum. Yang terjadi hanya berdasar kompetensi dasar semata.<br />Ketua Badan Standar Pendidikan Nasional Pendidikan (BSNP) Yunan Yusuf mengatakan, KTSP akan terus dikaji dan diharapkan pada 2009 semua sekolah sudah mampu menerapkannya. Untuk UN, akan disesuaikan dengan materi-materi pelajaran KTSP. Dia menegaskan, UN masih relevan sebagai alat ukur pencapaian kualitas pendidikan nasional. Karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengadakan UN. "Meski UN menuai banyak kritik, namun pada kenyataannya UN merupakan faktor penting dalam menilai standar pendidikan nasional, sehingga UN tetap dilaksanakan<br /><br /><br />Sumber: http://www.tokoislamonline.com/article_info.php?articles_id=12umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-29967037320774712842009-05-28T02:24:00.000-07:002009-05-28T02:27:02.267-07:00Kongres Guru di Indonesia akan Digelar di JakartaSeribu guru dari seluruh Indonesia akan menggelar Kongres Guru Indonesia di Jakarta pada 27-28 November mendatang. Selain membahas hal-hal yang terkait dengan profesionalisme guru, kongres yang disponsori Sampoerna Foundation (SF) itu diharapkan juga menghasilkan gagasan sebagai masukan bagi pemerintah.<br /><br />"Kongres Guru Indonesia ini bertujuan untuk membantu guru mengembangkan keahlian, pengetahuan, dan keyakinan untuk mengeksplorasi hal baru," kata Direktur SF, Kenneth Cock, kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (21/10). Hadir dalam kesempatan itu Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Baedhowi, dan Wali Kota Jakarta Pusat, Sylviana Murni.<br /><br />Kenneth juga berharap, Kongres Guru Indonesia ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi para guru di Indonesia untuk meningkatkan kemampuannya. "Guru-guru diharapkan meningkatkan kemampuan dan profesionalisme. Dengan demikian, mereka akan memiliki kemampuan untuk bersaing secara global, tetapi tidak kehilangan identitasnya sebagai guru Indonesia," ucapnya.<br /><br />Dalam upaya peningkatan profesionalisme, guru memainkan peranan yang penting. Maklum, dari 2,7 juta guru yang ada di Indonesia, hanya 41,7 persen saja (1.143.000 guru) yang pendidikannya mencapai jenjang sarjana (S-1) dan diploma IV. Karena itu, pemerintah terus mendorong guru untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1.<br /><br />"Guru adalah profesi yang penting dan berpengaruh bagi kemajuan bangsa di masa depan. Karena itu, mutu dan kompetensi guru harus terus ditingkatkan," kata Baedhowi.<br /><br />Pemerintah, menurut Baedhowi, memberikan beasiswa kepada para guru SD, SMP, SMA, dan SMK untuk menempuh jenjang S-1 dengan biaya APBN, APBD, serta sponsor.<br /><br />"Tahun ini pemerintah memberikan beasiswa S-1 kepada 170 ribu guru, bukan hanya guru sekolah negeri, melainkan juga guru sekolah swasta, termasuk guru-guru di daerah yang bisa mengakses peluang ini melalui dinas pendidikan setempat," kata Baedhowi.<br /><br />Namun, menurut Baedhowi, pendidikan setingkat S-2 dan S-3 bagi guru belum menjadi prioritas. Dia menegaskan bahwa guru harus menguasai sejumlah kompetensi. (suarakarya)<br /><br />Sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/PeMen27.aspumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-70244002568069911092009-05-26T21:37:00.000-07:002009-05-28T01:32:36.908-07:00Meningkatkan Kualitas Sekolah Nilai-nilai dalam praktek mengajar, dan pertanyaan-pertanyaan untuk kualitas dan keadilan di sekolahMeningkatkan Kualitas Sekolah Nilai-nilai dalam praktek mengajar, dan pertanyaan-pertanyaan untuk kualitas dan keadilan di sekolah<br />Cetak Ulang: <br />Izin:<br />http://www.sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav<br />Kutipan: <br /><br />Subscriptions:<br />Email Alerts:<br />http://www.sagepub.com/journalsReprints.nav<br />Informasi dan layanan tambahan lain untuk ”<br />Improving Schools” <br />bisa ditemukan di:<br />DOI: 10.1177/1365480205049336 <br />Improving Schools<br /> 2005; 8; 59 <br /><br /><br /><br /><br />http://imp.sagepub.com<br /> <br /><br />Cecilia Fierro Evans <br /> <br />Versi online dari artikel ini dapat ditemukan di:<br />http://imp.sagepub.com/cgi/content/abstract/8/1/59<br /> <br />Diterbitkan oleh:<br />http://www.sagepublications.com<br /> <br />http://imp.sagepub.com/cgi/alerts<br /> <br /> <br />http://imp.sagepub.com/subscriptions<br /> <br /> <br /><br /> <br />http://imp.sagepub.com/cgi/content/refs/8/1/59<br /> <br /><br />Nilai-nilai dalam praktek mengajar, dan pertanyaan-pertanyaan untuk kualitas dan keadilan di sekolah<br />Cecilia Fierro EvansR <br />Universidad Iberoamericana, Leon, Mexico<br /><br />Abstrak<br />Mengetahui bahwa penelitian tentang pengembangan kognitif dan nilai-nilai normalnya terpisah, penulis menunjukkan hubungan tersebut dengan meneliti dari dekat cara-cara yang berbeda dimana para guru berhubungan dengan para murid. Cara penertiban berdasarkan kekuasaan guru, dan bahkaan paksaan, daripada percakapan yang etis, tidak hanya mengurangi kepercayaan diri para murid tapi juga membatasi kemampuan mereka untuk mencerminkan situasi dengan tingkat keobyaktifan. Dalam ruang kelas dimana percakapan berputar dalam cerminan rasional, para murid mengembangkan kepercayaan diri dan ikatan janji yang lebih besar juga mendapat keuntungan kognitif melalui ikatan janji dalam permusyawarahan tingkat tinggi.<br />Kata kunci: pencapaian, tingkah laku, etika, nilai-nilai<br /><br />Pendahuluan<br />Sejak tahun 1970, mengikuti meluasnya pendidikan umum di Amerika Latin untuk mengikutsertakan sekto-sektor dari populasi yang secara tradisionil tidak ada, sebuah jumlah besar dari halaman telah dicurahkan untuk kualitas dan persamaan. Telah banyak penelitian yang berbeda tentang bagaimana para murid memperoleh akses ke, dan tetap didalam, sistem pendidikan pada tingkat utama, dan kebutuhan mendesak untuk merubah manajemen sekolah dan praktek-praktek pedagogi. Gelombang pembaharuan pada tahun 1990 menekankan pada pengembangan dari cara-cara pengganti yang akan memperbaiki kualitas dan persamaan.<br />Hal ini diluar keraguan bahwa telah ada banyak keberhasilan dari proyek-proyek seperti pembaharuan kurikulum, memperbaiki persediaan buku-buku, memperbaiki infrastruktur, diperbanyaknya kenahasiswaan, pendidikan guru dan CPD, diantara lainnya. Bagaimanapun juga, bermacam-macam evaluasi sekarang mengarahkan perhatiannya kembali pada isu awal dari para guru dan praktek pedagogi. Hal ini telah menjadi usaha-usah baru lainnya dari pembaharuan pendidikan, dan penting jika kita mengembangkan pengajaran yang sesuai dengan anak-anak, dalam suasana kerja yang meningkatkan tantangan untuk kecerdasan dan perasaan mereka, yang pada saat yang bersamaan juga menggambarkan pengetahuan dan pengalaman hidup. Hubungan antara para guru dan anak-anak juga merupakan kunci untuk mengembangkan tingkah laku berdasarkan rasa hormat pada perbedaan, dan menjadi dasar tempat dimana mereka belajar atau menyangkal kemungkinan dari mengekspresikan ide mereka dan memperoleh rasa keadilan melalui bekerja bersama. <br />Meskipun demikian, penelitian pendidikan tentang nilai-nilai terasa seperti mengikuti jalan setapak yang berbeda, terpisah dari perbaikan pengembangan kognitif. Hal ini mengejutkan, sejak membangun perilaku dan nilai-nilai untuk hidup bersama dengan damai adalah sebuah makanan untuk demokrasi, dan membuka kemajemukan cara pandang adalah dasar dari pemikiran yang tercermin dan kritis. Ini adalah satu keutuhan dari pengalaman kelas dan merupakan persoalan yang sangat penting dalam hubungan antar para guru dan anak-anak sehari-hari. Pertemuan harian ini juga merupakan kunci untuk meningkatkan pencapaian, dengan perbaikan akses menuju sekolah dan mendorong anak-anak untuk tetap tinggal di sekolah, terutama anak-anak dari bagian populasi yang hilang.<br />Penelitian bertujuan untuk menggali hubungan antara tema tersebut, dan menyediakan model untuk evaluasi sekolah yang akan membantu kita melihat kepada nilai-nilai yang terlibat dalam kegiatan para guru sehari-hari.<br /><br />Sebuah pertanyaan tentang praktek para guru dan teori mereka yang sesuai<br />Sebuah proyek di Universidad Iberoamericana Leon memberikan hasil dalam sebuah penelitian tim yang berfokus pada kepribadian dari guru dan aspek dari tingkah laku para guru dimana kita bisa mengenali nilai-nilai yang dipilih, baik secara eksplisit maupun implisit dalam prakteknya dalam kesempatan untuk anak-anak untuk membangun moral mereka. Sebuah penyelidikan etnografi telah dibawa dalam dua sekolah utama di kota. Kita dapat menggambarkan pandangan dari anthropologi sosial, yang menganggap nilai-nilai sebagai konsepsi sosial atau budaya yang menterjemahkan atau mengekspresikan tuntutan sosial umum dengan kata lain, mereka diperoleh dari kebiasaan dan kewajiban dari grup sosial tertentu sama banyaknya dari kepercayaan universil umum.<br />Kita juga menggambarkan dari pandangan psycho-pedagogi untuk memahami bagaimana persoalan ini membangun moral personal, saat atau tingkat yang mana mereka lewati, dan proses yangterlibat didalamnya. Nilai-nilai dianggap sebagai konsepsi individu/perseorangan, berdasarkan pada pilihan jenis dari tingkah laku atau kepercayaan, yang diterjemahkan ke orientasi tertentu yang menjadi pedoman kegiatan sehari-hari dan menawarkan kriteria bagaimana cara bertingkah laku dalam situasi atau konflik yang membutuhkan keputusan moral.<br />Dengan demikian, kita dapat memahaminya sesuai dengan nilai-nilai:<br /> Pilihan bagi jenis tertentu dari hasrat tingkah laku yang berdasarkan pada kebiasaan dan<br /> tradisi, atau pada ide universal umum, yang dipahami sesorang selama perkembangannya,<br />dimulai dengan interaksi sosial, dan yang mana akhirnya diekspresikan dalam keputusan dan perbuatan.<br />Kita menggambarkan untuk pandangan sosiologi kita, dalam tulisan yang dibuat oleh Agnes Heller dan Lawrence Kohlberg, untuk teori pengembangan-kognitif, mencatat persamaan menarik disamping perbedaan mereka. Baik Heller dan Kohlberg memandang hal-hal berikut ini sebagai pokok pengembangan dari individu terhadap otonomi moral:<br /> hubungan dari persoalan dengan penulis<br /> bagian dalam norma<br /> konflik moral<br />Pembentukan dari nilai-nilai menyinggung proses yang terjadi dalam pengembangan dari posisi moral seseorang, sama baiknya dengan tingkatan yang mereka lalui dalam perpindahan mereka dari penerimaan peraturan sosial dasar untuk hidup bersama yang diterima melalui sosialisasi, terhadap pembentukan otonomi moral sebagai dasar dari pedoman keputusan dan perbuatan.<br />Table 1<br />Agnes Heller Pengertian kami Lawrence Kohlberg<br />Tingkat pertama keutamaan tahap sosialisasi: penyampaian dan adaptasi tingkat pre-conventional<br />Tingkat kedua keutamaan tahap pendalama harapan dan norma-norma sosial tingkat conventional<br />Tingkat kepribadian terhadap otonomi moral tingkat post-conventional<br /><br />Tabel 1 menunjukkan tingkatan dari pengembangan, menurut Heller dan Kohlberg, dan di tengah kolom ada nama yang kami berikan pada ketiga tingkatan dalam pengertian kami.<br />Tradisi, sama seperti norma-norma kongkrit, membangun standar dari tingkah laku yang diterapkan pada tugas-tugas tertentu dalam kehidupan sosial (contoh, bertingkah sopan kepada orang lain). Sebaliknya, norma-norma abstrak menggambarkan orientasi yang lebih luas dan model-model dari tingkah laku yang kita inginkan, misalnya keadilan, rasa hormat dan persamaan.<br />Seseorang yang berhubungan dengan peraturan dan norma-norma sosial, dan kita sebut hal tersebut moralitas. Pengembangan dari moralitas seseorang bergantung pada dua jenis faktor. Ada beberapa yang berasal dari konteks sosio-budaya dimana kita hidup, dan yang membawa jenis nilai-nilai tertentu melalui kenormalan dan pengharapan sosial. Ada juga beberapa yang kita pegang didalam, yang struktur kognitif dan evolusionernya memperbolehkan kita untuk mengartikan pemahamannya dan akhirnya mengakomodasi stimulansnya yang datang ada kita dari luar.<br />Sebaliknya, tingkat dari pengembangan moralitas yang dicapai orang dalam masyarakat tertentu akan mempengaruhi moralitas sosial, memfasilitasi atau menghalangi pembangunan dari hubungan sosial yang berdasarkan kepada kemerdekaan, rasa hormat terhadap martabat manusia, dan keadilan. Orang-orang besar dengan pengembangan moral tinggi, seperti Socrates, Gandhi, Martin Luther King dan Nelson Mandela, telah sukses dalam mempengaruhi sejarah manusia secara meyakinkan.<br /><br />Norma-norma yang diperbantukan yang berpengaruh atas kehidupan sekolah: ketentuan sekolah dan nilai-nilai yang ada dibelakang mereka<br />Dari pengamatan sebelumnya menjadi jelas bahwa nilai-nilai menembus semua pernyataan tersebut dan tindakan-tindakan dari para guru dalam proses membawakan muatan akademis, dan dalam memanfaatkan waktu sekolah. Mereka berada dibelakang penekanan yang diberikan kepada persoalan atau tema tertentu, bagaimana pembelajaran dapat dievaluasi, pembagian persetujuan atau pujian diantara anak-anak dan hubungan informal. Tetapi, susah untuk menangkap mereka untuk menjelaskan pilihan-pilihan atas model-model khusus dari tingkah laku daripada yang lainnya. Kategori teori empiris pertama yang diungkapkan data kami, seperti yang dapat kita lihat dalam naskah berikut, merujuk pada norma-norma kongkrit. Hal ini hadir secara berkelanjutan di ruang kelas, baik dalam bentuk keterangan maupun nasihat secara eksplisit, dan dalam perhatian yang diberikan guru langsung kepada anak-anak.<br />Mengingat norma-norma sebagai ekspresi dari nilai-nilai, analisa dari para guru menunjukkan tingkah laku menjadi penting, sebagaimana hal ini menggambarkan nilai-nilai yang ditawarkan para guru kepada anak-anak dalam kehidupan sehari-hari disekolah.<br /><br />Guru: Apakah semua orang telah membuka halamannya untuk kegiatan matematika? Kita akan mengerjakan soal-soal tersebut bersama-sama karena beberapa orang tidak melakukannya dengan baik.kemana kamu hendak pergi Salvador? [Salvador berjalan kearah pintu]<br /><br />Salvador: melemparkan sampah ke keranjang sampah.<br />Nallely: Pak, bolehkah saya melanjutkan ke halaman berikutnya? [tidak ada jawaban]<br />Guru: Mari kita lihat. Efren, berikan itu padaku. [Efren dan Oscar sedang berada di depan lagi, duduk diatas tanah, bermain dengan selembar plastic dan kartu.] Ayo Lalo, kembali ke kursimu. Kamu juga, Efren.<br />Guru: [kepada seorang anak yang teralihkan perhatiannya] Ayo Fernando, sudahkah kamu mengerjakannya? Belum? Tahukah kamu halaman berapa yang akan kita tuju?<br />Sandra: Halaman 115.<br />Guru: Sekarang saya akan melakukan beberapa pembenaran dan saya tidak menginginkan adanya kesalahan apapun, jadi kita akan melakukannya bersama. Ini instruksinya. Kamu akan merubah unit-unit ke sepuluh dan puluhan ke ratusan. Siapa yang kamu tunggu, Christine? [berpaling pada seorang gadis yang diam tapi tidak memperhatikan. Dia melompat ketika dia mendengar namanya. Efren mulai bermain lagi dengan Oscar.]<br />Guru: Siapa yang bermain? Saya sudah mengatakan padamu untuk tidak membawa mainanmu kesekolah, atau kamu akan kehilangan mereka dan menjadi sebal.<br />Sandra: Pak, apakah jika itu sepuluh ratusan, kita bisa merubahnya juga, bukan?<br />Guru: Ya, tetapi kedalam bentuk apa?<br />Sandra: Ke… seribu.<br />Guru: Bagus sekali!<br />Pekerjaan mengenali norma kongkrit dalam catatan tersebut relatif mudah, tetapi norma abstrak nampak tersembunyi dalam semua hal ini. Heller mengakui bahwa norma abstrak nampak dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk pemberian nilai. Untuk mengenali mereka, kita perlu menganalisa bahasa guru, yang menunjukkan nilai mereka dengan jelas dalam keadaan tertentu.<br />Sehubungan dengan pandangan Heller, kita dapat mengatakan norma kongkrit dalam sekolah sebagai sebuah kumpulan tanggapan keharusan dan karakter secara umum, dimana pelanggaran akan mengarah pada tipe konsekuensi tertentu, dari mulai memiliki pelanggaran yang dikomentari (dimarahi) hingga benar-benar sangsi. Norma-norma kongkrit ini berhubungan dengan perilaku yang diharapkan dalam konteks tertentu seperti halnya sekolah, atau konteks lainnya dalam strata sosial atau kebudayaan tertentu. Norma abstrak, di sisi lain, adalah kiasan pada nilai-nilai yang melewati hal-hal berikut; tanggapan umum atas sifat transkultural seperti peingatan ‘jangan mencuri’, ‘katakan yang sebenarnya’ atau ‘berlakulah adil’, tetapi dimana sangsi dapat diberikan hanya ketika diartikan pada termin khussu dan norma-norma situasi atau lingkungan khusus.<br />Dalam proses menganalisa catatan, kami menemukan 1360 kiasan oleh para guru untuk menjauhkan norma-norma kongkrit. Kiasan-kiasan itu mengambil bentuk ‘panggilan perhatian’ (contoh ucapan-ucapan yang dibuat tentang pelanggaran peraturan) dibuat hingga 86 persen dari total, sementara 14 persen adalah ucapan atau saran dalam bentuk yang lebih umum. Hal ini menunjukkan kecenderungan para guru berasumsi bahaw pembimbingan tugas moral semata harnya karena reaksi kepada perilaku yang dianggap tidak pantas, bukanlah pada desakan atau yang menunjukkan kepentingan atas norma-norma.<br />Kami menganalisa lebih jauh termin-termin dari tipe kebiasaan murid yang diberikan kiasan, dan menyimpulkan bahwa sistem nilai yang ada di belakang ini semua terfokus pada kepentingan ‘peraturan’ dan secara khusus tiga norma dasar; tetap diam; perhatikan; bekerjalah dan tetap duduk di bangkumu.<br />1. Peraturan: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan kelakuan murid dalam kelas dan ruang kelas lainnya: 66 persen.<br />2. Rasa tanggung jawab atas kelalaian: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan kegiatan murid dan menyelesaikan tugas: 18 persen.<br />3. Rasa hormat: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan bagaimana murid menanggapi sesama muridnya: 6 persen.<br />4. Kebersihan: norma-norma kongkrit yang behubungan dengan perawatan dan kebersihan diri murid, buku-buku atau ruang sekolah: 6 persen.<br />5. Penghargaan atas kelalaian: norma-norma kongkrit yang berhubungan dengan bagaimana para murid menanggapi guru dan para orang dewasa lainnya: 4 persen.<br />Kami dapat memastikan bahwa ada pengiriman nilai-nilai, terutama melalui peraturan-peraturan kelakuan yang diterapkan sekolah kepada murid seperti yang diinginkan. Isi norma-norma memberikan informasi untuk mengenali tipe nilai-nilai yang dikirimkan kepada para murid. Bagaimanapun, kita perlu menanyakan apakah pengiriiman nilai kuno sekolah sama dengan pembentukan nilai-nilai abstrak. Apa yang membedakan kedua proses tersebut, dari sudut pandang pembentukan nilai-nilai moral?<br />Buktinya menunjukkan bahwa para guru menekankan norma-norma yang mengekspresikan nilai-nilai kongkrit yang terikat pada kebiasaan sekolah – peraturan, kebersihan, tanggung jawab sebagai kelalaian, dan penghargaan kepada orang dewasa sebagai kelalaian (katehori 1, 2, 4 dan 5 keatas). Norma-norma yang berhubungan kepada penghargaan atas orang lain dan barang milik mereka lebih kurang penting (kategori 3 keatas). Dapat dikatakan, 94 persen kiasan guru akan norma dikonsentrasikan pada peraturan kebiasaan sekolah, dimana 6 persen berhubungan dengan nilai-nilai abstrak.<br /><br />Bagaimana guru menerapkan kriteria<br />Dalam proses mengenali norma-norma abstrak dan kongkrit selama observasi ini, terbukti bahwa para guru bertingkah tak menentu. Terkadang mereka terus menerus meminta perhatian kepada para murid, tetapi lain waktu mereka membiarkan semuanya begitu saja. Hal ini menciptakan citra ‘relatifitas’ norma. Kami harus mempertimbangkan ‘konsistensi dalam penerapan norma-norma’ sebagai kategori fundamental ketika melengkapi gambar ‘kebiasaan normatif guru’.<br />Ada kebijaksanaan dalam penerapan norma-norma. Yakni, kita memiliki normatifitas dengan kehilangan batas dalam hal kebijaksanaan, dimana para guru dapat memutuskan murid mana yang diminta perhatian dan siapa yang dibiarkan.<br />Kebijaksanaan ini mungkin membantu menjelaskan kenapa kelakuan murid tidak berkembang dari kelas satu hingga enam, berdasarkan norma-norma yang sama. Sepanjang kategori yang beragam ini, kejadian-kejadian perilaku yang salah, dan seberapa banyaknya mereka dikomentari (dimarahi), selalu sama.<br />Dibalik semua ini, ada masalah yang dapat dijelaskan teori ini dalam hal pendalaman norma-norma. Menurut Heller, konsistensi penerapan norma-norma akan berpengaruh dalam menghasilkan peluang bagi para murid untuk mendalaminya. Dalam hal ini, Kohlberg menyatakan;<br /><br /> Penelitian pada etos moral menunjukkan bahwa seseorang memberikan respon terhadap kombinasi penalaran moral, aksi moral dan peraturan-peraturan institusional sebagai kesatuan, dalam hubungannya dengan keadaan moral mereka sendiri. (Kohlberg, 1992: 212)<br /><br />Tabel 2<br />Nama norma Direspon Diacuhkan Total Saran umum<br />¬¬¬Diam ketika bekerja/ memperhatikan 261 344 605 17<br />Perhatikan ketika bekerja/memperhatikan 202 128 330 4<br />Bekerja dan tetap duduk di bangku sendiri 160 143 303 22<br />Selesaikan tugas 78 51 129 7<br />Jangan bertengkar, berdebat dsb. 58 71 129 1 <br />Dalam hal ini, kedua isi norma kongkrit dan penerapannya penting sekali dalam pengembangan moral. Jika isi norma-norma kembali secara principal kepada kebiasaan lama sekolah, jika manajemen difokuskan dalam figur seorang guru, dan penerapan norma-norma ini berhubungan dengan kesewenangan pribadinya, kami memiliki masalah yang membatasi peluang untuk berpindah dari level ‘heteronomi’ kepada level ‘moral otonomi’. Dengan kata lain, para guru membuat hal ini sulit untuk berkembang dari tingkat pertama pengembangan moral kepada pengembangan pendalaman.<br /><br />Dimanakah norma-norma abstrak para guru dalam percakapan?<br />Adanya norma-norma abstrak dibuat menjadi jelas melalui komentar-komentar para guru yang diucapkan dalam lingkup nilai-nilai, ekspresi-ekspresi verbal dimana guru mengucapkan situasi yang diinginkan atau tidak diinginkan, atau tingkah laku tertentu yang lebih disukai orang lain, atau komentar-komentar terhadap tindakan tertentu sebagai baik atau buruk.<br />Sementara ada 1306 kiasan terhadap norma-norma kongkrit, hanya ada 33 kiasan terhadap norma-norma abstrak, sebuah perbandingan dari 39 ke 1. Hal ini mengungkapkan bahwa para guru jarang sekali merujuk pada isu umum yang universil seperti kejujuran, dukungan, penghargaan, kedaulatan, toleransi, kewajiban, kebebasan berkumpul, rasa hormat, rasa hormat terhadap hidup dan cinta.<br />Faktanya, 18 dari 26 guru yang diamati tidak pernah berkomentar terhadap tingkah laku diluar peraturan sekolah. Dari delapan lainnya, 70 persen komentar datang dari seorang guru.<br />Hal ini menunjukkan kelangkaan yang luar biasa dari jenis percakapan ini diantara para guru.<br />Norma-norma abstrak penting karena mereka menggambarkan kesempatan bagi anak-anak untuk bergerak diluar lingkaran ketentuan sekolah dan untuk bersinggungan dengan peraturan dan nilai-nilai abstrak seperti kemerdekaan, persamaan, dan rasa hormat terhadap martabat manusia. Itulah mengapa ada perbedaan besar antara membawakan peraturan sekolah dan menawarkan kesempatan, melalui dan diluar sistem norma sekolah, untuk membangun nilai-nilai yang lebih besar seperti keadilan.<br />Karakteristik utama yang kita kenali dalam penelitian kita adalah sebagai berikut:<br />a) Hal ini lebih berorientasi pada penyampaian peraturan sekolah, daripada nilai-nilai abstrak seperti rasa hormat.<br />b) Norma-norma sekolah berubah halauan ke sosok penguasa.<br />c) Penerapan ketentuan dari norma-norma, ditentukan oleh guru, memperkuat pendapat kerelatipan mereka, dan ketergantungan pada kekuasaan guru.<br />d) Adanya kekosongan dalam percakapan yang menyangkut nila-nilai seperti rasa hormat, keadilan dan penghargaan, yang berlawanan dengan sindiran-sindaran yang terus diberikan terhadap norma-norma kongkrit. Hal ini member kesan bahwa para guru sibuk menggerakkan hati anak-anak, sebuah tugas dimana mereka tidak pernah berhasil karena, diantara hal-hal lainnya, mereka tidak konsekwen.<br />e) Meskipun referensi tetap dari para politisi terhadap peranan sekolah dalam membantu mengembangkan moral umum dan nilai-nilai sosial seperti rasa hormat, keadilan, dan demokrasi, pedagogi tradisional dan badan sekolah menerapkan tingkah laku seperti tetap duduk, diam dan penuh perhatian kepada guru bisa menjadi hambatan yang sangat kuat terhadap pengembangan dari nila-nilai seperti bekerja sama, diskusi dan tanggung jawab, yang seharusnya diserap dalam dalam kehidupan sekolah.<br /><br />Bagaimana anak-anak mengalami perlakuan hormat yang sepatutnya di sekolah?<br />Kami juga mengamati sebuah perbedaan besar dalam cara guru memberikan norma-norma kongkrit dan abstrak kepada anak-anak. Para guru juga menyampaikan nilai-nilai melalui tatakrama dalam bagaimana mereka bertingkah laku terhadap anak-anak.<br />Kami menyebut ini sarana. Menganalisa jenis-jenis berbeda dari sarana menunjukkan sebuah jarak yang sangat besar, dari desakan sampai tuduh-menuduh, surat persetujuan terhadap hukuman badan, mengucapkan selamat pada penghinaan. Kami dapat mengenali tiga aspek dari perilaku tersebut yang dapat memperbesar, atau menghalangi, anak-anak dalam pengembangan moral.<br />Mereka menggambarkan kesempatan terhadap pendalaman norma-norma, melalui partisipasi dalam peranan.<br />Cara-cara dalam menguatkan norma-norma memainkan peranan penting dalam meningkatkan atau menghambat pengembangan otonomi moral, sesuai dengan penekanan relatip terhadap pentingnya norma-norma atau terhadap kekuasaan. Pendalaman menandakan pengenalan subyek dengan norma-norma, yang mengizinkan dia untuk menerima mereka sebagai pedoman tingkah laku pribadi tanpa mengalami tekanan luar.<br />Reaksi kasih sayang dari orang- orang dewasa disertai dengan beralasan dapat memfasilitasi pengertian dan kesesuaian dari peraturan sosial dan norma-norma moral. Penelitian sebelumnya mengenali bahwa reaksi kasih sayang yang terhubung dengan penjelasan dari pengertian norma-norma dan dipusatkan pada kebaikan seseorang dan hak-hak orang lain, dapat meningkatkan keefektifan dari beralasan karena hal itu membantu anak-anak mengenali bahaya atau ketidak-adilan yang disebabkan bagi orang lain. Walaupun, penelitian juga menunjukkan bahwa terlalu banyak paksaan atau kemarahan yang diarahkan kepada anak-anak ketika mereka mengamati norma-norma dapat menghalangi perhatian mereka terhadap perasaan orang lain. Kecenderungan menarik diri timbul dan menjadi terpusat pada diri sendiri ketika menerima jenis reaksi yang membahayakan ini disebabkan oleh orang dewasa yang kehilangan arah pandang tentang bahaya yang mereka tmbulkan bagi orang lain. (Smetana,2001:4).<br />Sebaliknya, Kohlberg dan Gibbs mengenali bahwa, melalui disiplin induktif, kesempatan dapat ditingkatkan dalam mengambil peranan, dengan kata lain, tempatkanlah dirimu dalam sepatu orang lain, menguatkan perasaan atau empati.<br />Dari kepentingan yang lebih besar dari faktor-faktor yang berhubungan dengan stimuli dari penetapan kognitif adalah faktor-faktor umum pengalaman sosial dan stimuli, yang kita sebut kesempatan-kesempatan yang dapat diambil. Sebuah peranan…Jika orang dewasa tidak memikirkan sudut pandang anak dapat dikomunikasikan dari sudut pandang orang dewasa. Percakapan adalah, dengan begitu, sebuah prasyarat dasar dalam meningkatkan pengambilan peranan (Kohlberg, 1992:209 10).<br />Sarana-sarana dapat menolong mambangkitkan konflik moral pada anak-anak dalam mengalami nilai-nilai rasa hormat dan keadilan.<br />Pengalaman sehari-hari dari bagaimana guru memperlakukanmu menciptakan rasa hormat dan keadilan dalam ruang kelas. Di lain pihak, beberapa anak dapat mengalami ketidak-adilan dan pelecehan dengan diperlakukan kurang baik dari yang lainnya.<br />Kutipan berikut ini menunjukkan bagaimana seorang guru memperlakukan seorang anak. Ia berdiri karena ukurannya (ia harus mengulang satu tahun, karena itu ia lebih tua dari yang lainnya), dan pakaiannya serta penampilannya menunjukkan bahwa keluarganya lebih miskin dari kebanyakan murid di kelas. Kita akan menyebutnya Daniel.<br />[Guru sedang menjelaskan bagaimana cara menggunakan buku teks. Ia menyela, menunjuk ke seorang anak laki-laki.]<br />Guru: Saya tidak suka kelakuan seperti babi di kelas saya. Hentikan itu dengan hidungmu. Jika kamu ingin pergi ke toilet, minta izinlah. Kamu ada di kelas satu tahun kemarin dengan Nona X. bukankah ia mengizinkanmu ke toilet?<br />Daniel: Tidak,,,<br />[seorang anak lelaki berdiri untuk menunjukkan pada gurunya gambar dibukunya]<br />Guru: Bagus sekali. [Ia kembali ke tempatnya. Beberapa anak berdiri, dan ia memuji mereka. Ia menunjuk kearah Daniel lagi.]<br />Guru: Baiklah, Daniel, apa yang tadi kamu bilang? Kamu bisa mengatakannya padaku. Kamu tidak memperhatikan. Kamu sibuk berbicara dengan anak lelaki lain. Baiklah, aku akan menduudkanmu di sebelah anak perempuan untuk emnghentikanmu mengobrol.<br />[Ia berpaling ke arah seorang lelaki yang diajaknya berbicara tadi, dan merubah nada suaranya.]<br />Guru: Ada apa, Luis? Tidakkah kamu tertarik pada apa yang sedang kita kerjakan di kelas? [Ia menundukkan kepalanya]…<br />Hal ini mengilustrasikan perlakuan tidak adil, yang akan berdampak pada ketidakhormatan padanya dari rekan sesamanya, yang mendapatkan rasa hormat yang tdak didapatnya. Apa yang akan Daniel pelajari, dalam hal nilai-nilai, dari pengalaman menjadi tontonan di depan kelas dan menerima perlakuan yang tidak adil? Dengan kata lain, dari sumber kedisiplinan guru yang diarahkan kepadanya? Dapat diketahui dengan baik bahwa kegagalan sekolah ataupun kesuksesannya dibantu perkembangannya dalam beberapa situasi.<br /><br />Norma-norma dan kekuasaan, sebagai penyelaras dalam menggolongkan sarana<br />Dengan menggunakan teori yang menyelaraskan kegunaan kekuasaan untuk menjalankan norma dan sebuah referensi pada norma itu sendiri, kita dapat menempatkan sarana dalam empat grup.<br />Grup 1: tinggi dalam (kognitif atau afektif) merujuk pada norma-norma, rendak dalam kekuasaan<br />Grup ini, misalnya, mengundang cerminan, mengajak anak-anak untuk memahami cara pandang orang lain, menjelaskan rasa dari sebuah norma, peringatan dari konswekensi, berbicara secara pribadi dengan anak.<br /> <br />Gambar 1<br />Ragam sarana ini membangkitkan kesempatan untuk mengambil peranan dan untuk memperdalam norma-norma kongkrit, membawa pada otonomi keadilan yang besar. Mereka juga disokong oleh referensi terhadap norma-norma abstrak dari rasa hormat kepada anak-anak, rasa hormat satu sama lain, dan menghindari diskriminasi antara orang lain.<br />Norma kongkrit: untuk tidak mengambil barang milik orang lain.<br />Sarana: menjelaskan alasan atas norma; membuat konsekwensinya terlihat.<br />[Guru meninggalkan ruangan sementara waktu. Jaime melompat ke atas meja dan mulai menari.]<br />Anak perempuan: Guru kembali.<br />[Guru kembali meamasuki ruangan dan melihat anak perempuan tersebut menangis. Dia mengatakan sesuatu diam-diam kepadanya. Anak lainnya duduk dengan cepat.]<br />Guru: Jaime, kamu pikir apa yang kamu lakukan itu benar?<br />[Jaime terdiam, dengan kepala menunduk]<br />Guru: Lihat, kamu merobek buku milik Juleta. [Ia memegang bukunya terbuka diatas meja yang dilompati Jaime. Jaime melihat halaman-halaman yang robek.]<br />Guru: Haruskah aku menukar bukumu? Haruskah aku memberikan bukumu pada Julieta dan memberikanmu bukunya?<br />[ia tetap diam, melihat kearah lantai]<br />Guru: Katakan maaf.<br />Jaime [pelan]: Aku minta maaf.<br />Guru: sekarang aku akanmembantumu memperbaiki buku Julieta. [Jaime membantu menempelkannya dengan perekat. Julieta berhenti menangis. Guru memberikan bukunya yang telah diperbaiki kembali, dan memberi Jaime bukunya kembali.]<br /><br />Sarana di grup 2 (rata-rata di kedua potongan)<br />Hal-hal ini masih berfokus pada norma-norma, tapi tanpa memberikan penjelasan yang diperlukan untuk memahaminya. Hal ini membuat pendalaman menjadi lebih sulit. Grup kedua ini bergantung pada rasa hormat unilateral, yang diarahkan pada guru. Namun demikian, hal ini tetap dapat membangun pada beberapa perluasan dari pentingnya keadilan, jika konsekwen. Contohnya: melaporkan tingkah laku kepada grup, menunjukkan tingkah laku yang tepat, menggunakan ekspresi wajah, membuat kegaduhan dengan sebuah benda, menerapkan suatu persetujuan yang telah diancamkan sebelumnya.<br /><br />Kelas 3. Norma kongkrit: menunjukkan kesopan-santunan pada pendatang dan menyelesaikan tugas.<br />Sarana: menunjukkan tingkah laku yang sesuai dan menyebutkan anak, menunjukkan apa yang diperlukan.<br /><br />[Seorang dewasa memasuki ruangan. Anak-anak tetap duduk di kursi. Guru berpaling ke kelas.]<br />Guru: Ketika seseorang datang, kita sambut dia.<br />Anak-anak [menyapa dalam paduan suara]: Selamat pagi, bu.<br />[Guru tetap menulis di papan tulis. Dia berhenti menulis dan berkata]<br />Guru: mariana, mulai mengerjakan, Mariana.<br />[Ia mendadak berpaling ke anak lelaki lain.]<br />Guru: Apakah kamu sudah selesai? Kerjakan itu.<br /><br />Grup 3: cukup rendah dalam referensi terhadap norma, cukup tinggi berkenaan dengan bentuk kekuasaan.<br />Disini ada referensi eksplisit terhadap ari guru sebagai seorang parameter untuk menunjukkan tingkah laku apa yang tidak sesuai, memberikan pesan bahwa norma tersebut penting karena guru berkata demikian, atau bahwa hal itu berlaku pada beberapa tapi tidak pada yang lainnya. Referensi kepada guru membangun sebuah ketetapan tertentu. Hal ini tidak berperan banyak dalam membangun nilai keadilan atau rasa hormat. Contohnya: menyalahkan atau mendorong orang lain untuk menyalahkan, menyinggung karakter pribadi anak, mengekspresikan ketidak-sukaan pribadi terhadap kesalahan, kegagalan untuk ikut campur.<br />Kelas 1: Norma kongkrit: tidak memperdayakan mereka dalam kekuasaan, untuk tetap diam.<br />Sarana: menandakan tingkah laku yang tepat, menyebutkan anak-anak yang menunjukkan tingkah laku yang tepat.<br />[Guru membawa seorang anak lelaki dan perempuan ke depan, dan berpaling ke arah anak perempuan.]<br />Guru: Aku tidak suka kebohonganmu. Kau memukul dia!<br />[Dua anak tersebut duduk. Guru berpaling keseluruh kelas.]<br />Guru: Kalian diizinkan untuk berbisik kepada rekanmu. Aku tidak suka diam-diam, tapi jangan berbicara keras-keras atau berteriak. Kalian sudah tahu aku tidak menyukainya. Berbisiklah.<br />Grup 4: Sangat rendah dalam referensi normative, sangat tinggi dalam referensi kekuasaan.<br />Grup ini termasuk sarana yang berdasarkan pada paksaan dalam penggunaan kekuasaan, sebagai sebuah sumber utama dalam memaksakan norma-norma. Pengertian dari norma tersebut berkurang sekali, dibandingkan dengan penggunaan paksaan oleh tokoh yang berwenang. Hal ini kekurangan rasa hormat bagi anak-anak. Cara yang digunakan membahayakan martabat pribadi anak-anak dan tidak menghormati hak-hak mereka untuk mendapatkan perlakuan adil. Hal ini sendiri membangun sebuah ketidak-adilan, keadilan apapun dari menghukum yang bersalah. Dengan mempertebal referensi pada kekuasaan sebagai alat untuk memperkuat norma-norma dan kepatuhan, karena rasa takut akan hukuman, tidak hanya hal itu tidakmeningkatkan, justru hal itu menghalangi kesempatan-kesempatan untuk memperdalam pengertian dari norma-norma. Contohnya: berteriak, sindiran tajam, tuduh-menuduh, mengancam, menghina, menunjukkan anak ke kelas, membuat komentar pribadi, memukul.<br /><br />Kelas 2. Norma kongkrit: tidak membuang sampah<br />Sarana: berteriak dan mengancam<br />[Guru kembali ke ruang kelas dan berpaling ke kelas, berteriak.]<br />Guru: Aku tidak mengharapkan kalian bertingkah seperti babi. Kelas ini bukan kandang babi. Rapihkanlah atau kalianakan menyesal ketia aku kembali nanti! [Dia keluar lagi.]<br /><br />Menggunakan rasa hormat pada anak-anak dan kekuasaan guru sebagai penyelaras dalam memahami ekspresi kasih sayang oleh guru.<br />Sebagaimana mungkin untuk mengenali jenis-jenis sarana yang berbeda dalam menyinggung pada norma-norma kongkrit dan abstrak, kita juga menjumpai jarak yang besar dari ekspresi kasih sayang yang diberikan para guru kepada anak-anak, yang telah kita definisikan sebagai: bahasa tubuh dari perhatian dan ketidak-perhatian kepada seseorang; kebutuhan; permintaan; permasalahan atau penyesalan dari anak-anak, baik dalam ucapan maupun ekspresi non-verbal. Ekspresi kasih sayang menyempurnakanfungsi dari memberikan nada yang jelas pada interaksi sehari-hari antara guru dan murid. Kehadiranya yang terus menerus adalah hal yang menjadikannya penting, bahkan jika hal itu hanya berupa bahasa tubuh yang halus dan sederhana, seperti kesopan santunan dasar, melihat ke arah mereka, berbicara dengan mereka, mendengarkan dengan penuh perhatian kepada anak-anak atau menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.<br /> <br />Gambar 2<br />Ekspresi kasih sayang bergerak dalam rangkaian kesatuan dari perhatian yang paling besar sampai ke yang paling kecil dari guru pada anak-anak sebagai manusia, kebutuhan atau permintaan spesifik mereka. Menggunakan perpotongan perhatian terhadap anak-anak dan penggunaan kekuasaan, kita dapat menyusun hal-hal ini dalam cara yang sama dengan sarananya.<br />Grup 1: tinggi dalam perhatian kepada anak-anak, rendah dalam kekuasaan<br />[Kelas 1: Guru bersiap-siap untuk memulai pelajaran.]<br />Guru: Apakah ada sesorang disini yang punya sebuah drum? [Ia menekankan]<br />Drum itu untuk apa?<br />Juan: Untuk bermain!<br />Guru [Bersalaman dengan Manuel]: Aku senang bahwa Manuel tidak menggangu Juan. [ Anak lelaki disebelahnya tadi berbicara, tapi Manuel tidak ikut bergabung.]<br />Guru: Drum itu untuk apa? Untuk bermain?<br />Luisa: Ayahku adalah seorang musisi dan dia bermain drum.<br />[Guru terlihat sangat senang mendengar hal ini.]<br />Guru: Kemarilah, Luisa, majulah ke depan.<br />[Ia meletakkan tangannya pada bahunya, berdiri dan menghadap kearahnya.]<br />Guru: Bisakah kamu mengatakannya keras-keras, jadi semua orang bisa mendengarmu?<br />Luisa: Ayahku adalah seorang musisi, dan ia bermain drum.<br />Guru: apakah kalian dengar itu? Ayahnya adalah seorang drummer. Terima kasih Luisa, kamu boleh duduk.<br />[Guru memulai penjelasan]<br />Guru: Hari ini aku akan mengatakan pada kalian sebuah cerita tentang seorang anak perempuan. Donna memiliki sebuah drum. Ia sangat senang datang ke sekolah…<br /><br />Grup 2: ekspresi kasih sayang dalam menanggapi pertanyaan anak-anak tepat pada waktunya (rata-rata dalam kedua perpotongan)<br />[Kelas 2: Anak-anak sedang menggambar dan menempelkan gambar dalam buku mereka.]<br />Anak perempuan: Lihat, Bu. Aku telah selesai menggambar milikku.<br />[guru pergi melihat]<br />Guru: Sekarang tempel.<br />Anak perempuan lainnya: lihat gambarku, bu guru.<br />[guru membetulkan bentuknya sedikit]<br />Guru: Sekarang tempel.<br /><br />Grup 3: ekspresi-ekspresi berpengaruh yang menyindir kepada orang dari gurunya, atau tingkah bijaksana sebagai cara memperhatikan keinginan murid (rendah akan referensi pada murid, tinggi akan referensi pada guru)<br /><br />[Kelas 4: seorang anak lelaki berdiri dan berkata sesuatu dengan pelan kepada guru]<br />Guru: Tidak, saya belum setuju.<br />Anak lelaki: Tetapi anda bilang padaku kalau saat anda kembali…<br />Guru: Saya yang memutuskan siapa yang boleh keluar.<br />Anak lelaki: Pak, sekarang giliranku!<br />Sandra: Pak, ini giliranku! [Dia menuju pintu]<br />Teacher: Duduk. Sekarang toilet sedang dicuci.<br />Sandra: Tidak masalah. [Keluar.]<br />[Beberapa menit kemudian, Sandra kembali. Guru tidak berkata apapun mengenai kepergian Sandra.]<br /><br />Grup 4: ekspresi-ekspresi yang berdasarkan pembebanan atau penggunaan kekuatan dalam hubungan dengan permintaan murid (sangat rendah dalam perhatian pada murid, sangat tinggi dalam otoritas)<br />[Kelas 2]<br />Guru [berteriak]: Saya (=I) harus ada di atas kalian jika saya (=I) ingin kalian bekerja! Duduk! [Murid-murid berlarian ke kursinya.]<br />[Guru pergi ke papan tulis dan menulis ‘I’ (=saya).]<br />Guru: Lihat, ikuti aku, tangan yang benar, atas, bawah, atas, bawah …<br />Murid lelaki: Bu, aku merasa mual.<br />Guru: Kamu bicara terus, bagaimana kamu berharap bisa keluar.<br />[Guru menghampiri murid lelaki itu, dan memaksanya dengan tangannya.] [Guru berpaling ke si pencari dan berkat]: Yang ini akan gagal, dia tidak bisa membaca! [menunjuk ke si anak lelaki.]<br />Guru: Benar, Julian? [Meletakkan tangannya di pundak Julian. Anak itu tidak berbalik, tetap serius, melihat bukunya.]<br />Guru: Dia benar-benar perlu melakukannya. Dia memang beban. Saya tak dapat membuat keajaiban [si murid lelaki terus mencoba membuat ‘I’.]<br />Agnes Heller membedakan antara apa yang dia bilang ‘pengutamaan’ dan ‘perseorangan’. Semua perseorangan dikarakteristikan oleh gambaran moral tertentu yang dicerminkan dan dikembangkan secara otonomi (Heller, 1999: 156). ‘pengutamaan’, di lain sisi, membawahi keinginan-keinginan, hasrat dan aspirasi terhadap tuntutan sosial yang diterima secara spontan.<br />Argumentasinya adalah bahwa kamu hanya bisa benar-benar menjadi ‘perseorangan’ jika kamu bergerak diluar tingkah laku yang hanya menuruti kata hati, bagaimanapun uniknya. Kamu perlu menggunakan nilai-nilai yang kamu pilih untuk diikuti untuk memisahkan dirimu sendiri dari emosi-emosi dan pencerminannya.<br /> Dikotomi yang jelas antara perasaan dan alasan berasal dari fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan ‘perseorangan’ lebih tercermin daripada yang ‘terutama’, karena mereka terhubung dengan asumsi kesadaran dari tanggung jawab pribadi dan karena pra-syaratnya adalah pengetahuan-pribadi dan latihan-pribadi. (Heller, 1999:221)<br />Hanya 5 persen guru yang kami amati cenderung untuk menggunakan sarana-sarana dalam grup pertama, dengan kata lain, mereka yang secara terus menerus diperkuat dengan pentingnya norma-norma. Mayoritas lainnya cenderung bertahan dalam grup 2, membuat kerangka sindiran terhadap norma-norma yang tak terpenuhi, dan dikuatkan kembali secara besar. satu dari tiga guru terjebak dalam sarana jenis 3 dan 4, berdasarkan penggunaan kekuasaan dan paksaa. Belajar untuk mengartikan dan mengikuti tanda-tanda perubahan dari bentuk kekuasaan melemahkan kemungkinan pencerminan terhadap pentingnya norma, dan menjadi positifterhadapnya, membawa pada pendalaman.<br />Dalam hal ekspresi kasih sayang, kami memiliki kecenderungan untuk mengikuti anak tapi dalam cara yang berubah-ubah dan tidak konsisten. Hal ini sama dengan orientasi yang mengikuti kata hati dalam perilaku kasih sayang yang merupakan bagian dari guru, yang akan lebih dipersoalkan kepada kebesaran pemikirannya atau lingkungan tertentu daripada kepada paraturan tingkah laku yang dipilih secara pribadi. Akhirnya, dapat dirasakan bahwa para guru bertingkah laku sesuka mereka terhadap anak-anak. Sekolah yang kekurangan kode-kode etik praktek seputar pertanyaan-pertanyaan ini, adalah sebuah isu yang perlu dipikirkan para guru dalam diskusi kemahasiswaan.<br /><br />Mitos dan Perumpamaan<br />Dua gambaran dimunculkan untuk membantu menjelaskan persoalan-persoalan yang kami amati. Kami menyabut salah satunya ‘Mitos Sisyphus’ dan yang lainnya “perumpaan yang tidak diterpakan di sekolah’.<br />Mitos Sisyphus<br />Bagi para guru, perangkap yang berkenaan dengan sarana-sarana berdasarkan pada kekuatan atau dorongan yang ada dalam penyia-nyiaan besar dalam mengangkat batu yang sama lebih dari seribu satu kali, merasakan setiap waktu bagaimana sia-sianya hal tersebut. Kegunaan dari jenis sarana ini adalah untuk ‘menjaga kelas tetap tertib’ dan yang mereka pahami sebagai ‘nilai-nilai keadilan seperti, tertib, rasa hormat dan tanggung jawab’ sama seperti perjuangan dari Sisyphus. Mereka tidak berhasil, tapi tetap percaya padanya. Tidak hanya ini: semakin mereka menggunakan semacam sarana yang tidak mencukupi untuk ‘menghitung’ norma-norma tertentu pada anak-anak, semakin jauh mereka dari tujuan akhirnya. Seorang guru mengekspresikan hal ini dengan jelas ketika berbicara pada seorang anak tentang rasa hormat:<br />Aku telah mengatakan padamu apa yang harus kamu lakukan. Kenapa kamu tidak melakukannya? Dan aku mengatakan padamu minggu lalu, dan aku harus terus mengatakannya padamu. Akankah ini akan pernah berakhir?<br />Sebaliknya, apa yang mungkin berjalan hanyalah hal yang malas dicoba oleh kebanyakan guru: untuk memberikan anak-anak sebuah rasa yang hidup dari kedua nilai-nilai abstrak yang penting bagi perkembangan, rasa hormat dan keadilan mereka.<br /><br />Perumpamaan yang tidak diterapkan di sekolah<br />Kami mendengar seorang guru menerangkan kepada kelas:<br />Perhatian, anak-anak. Mereka bilang kita seharusnya tidak menggunakan contoh-contoh religi dalam sekolah umum, tetapi ini ada sebuah contoh yang bagus dari Injil. Dalam Injil, Jesus meninggalkan jemaahnya untuk mencari domba yang hilang. Tapi perumpamaan ini tidak diterapkan disekolah. Guru tidak dapat meninggalkan kelas hanya untuk membawa seorang anak kembali ke kelas.<br />Alasan disini berkenaan dengan ketidak mungkinan membawa kembali anak-anak yang tertinggal di belakang. Argument dari banyak orang yang bertentangan dengan ini bertabrakan: pendidikan kelas lebih penting, karena mereka banyak, daripada satu orang anak saja. Cara berpikir ini membenarkan kebijaksanaan dari ‘membiarkan jatuh’ siapa yang ‘dibawah rata-rata’. Tetapi ini adalah kekurangan dari argument tersebut: tindakan seperti ‘membiarkan anak yang dalam beberapa cara tidak beruntung, jatuh dibawah beratnya sendiri’. Analisa dari ekspresi kasih sayang, sebaliknya, menunjukkan bahwa kegagalan tersebut sering dipicu dan diperdalam.<br />Fenomena ‘Efek Pygmalion’ ini telah dipelajari lebih lanjut. Harapan guru mengenai apa yang dapat dicapai seorang anak, positif atau negatif, memiliki konsekwensi serius terhadap hasil akademis tetapi juga terhadap pengembangan moral. Kami memiliki banyak contoh mengenai bagaimana tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata mengenai ketidakmungkinan dari mencurahkan perhatian khusus. Mereka bertindak berlawanan dengan kemungkinan mempersatukan seorang anak, menguatkan bahwa dia tidak berhak mendapat perlakuan yang sama dengan yang lainnya karena dia memiliki lebih banyak masalah dalam memahami soal.<br />Perangkap apa yang berkenaan dengan ekspresi kasih sayang disasarkan kepada pengabaian atau salah perlakuan dari sudut pandang pengembangan moral anak? Bayangan ini berakar dalam penglihatan para guru terhadap sesuatu persoalan jauh yang ditimbulkan atau diperkuat oleh tindakan mereka sendiri. Sementara mereka terus menerapkan metode ‘perbaikan’ yang secara emosional membahayakan, tidak hanya hal ini tidak berhasil, tetapi pencapaian anak tidak berubah atau bertambah parah, ketika kepercayaan-diri menurun disebabkan oleh pengalaman-pengalaman atau kurangnya rasa hormat atau penghargaan atau penurunan kesalahan perlakuan.<br />Mengatur proses pengajaran: daerah istimewa untuk meningkatkan cerminan akademis dan moral anak-anak.<br />Ruang untuk cerminan dalam kelas<br />Catatan kami menunjukkan banyaknya cara bagaimana muatan akademis di masukkan: mencontoh teks; latihan menulis; mencontoh dan menjawab pertanyaan; membaca karangan dan menjawab pertanyaan secara oral; melakukan percobaan; meletakkan pertanyaan yang menuntun kepada pemikiran; atau mengadakan diskusi. Pertanyaannya kembali kepada hal ini: hubungan apakah yang dimiliki metode mengajar dengan nilai-nilai ini?<br />Ketika para guru menawarkan anak didik sebuah kesempatan untuk memikirkan masalah, baik pemikiran masalah akademis ataupun nilai-nilai, tetapi seringkali mereka berhubungan. Dengan pemikiran akademis, maksud kami adalah guru tersebut menolong anak didik untuk berpikir melalui muatan kulikuler dari sudut pandang kognitif, dalam hal pemahaman, analisa, sintesa, penerapan, pengurangan konsekuensi, atau pengiriman ide kepada situasi lainnya. Sebuah pemikiran pada nilai-nilai dapat didasarkan pada muatan kulikuler atau contoh kehidupan nyata, namun secara jelas menuju kepada diskusi kongkrit atau norma-norma abstrak.<br />Dalam penelitian kami, dari 181 rekaman, hanya 13 (7%) termasuk ‘pemikiran akademis’ dan 13 (7%) lainnya pada masalah nilai-nilai. Delapan puluh enam persen catatan kami tidak berisi satu pun dari kedua hal itu. Melihat waktu yang dihabiskan, ketidakcocokan proporsi terlihat lebih ekstrim, dan hanya 5 persen dari seluruh waktu, selama pemantauan kami, termasuk pemikiran macam apapun.<br />Lebih dari itu, sebagai momen istimewa pemikiran, urutannya memberikan para guru kesempatan untuk memberikan komentar pada situasi atau kebiasaan yang diinginkan maupun tidak, atau etika-etika dari tindakan-tindakan tertentu. Pendapat akan nilai memiliki fungsi penting dalam susunan nilai-nilai. Ada cara dalam mengekspresikan norma-norma absrak, dan bukan hanya peraturan-peraturan spesifik. Hal ini merupakan isi kognitif dari nilai-nilai, dan menawarkan anak kesempatan-kesempatan untuk mengenali keteledanan tertentu yang telah dibangun manusia sepanjang sejarah, dan yang dapat nilai-nilai referensi sebagai pedoman tindakan kita.<br />Melalui pendapat akan nilai, kita dapat memperoleh hubungan dengan tinkat pemikiran yang tertinggi yang telah dicapai guru, sejak mereka mengkekspresikan norma-norma abstrak yang telah didalami individu. Hal ini, pada gilirannya, akan memperjelas posisi guru telah diadopsi guru dalam pembangunan moral perseorangan, dengan memilih nilai-nilai tertentu. Karena kedewasaan dan otoritas seorang guru, penilaian ini penting sekali untuk anak didik, bersamaan dengan argumen yang menopangnya, yang harus diformulasikan dengan referensi kepada nilai-nilai abstrak.<br /><br />Grup 1<br />Ada tingkat artikulasi dan argumen rasional yang tinggi mengenai norma-norma, dengan penggunaan orotitas yang rendah untuk menopang posisi tertentu. Debat moral digalakkan dan pemikiran dibalik pendapat akan nilai-nilai didiskusikan. <br />[Tema kelas 6: kedaulatan, kelas kewarganegaraan – ini adalah hasil kutipan dari diskusi.] <br />Guru: Dapatkah kamu pikirkan waktu ketika Meksiko mempertahankan kedaulatannya?<br />Murid: Ya, peperangan Puebla.<br />Guru: Bagus sekali.<br />Murid: Invasi oleh Amerika.<br />Guru: Bagus sekali, 1847. Tetapi anggaplah, sebagai contoh, seorang presiden negara lain ingin menguasai negara kita, tanpa persetujuan Meksiko, apakah perbuatannya akan menentang kedaulatan kita?<br />Semua murid: Ya.<br />Guru: Dan jika negara-negara lainnya ingin mengambil minyak kita dan Meksiko memprotes, akankah kita membela kedaulatan kita?<br />Semua murid: Ya, tentu saja.<br />[Guru perlahan membacakan sebuah kalimat dari buku: ‘Kedaulatan dilatih melalui demokrasi.’]<br />Guru: JIka kita tidak memiliki pemerintahan berbentuk demokrasi, akankah kita memiliki kedaulatan?<br />[Semua murid diam. Mereka berpikir.]<br />Guru: Saya beri contoh. Jika seorang raja yang memerintah negaranya, dapatkah negara lainnya menjajah dan tidak menghormati kedaulatan negara tersebut karena diperintah oleh seorang raja?<br />Murid: Sekalipun berbentuk kerajaan, tetap ada kedaulatan.<br />Guru: Kedaulatan membela cara hidup kita dan seluruh negara bisa mempertahankan kedaulatannya. Apakah kau percaya bahwa Amerika harus berperan dan memecahkan masalah di Chiapas?<br />Semua murid: Tidak.<br />Guru: Jadi kedaulatan berari sebuah negara harus menyelesaikan masalahnya sendiri karena hal itu adalah otonomi negara tersebut…<br /><br />Grup 2<br />Pandangan nilai-nilai, dalam bentuk kongkrit, didukung tanpa alasan mengenai norma-norma abstrak atau nilai-nilai yang berhubungan. Karena norma-norma abstrak tidak dijelaskan, keberpihakan pada otoritas cenderung meningkat.<br />[Kelas setelah istirahat: hadiah ketepatan waktu.]<br />Kepala: Kami memberi selamat kepada para murid di kelas 3 karena telah memenangkan hadiah ketepatan waktu. [Dua perwakilan datang untuk menerimanya.]<br />Hadiahnya bukan hanya laskar ini, hadiah sebenarnya akan lebih baik setiap harinya. [Semua murid diminta untuk berjalan dengan tenang kembali ke kelas.]<br />Grup 3<br />Pandangan nilai-nilai berdasarkan kepercayaan religius para guru. Di sini ada sindiran kepada otoritas yang cukup tinggi dengan alasan yang terbatas. Alasan-alasan tersebut tidak dijelaskan tetapi malah dogma atau afirmasi yang ditarik dari ketaatan pribadi akan sekumpulan kepercayaan spesifik. Dengan jelas, guru dan kepercayaannya adalah sumber yang menghasilkan otoritas untuk mempertahankan keabsahan penilaian akan norma-norma. Penilai ini berdasarkan perspektif pengakuan.<br /><br />[Kelas 3]<br />Guru: Resiko apakah yang ada dalam hubungan seksual diluar pernikahan?<br />Murid: Aborsi, pak.<br />Murid: Wanitanya bisa hamil dan prianya meninggalkannya atau mereka menikah tetapi pria itu meninggalkan mereka kemudian.<br />Murid: Tetapi kalau mereka menikah, pria itu tidak boleh meninggalkan anak istrinya, pak.<br />Guru: Melakukan hubungan seksual dan memiliki anak dalam pernikahan adalah sebuah karunia, tetapi di luar pernikahan …<br />Ada contoh di mana penilaian didasarkan pada kepercayaan religius guru, yang diekspresikan tanpa alasan mengenai kekhususannya. Formulasi itu mengundang persetujuan lebih dari pemikiran. Tiak ada kesempatan untuk para murid menekankan ide-ide mereka sendiri melalui analisa, diskusi, kontes atau pemberian alasan-alasan seputar norma-norma abstrak. Itulah batasan utnuk perkembangan moral para murid.<br /><br />Grup 4<br />Penilaian norma-norma berdasarkan informasi yang tidak tepat atau tidak lengkap. Ada sindiran kepada figur yang berwenang di sini, guru, dengan perluasan alasan-alasan yang paling rendah untuk menopang penilaian akan norma-norma, bedasarkan informasi yang tidak tepat atau tidak lengkap. Inilah kenapa hal ini tidak memberikan para murid kesempatan untuk mendalai kepentingan norma-norma dan membangun otonomi, tetapi hanya untuk melekatkan kepada posisi dimana otoritas mewakili dan dicoba untuk dipaksakan. Karena alasan-alasan mengandung kekeliruan, informasi yang tidak lengkap atau tidak tepat, mereka menyampaikan pesan dalam bentuk norma-norma abstrak yang salah kepada para murid.<br /><br />[Kelas 6]<br />Guru: Kamu percaya bahwa kita sedang berada di teknologi yang sama dengan USA?<br />Murid-murid: Tidak<br />Guru: Sayangnya negara-negara industry akan selalu mengambil keuntungan dari kita.<br /><br />Guru ini menyatakan bahwa negara-negara berkembang akan selalu mengambil keuntngan dari negara seperti Mexico. Ia tidak menkontekskan masalah pengembangan, dengan informasi yang membuat murid-murid mengerti bahwa ini bukan merupakan masalah ‘pekerjaan’ tetapi hubungan yang tidak sama antara negara-negara, yang dibentuk sepanjang sejarah.<br />Kesimpulannya, sarana-sarana dari norma-norma abstrak, seperti halnya norma-norma kongkrit, memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi pengembangan moral, membawa anak-anak berkenaan dengan cara-cara sindiran tentang tingkah laku dan hidup yang mereka pikir lebih baik dari yang lainnya. Jika informasinya lengkap dan memiliki alasan yang bagus, dan dibawakan melalui dialog dan debat autentik, mungkin akan ada tanya jawab mengenai nilai, yang akan membantu murid-murid dalam membangun nilai-nilai abstrak. Jika hal ini tidak terjadi hanya akan membawa sangkaan dan kepercayaan berdasarkan kekuasaan, tanpa membangun baik kemampuan anak-anak untuk berpikir, dan ini akan secara negatif mempengaruhi perkembangan moral mereka.<br />Pemikiran dan tingkah laku dalam kelas<br /><br />Akhirnya, suatu penemuan yang menjadi sangat jelas dalam penelitian ini adalah bahwa setiap kali para guru meningkatkan penanganan muatan kurikulum tertentu ke tingkat pemikiran, penyimpangan anak-anak terhadap norma-norma kongkrit sekolah menurun drastic, dan dalam beberapa kasus berhenti sama sekali. Ketika kita membandingkan kesalahan perilaku sebelum dan semasa urutan pemikiran, kita mendapatkan data yang tetap: ketika guru memberi murid-murid kesempatan untuk berpikir, ada kecenderungan nyata untuk mengurangi atau menghilangkan pelanggaran dan kegagalan dalam mengikuti norma-norma.<br />Sama halnya dengan kesempatan akademis dan etika pemikiran, anak-anak memperoleh pelajaran praktis dalam bagaimana membangun partisipasi, kerjasama dan rasa hormat dengan cara bekerja dalam grup, atau secara bergantian merekan belajar perseorangan dan kompetisi dlam jenis tugas lainnya.<br /><br />Nilai-nilai dalam praktek pedagogi dan pertanyaan-pertanyaan terhadap kualitas dan keadilan sekolah<br />Ada hubungan jelas antara isu mengenai tingah laku para guru dalam menghormati pengembangan moral ini dengan sebagian besar jurusan dari aktifitas sekolah seperti proses kurikulum, kualitas dan keadilan pendidikan, pendidikan guru, manajemen dan susunan sekolah.<br />Pengulangan secara terus menerus dari peraturan tentang perilaku normative, dan dari reaksi kasih sayang dan praktek pedagogi dari para guru, memberi kesan bahwa ka harus melihat tdak hanya pada prseorangan tapi juga pada institusi dimana mereka telah bersosialisasi secara professional dan dimana mereka bekerja dari hari ke hari. Beberapa temuan dari budaya sekolah seolah-olah mengekspresikan dengan rapi nilai-nilai yang telah dibangun bersama sepanjang waktu. Cara-cara yang relatif stabil dalam menetapkan prioritas, proses pelaksanaan, membangun dan memenuhi semua norma-norma tak tertulis tertentu (secara sukarela oleh semua pihak), rutinitas dan ritual kerja dalam kelas, tradisi yang dijaga, cara-cara biasa dalam menyelesaikan konflik, cara-cara berhubungan dengan sesama, atau dengan yang berwenang dan orang tua, semua merupakan ekspresi-ekspresi dari budaya sekolah yang membawa nilai-nilai nyata. Hal ini memberi kesan bahwa kita perlu memikirkan mengenai prose manajemen dan mengenali bahwa budaya institusi dari sekolah mempengaruhi praktek-praktek tertentu.<br />Masalah praktek dalam kelas, persamaan dan nilai-nilai adalah masalah-masalah yang dikumpulkan ke dalam penanganan murid. Kami melihat contoh-contoh kebiasaan tidaksetara terhadap murid yang berbeda karena penampilan fisiknya, kedaan sosioekonomi atau kecepatan belajar. Murid-murid yang tertinggal itu mungkin sekali menerima perlakuan tidak dianggap, dituduh, diteriaki atau persalahkan begitu saja. Masalah-masalah ini telah dipelajari dengan mendalan, tetapi melihat masalah-masalah ini dari sudut pandang kontribusi moral terhadap penunjukkan bagaimana guru-guru secara tidak sadar menciptakan atau meningkatkan ketidakberuntungan diantara murid-murid yang dirugikan. Konsep ‘sarana’, seperti halnya ekspresi-ekspresi berpengaruh, menunjukkan bagaimana tujuan persamaan diperburuk oleh kebiasaan kelas. Hal ini wajah tersembunyi dari nilai-nilai yang dilakukan oleh guru. Kordinat berdasarkan teori ‘arti dari sebuah norma’ dan ‘penggunaan otoritas’ membantu kami membuat perbedaan dalam menilai dan merubah apa yang terjadi dalam sekolah-sekolah kami. Penelitian kami menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam praktek kelas, dan pertanyaan-pertanyaan kualitas dan persamaan dalam institusi sekolah berakar di sekitar masalah bagaimana murid diperlakukan. Hal ini sangatlah penting dalam mengerti jalur keberhasilan atau kegagalan murid, dan diwaktu yang sama dalam memahami bagaimana murid mengalami kehidupan sehari-hari di sekolah, dan kehadiran atau kealpaan rasa hormat dan penghargaan.<br />Urutan yang berhubungan dengan pemikiran memang penting dalam hal kualitas pendidikan dan pembangunan moral. Pembangunan moral yang tinggi dalam memfasilitasi pemikiran sistematis, baik tentang muatan kurikulum maupun situasi keadaan sehari-hari. Hal ini penting tidak hanya untuk keberhasilan akademis saja, tetapi juga karena hal ini menawarkan peluang pembentukan pola pikir anda sendiri dan meningkatkan peluang anda akan kesuksesan dalam hidup dalam masyarakat. Pemikiran adalah alat yang kuat untuk kehidupan sosial dan pribadi, baik dalam hal kepantasan maupun akademis. Dalam pemikiran ini, kita juga harus berpikir tentang bagaimana para guru dapat membangun pemikiran matang mereka dalam pendidikan guru yang penting dan pembangunan profesional yang berkelanjutan sehingga mereka dapat berpindah dari instruktur menjadi guru-guru yang berbicara dua arah.<br />Bukti bahwa apa yang ditawarkan guru dalam hal nilai-nilai berakar dalam kebiasaan normative mereka (pengaruh dan pedagogis) memberi kesan bahwa nilai-nilai pada praktek-praktek dalam kelas merupakan ekspresi sehari-hari dari pengembangan moral olej guru. Kita dapat melihat hal ini diartikan dalam peraturan-peraturan, cara-cara memperlakukan anak-anak dan penekanan pengajaran. Hal ini merupakan sebuah isu untukpendidikan guru, dan untuk para professional yang berpengalaman. Hal ini seharusnya membuat kita berpikir” jenis perlakuan apa (dalam hal menghormati ide-ide dan pengalaman mereka sebelumnya sama seperti apakah kepandaian dan sensitifitas mereka tertantang dalam pekerjaan mereka) yang diterima para guru dari tempat kerja mereka, badan professional mereka, dan dalam pendidikan guru mereka sebelumnya dan pengembangan professional? Bagaimana mereka diajak untuk terlibat dalam beragam proyek yang bertujun untuk memperbaiki pendidikan? Apa yang hal ini katakan mengenai rasa hormat?<br />Sehubungan dengan nilai-nilai dan pengembangan sekolah, bermacam-macam pertanyaan untuk mendukung pengembangan visi moral para guru menggabungkan bentuk-bentuk yang mungkin dari penyelidikan dan intervensi yang berjalan diluar pengembangan manajemen dalam persoalan-persoalan tertentu. Penelitian ini mengindikasikan adanya hubungan antara nilai-nilai yang ada di murid, pada intinya, dengan hati dalam praktek para guru, atau dengan kata lain berhubungan dengan interaksi guru dengan muridnya. Formasi nilai-nilai selalu menjadi masalah yang menjadi koridor penuntun pada yang lainnya. Sebuah proyek etis manajemen sekolah berfokus pada iklim moral sekolah – udara yang dihirup di kelas dan di lapangan, festifal dan aktifitas santai, kelas bahasa tulisan dan percakapan. Kebiasaan normatif, afektif, dan pedagogi dari guru menjadi pusat semua ini. Mempelajari konflik professional dengan implikasi moral, seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, dapat menjadi fokus yang kuat dalam persiapan para guru dan kepala sekolah. Hal ini akan mendemonstrasikan kebiasaan dan praktek sekolah sering kali bertentangan dengan peraturan tertulis sekolah sebagaimana prinsip kejujuran dan keadilan. Hal ini juga akan memberikan bukti gesekan antara keinginan pribadi dan kelas seputar peraturan yang dibuat, dan juga akan memfasilitasi reformasi yang akan mendukung hak murid terhadap pendidikan.<br />Catatan<br />Versi panjang artikel ini dalam bahasa Spanyol, termasuk diskusi teroretis yang lebih jauh dan referensi lebih dalam, dapat ditemukan di www.ice.deusto.es/rinace/reice (1(2), 2003)<br />Cecilia Fierro Evans dapat dihubungi melalui email di: cecilia.fierro@leon.uia.mx<br /><br />Referensi <br />Heller, A. (1979) A Theory of Feelings. Assen: Goreum.<br />Heller, A. (1999) Teoria de los Sentimientos. Mexico: Fontamara-Coyoacán.<br />Kohlberg, L. (1984) The Psychology of Moral Development. London: Harper Row.<br />Kohlberg, L. (1999) Psicologia del Desarrollo Moral. Bilbao: Desclée de Brouwer.<br />Smetana, L. G. (2001) The role of parents in moral development: a social domain analysis. University of<br />Rochester. Online: www.uic.edu (accessed 24 February 2001).umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-48257084196825415332009-05-24T01:15:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.129-07:00Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup pendidikan inklusif.Denpasar, Kamis (29 Mei 2008). Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup pendidikan inklusif. Hal ini dilatarbelakangi oleh keragaman budaya, bahasa, agama, serta kondisi alam yang terfragmentasi secara geologis dan geografis.<br /><br />“Indonesia adalah laboratorium terbesar dan paling menarik untuk (menghadapi) permasalahan dan tantangan pendidikan inklusif karena inilah negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000,” kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Konferensi Asia Pasifik Pendidikan Inklusif di Hotel Sanur Paradise Plasa, Denpasar, Bali, Kamis (29/05/2008).<br /><br />Hadir pada acara Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (Dirjen Mandikdasmen) Suyanto, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Ka Balitbang) Depdiknas Mansyur Ramly, Sekretaris Ditjen Mandikdasmen Bambang Indriyanto, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso, dan Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman.<br /><br />Selain itu hadir Direktur Biro Pendidikan International (IBE) UNESCO Mrs. Clementina Acedo, Direktur UNESCO Kantor Bangkok Sheldon Shaeffer, dan para perwakilan 20 negara Asia Pasifik yang memberikan perhatian khusus pada pendidikan inklusif.<br /><br />Mendiknas menyampaikan, pendidikan inklusif bukan hanya ditujukan untuk anak-anak cacat atau ketunaan, tetapi juga bagi anak-anak yang menjadi korban HIV/AIDS, anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak korban bencana alam. “Anak-anak ini yang harus dilayani dengan Pendidikan Layanan Khusus (PLK),” katanya.<br /><br />Mendiknas mengatakan, untuk menangani pendidikan inklusif di Indonesia maka diperlukan strategi khusus. Dia menyebutkan empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah. Pertama, peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Kedua, memasukkan aspek fleksibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal , dan informal.<br /><br />Sementara strategi ketiga adalah menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Lalu strategi keempat adalah dengan mengoptimalkan peranan guru. Menurut Mendiknas, untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif dibutuhkan berbagai macam tipe guru yang ahli untuk segmen yang berbeda-beda seperti untuk anak jalanan, daerah perbatasan dan daerah terpencil. “Guru-guru semacam ini penting dan tentunya sistem insentif untuk guru juga menjadi sangat penting,” katanya.<br /><br />Mendiknas menjelaskan, berbagai sekolah khusus di Indonesia di antaranya adalah sekolah khusus untuk anak-anak cacat, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Selain itu, didirikan juga pusat-pusat pendidikan layanan khusus di berbagai daerah seperti di daerah konflik dan daerah perbatasan. “Ada bahkan di Sarawak dan Sabah, Malaysia sekarang sedang dikembangkan suatu unit pelayanan khusus pendidikan nonformal untuk anak-anak TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ilegal yang bekerja di sana,” katanya.<br /><br />Clementina mengatakan, pendidikan inklusif merupakan pendekatan strategis untuk mencapai target pendidikan untuk semua atau education for all. Pendidikan inklusif, kata dia, menjadi isu utama di kawasan Asia Pasifik karena adanya berbagai macam perbedaan dan semakin menguatnya proses demokratisasi termasuk berkembangnya populasi anak-anak dan pemuda. “Perlu diterapkan peraturan yang fleksibel ke dalam sistem lokal sehingga memasukkan anak-anak yang terpinggirkan sekaligus memberikan berbagai macam pilihan untuk mereka,” katanya.<br /><br />Sumber :Sumber: MediaCentreDiknasumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-90142017045394537862009-05-24T01:11:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.129-07:00Didik Anak Sesuai PotensiDidik Anak Sesuai Potensi<br /><br />Selasa, 17 Maret 2009 | 03:13 WIB<br /><br />KOMPAS.com - Rian (10), siswa kelas IV SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya, duduk tenang di kursinya dan menyimak guru kelas menerangkan pelajaran. Persis di depannya, seorang guru lain mendampingi dan sewaktu-waktu siap membantu Rian yang tampak gelisah atau kesulitan mencerna pelajaran.<br /><br />Sekilas memang tidak tampak perbedaan fisik antara Rian yang menderita gangguan autis dan anak-anak lain. Dengan pendampingan secara khusus di kelas, Rian akhirnya tidak kesulitan untuk beradaptasi di kelas.<br /><br />Keberadaan Rian untuk bisa bergabung di kelas reguler itu setelah melalui tahapan kelas khusus dan kelas preklasikal. Tujuannya untuk menyiapkan bocah lelaki itu mampu bergabung dengan anak-anak lainnya.<br /><br />SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan anak-anak berkebutuhan khusus.<br /><br />Dengan keyakinan bahwa setiap anak punya potensi jika dilayani sesuai kebutuhan dan kemampuannya, guru-guru di sekolah ini menerima anak berkebutuhan khusus, mulai dari yang menderita down syndrome, lambat belajar, autis, hiperaktif, tunarungu, tunanetra, dan cacat fisik. Mereka belajar dalam satu lingkungan dengan anak-anak reguler lainnya.<br /><br />Anak-anak berkebutuhan khusus yang dilecehkan karena dianggap tidak punya harapan untuk bisa ”berprestasi” nyatanya mampu menunjukkan potensi dirinya.<br /><br />”Kuncinya, anak-anak ini diidentifikasi kebutuhannya lalu ditangani sesuai kebutuhannya. Ketika mereka berada dalam lingkungan dengan anak-anak reguler, itu bisa memacu mereka untuk mau bersosialisasi. Anak-anak reguler juga belajar untuk memahami, menerima, dan membantu teman-teman mereka yang punya beragam kekhususan itu,” kata Dadang Bagoes Prihantono, koordinator sekolah inklusi di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya.<br /><br />Tetap konsisten<br /><br />Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang baik buat anak-anak berkebutuhan khusus, nyatanya sekolah ini selama 20 tahun tetap bisa konsisten melayani setiap anak secara personal. Dengan pendidikan yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan anak, perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan belajar semakin baik sehingga mereka tidak kesulitan saat belajar bersama di kelas reguler.<br /><br />Dadang menjelaskan, layanan bertahap yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus itu lahir dari pengalaman para guru saat melayani dan mengevaluasi setiap anak. Sekolah ini menyediakan 44 guru khusus yang siap melayani 133 anak berkebutuhan khusus.<br /><br />Sukarlik mengatakan, para guru ini umumnya guru honorer dari pendidikan luar biasa. Mereka dimotivasi untuk punya hati yang tulus melayani anak didik di tengah keterbatasan gaji yang mereka peroleh.<br /><br />Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus yang kondisinya masih berat untuk bersosialisasi dengan anak-anak reguler lainnya dimasukkan ke kelas khusus. Di sini satu guru melayani satu siswa atau satu guru dua siswa.<br /><br />Jika dari hasil evaluasi menunjukkan anak sudah bisa bergabung dengan siswa lain, dia bisa dimasukkan ke kelas praklasikal. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus dilayani dalam kelompok kecil sekitar 15 anak dengan 2-3 guru.<br /><br />Lima bidang pelajaran<br /><br />Anak-anak itu sudah belajar lima bidang pelajaran, yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk pelajaran olahraga dan keterampilan, anak-anak itu digabungkan dengan kelas reguler.<br /><br />Layanan lain yang diberikan adalah kelas remedi. Anak-anak yang memiliki gangguan belajar dibantu secara khusus oleh guru untuk mengatasi kesulitan belajarnya sehingga tidak terhambat lagi saat belajar di kelas.<br /><br />Selain itu, ada pendampingan. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa bergabung di kelas reguler didampingi guru supaya dia tidak kesulitan beradaptasi. Yang terakhir, inklusi penuh di mana anak berkebutuhan khusus tadi siap dilepas di kelas tanpa pendampingan. Umumnya ini dijalani anak- anak yang menderita autis dan lambat belajar.<br /><br />Menurut Sukarlik, sekolah inklusi itu bukan sekadar menghadirkan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Yang penting justru bagaimana anak-anak ini mendapat layanan khusus sesuai kebutuhannya.<br /><br />Anak berbakat<br /><br />Layanan anak berkebutuhan khusus juga dibutuhkan anak- anak cerdas istimewa yang memiliki IQ 130 ke atas. Anak-anak ini justru sering diidentifikasi sebagai bermasalah karena ketidaktahuan gurunya.<br /><br />Kepala SD Adik Irma Jakarta, Loly Widiaty, mengatakan, potensi kecerdasan istimewa anak dilihat dari pendekatan Renzulli terdiri atas IQ di atas rata-rata, kreativitas, dan task commitment. ”Anak-anak ini sering menawarkan ide-ide unik dan tidak biasa sehingga sering dianggap aneh,” kata Loly.<br /><br />Untuk melayani anak-anak cerdas ini tidak mesti dengan guru yang cerdas. Yang dibutuhkan justru guru kreatif yang mampu merangsang anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bebas.<br /><br />Di Sekolah Adik Irma, anak- anak cerdas istimewa belajar di kelas khusus. ”Namun untuk pelajaran lain, seperti seni dan olah raga, mereka digabung dengan anak-anak reguler lainnya,” kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Amita M Haroen.<br /><br />Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, ada 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.<br /><br />Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini untuk bisa melayani kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.<br /><br />Ester Lince Napitupulu<br /><br />Sumber : Kompas Cetak<br />http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/03/17/03132718 /Didik.Anak.Sesuai.Potensiumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-75431106510315093692009-05-24T01:03:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.130-07:00Sekolah Khusus Untuk Anak Autis23 Januari 2009 Penulis: akoeaditya 5 Komentar Dilihat 25 kali<br /><br />Terharu membaca tulisan curhat yang mendalam dari seorang rekan tercinta, pandu67 di situs komuitas Pintunetter yang berlabel Anakku Sudah Pandai Bernyanyi…, mencoba mendalami secara serius rasa yang luar biasa yang coba dituangkannya saat menceritakan salah seorang anaknya yang mulai pandai bernyanyi diusianya yang sudah merambah 9 tahun. “Tapi anakku seorang Autis”, demikian dia memaparkan, “jadi untuk bisa bernyanyi seperti anak-anak biasa memerlukan sesuatu yang bisa mendorongnya untuk bernyanyi. Karena bagi anak-anak demikian itu, suatu permintaan untuk bernyanyi adalah hal yang sangat tidak di sukainya”.<br /><br />Artikel ini dipersembahkan untuk pandu67, semoga dapat tetap tabah dan sabar dalam menjaga, memelihara serta mendidik titipan Illahi ini, dan juga bagi rekan-rekan para orang tua lainnya yang merasa senasib maupun tidak, hanya untuk sekedar shearing pengetahuan mengenai autisme dan pendidikan khususnya.<br /><br />Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan.<br /><br />Tanda - tanda Autisme<br />- Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari.<br />- Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata.<br />- Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar.<br />- Tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain.<br />- Hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan).<br />- Serasa dia punya dunianya sendiri.<br />- Tidak suka berbicara dengan orang lain.<br />- Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain.<br /><br />Penyebab Autisme sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti. Banyak sekali pendapat yang bertentangan antara ahli yang satu dengan yang lainnya mengenai hal ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR (Mumps, Measles dan Rubella) bisa berakibat anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder. Tapi hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini berdebatkan karena tidak adanya bukti yang kuat bahwa imunisasi ini penyebab dari autisme, tetapi imunisasi ini diperkirakan ada hubungannya dengan Autisme.<br /><br />Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual. Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus.<br /><br />Bila ada yang membutuhkan daftar sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan khusus untuk anak-anak penderita autis yang berlokasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya, dipersilahkan kunjungi situs zonasekolah ini. Mungkin dengan menghubungi sekolah-sekolah ini kita bisa mendapat tambahan informasi berharga lagi mengenai autisme, penangananya serta pendidikan khususnya.<br /><br />(Sumber : Wikipedia, Yayasan Autisma Indonesia dan berbagai sumber)umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-35300180567777277882009-05-24T01:01:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.130-07:00Menonton Kartun Bantu Penderita AutisRachmatunnisa - Okezone LONDON - Orang tua seringkali khawatir jika anak terlalu banyak menonton kartun. Namun jika porsi dan jenis tontonan diatur dengan tepat, menonton kartun juga dapat bermanfaat. Selain menghibur, ternyata menonton kartun juga dapat menjadi terapi bagi anak autis. <br /><br />Penderita autis umumnya mengalami gangguan yang disebut dengan autism spectrum disorders (ASD), akibatnya saat mereka berhadapan dengan seseorang cenderung lebih sering memperhatikan mulut ketimbang mata orang dihadapannya, demikian yang dilansir Times of India, Selasa (30/3/2009). <br /><br />Penelitian terbaru pada anak autis berusia dua tahun menemukan bahwa gerakan mulut serta suara pecakapan yang dikeluarkannya begitu menarik perhatian penderita autis. <br /><br />Tim peneliti yang diketuai Ami Klin dari Yale Child Study Center meneliti dua orang anak berusia dua tahun dengan gangguan sulit bersosialisasi, dibandingkan dengan dua anak lainnya yang tidak menderita autis. Mereka memperhatikan gerakan mata mereka pada saat menonton kartun animasi pada tampilan layar yang terpisah.<br /><br />Kartun ini ditayangkan secara normal. Demikian juga dengan suara aktor kartun yang direkam bersamaan ketika animasi tersebut dibuat. <br /><br />Anak penderita autis lebih fokus pada satu tokoh yang lebih kuat menarik perhatian mereka, yaitu tokoh yang bergerak sambil bertepuk tangan berkali-kali. Hal ini menjadi petunjuk bahwa penderita autis lebih menyukai audio visual yang dilihatnya berbarengan dengan keluarnya suara. (srn)<br /> <br />Kurikulum Khusus Penyandang Autis<br />Email Cetak PDF<br />PENDIDIKAN bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual. <br /><br />Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus. <br /><br />Jumlah terbesar adalah penyandang tuna grahita (keterbatasan intelektual) berat dan ringan sebanyak 38.545 peserta, tuna rungu 19.199 peserta. Diikuti kemudian penyandang tuna netra 3.218 peserta, tuna daksa 1.920 peserta dan autis sebanyak 1.752 peserta. <br /><br />Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis berjumlah 1.752 sekolah. Lima besar provinsi yang paling banyak mendirikan sekolah autis adalah Jawa Barat sebanyak 402 sekolah, Jawa Timur 263 sekolah, Daerah Istimewa Yogyakarta 131 sekolah. Kemudian diikuti Sumatera Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing memiliki 111 sekolah untuk penyandang autis. <br /><br />Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menyatakan, UU Sisdiknas No20 Tahun 2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. "Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagipenyandangautis," sebutnya. <br /><br />Semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun begitu, Eko mengatakan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis. Ini disebabkan setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis. <br /><br />Awal Psikolog dari sekolah khusus autis "Mandiga" di Jakarta, Dyah Puspita menyatakan, kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh belajar komunikasi dengan intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada juga yang hanya perlu fokus pada masalah akademis. <br /><br />Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak, Dini Yusuf, pendiri homeschooluntuk anak autis "Kubis" di Jakarta mengatakan, bergantung dari assessment(penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian melalui wawancara terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak. <br /><br />Selain itu, penilain awal ini juga melalui observasi langsung terhadap anak. Lamanya penilaian awal ini, menurut Dini,berbeda-beda."Tetapi, dari sana, kami lalu menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak," ujarnya. Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih menyenangkan bagi anak autis.<br /><br />Kepala Sekolah khusus autis, AGCA Centre Bekasi Ira Christiana, mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. "Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya," sebutnya. <br /><br />Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. "Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah," ujar Ira. <br /><br />Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis. <br /><br />Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan konsonan. <br /><br />Hal lain yang patut dicermati, menurut Ira, adalah konsistensi antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang mencolok,kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan atas apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua.(sindo//nsa)<br /> <br />Ikan Lumba-lumba Bantu Terapi Stroke dan Autis<br />Email Cetak PDF<br />terapi lumba-lumbaJAKARTA - Ikan lumba-lumba hidung botol ternyata bisa membantu terapi pengobatan untuk beberapa jenis penyakit. Di antaranya, stroke, autis, kanker, bahkan hingga down syndrom atau depresi berat. Bagaimana rasanya diterapi oleh lumba-lumba? Bisa rasa takut atau geli.<br /><br />Ternyata ikan lumba-lumba yang dikenal sebagai mamalia sahabat manusia itu bisa membantu pengobatan terapi untuk jenis penyakit yang belum ada obatnya, Kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Aryo Hanggono, menyatakan bahwa saat ini tim peneliti dari lima bidang keilmuan, yakni biologi kelautan, kedokteran hewan, psikologi, kedokteran, dan akustik sedang melakukan penelitian terhadap lumba-lumba yang membantu terapi pengobatan untuk beberapa pasien yang bertempat di salah satu hotel di Bali.<br /><br />"Kami mencoba mencari penjelasan ilmiah mengapa ikan lumba-lumba bisa membantu pengobatan," katanya.<br /><br />Penelitian yang dimulai semenjak 3 - 4 bulan yang lalu ini, kata dia, memang menunjukkan hasil positif. Buktinya pada uji terhadap salah seorang tokoh masyarakat Bali yang menderita stroke lumpuh kaki tampak menunjukkan perbaikan. Ketika sebelum terapi kaki tidak bisa digerakkan, namun setelah menjalani terapi akhirnya kakinya bisa digerakkan, bahkan saat ini si pasien sudah bisa berjalan kaki. Lama terapi pertama bagi pasien stroke ini adalah 10 hari dan selesai pada akhir 2007 kemarin. Namun pada awal 2008 ini, terapi pasien stroke itu dilanjutkan kembali. Kenyataannya, si pasien yang sudah berumur itu, kini sudah mulai bisa berjalan kembali.<br /><br />"Ikan lumba-lumba itu memiliki kemampuan melakukan terapi baik melalui totokan, gigitan halus, kibasan tubuh, serta gelombang suara dari ikan ini," paparnya.<br /><br />Selain itu uji juga dilakukan kepada salah seorang pasien yang mengidap kanker. Untuk pasien penyakit kanker saat ini terapi sudah berjalan selama seminggu. Aryo menyatakan, penjelasan mengenai tata cara ikan lumba-lumba memberikan terapi memang agak unik. Yakni, seorang pasien yang akan menjalani terapi harus ikut berenang dengan ikan lumba-lumba. Pasien tersebut dengan menggunakan pelampung ikut berenang dalam kolam air laut di mana lumba-lumba itu berada.<br /><br />Untuk tahap pertama, biasanya tahap adaptasi di mana lumba-lumba hanya mengitari pasien yang mengapung di kolam. Baru tahap berikutnya, lumba-lumba akan menunjukkan reaksi dan mencoba berkomunikasi dengan pasien. Mulai totokan di kaki, tubuh, kepala, gigitan lembut, bahkan kibasan tubuh. Uniknya, bagian tubuh pasien yang ditotok atau disentuh oleh ikan lumba-lumba itu setiap harinya berbeda, sehingga tampak sistematis. Seolah ikan yang biasa dilatih untuk atraksi permainan ini tahu di mana letak saraf pasien yang mengalami sakit.<br /><br />"Ini bukan pengobatan alternatif. Melainkan hanya komplemen. Jadi pengobatan medisnya tetap jalan. Terapi lumba-lumbanya juga jalan. Ini masuk kategori bioakustik," paparnya.<br /><br />Penelitian terhadap potensi ikan lumba-lumba sebagai terapi ini memang akan terus dikembangkan. Bahkan kata dia, pada program penelitian tahun 2008 ini diprioritaskan untuk mengetahui pola spektrum dari gelombang suara lumba-lumba untuk pengobatan. Yakni pola seberapa besar spektrum frekuensi gelombang suara dari lumba-lumba itu untuk terapi berdasarkan jenis penyakit si pasien. Sebab, dari hasil rekam sonar frekuensi gelombang suara memang ada yang berbeda untuk tiap jenis penyakitnya.<br /><br />Untuk itu para peneliti berniat untuk mengetahui polanya. "Sebab ternyata spektrum gelombang suara yang dikeluarkan ikan ini menunjukkan pola yang berbeda untuk jenis penyakit yang berbeda pula. Inilah yang masih kita pelajari," paparnya.<br /><br />Di dunia medis, memang selama ini ada asumsi bahwa ikan lumba-lumba bisa membantu terapi. Namun itu hanya sebatas kepercayaan, dan belum ada pembuktian ilmiah. Bahkan Amerika Serikat juga meneliti ikan ini secara serius yang langsung ditangani oleh angkatan laut negara Paman Sam tersebut. Tentu saja, ikan lumba-lumba untuk sirkus dan terapi cara melatihnya berbeda.<br /><br />Menurut Aryo, ikan lumba-lumba yang bisa dilatih untuk melakukan terapi adalah jenis jantan. Apabila riset ilmiah terhadap ikan ini berhasil, maka itu akan sangat potensial bagi dunia pengobatan di Indonesia. Sebab lautan di Indonesia memang melimpah ikan lumba-lumba jenis hidung botol. Namun tentu cara penangkapannya akan menemui kesulitan. Apalagi jika yang ditangkap adalah lumba-lumba betina guna dikembangbiakkan. Sebab biasanya perilaku ikan yang berkelompok ini, betina biasanya dilindungi oleh banyak lumba-lumba jantan.<br /><br />"Kami berencana menangkap empat ekor ikan lumba-lumba tahun ini, untuk kemudian kami teliti dan kembangbiakan di pusat penelitian kami di Bali," ujarnya.<br /><br />Peneliti Bioakustik DKP, Agus Cahyadi menyatakan bahwa fokus penelitian tahun 2008 ini tidak hanya dilakukan kelanjutan terapi namun juga komparasi dengan hasil pengobatan medis. Sehingga dilakukan pembuktian secara medis atas hasil terapi yang dilakukan oleh pasien subyek penelitian. Selain itu juga dilakukan analisa spektrum akuistik gelombang suara yang dikeluarkan ikan lumba-lumba per perlakuan terapi. Yakni berapa besar gelombang suara yang dikeluarkan apabila untuk badan atau kepala pasien.<br /><br />Meski demikian, Agus mengaku belum bisa memecahkan rahasia mengapa ikan lumba-lumba bisa mengerti bagian tubuh yang sakit dari si pasien sehingga melakukan perlakuan terapi di sana. "Kita masih dalam pengkajian mengapa lumba-lumba seolah tahu di mana bagian tubuh pasien yang sakit. Mereka mencari sendiri dan tidak ada yang mengarahkan," tandasnya.<br /><br />Buktinya menurut dia, bottle nose dolphin atau tursiops truncactus itu bisa bekerja dengan baik. Selama 10 kali terapi yang diberikan kepada 13 anak penyandang autis. Untuk penelitian ini, Tim DKP melibatkan pakar psikologi Australia, Jepang, dan Indonesia untuk menganalisa perkembangan mental si pasien.<br /><br />Agus menjelaskan melalui 10 kali terapi pada penderita autis, dari 8 kriteria yang dinilai, 3 di antaranya menunjukkan hasil memuaskan. Yakni, terkait emosi, kontak mata, dan ketenangan. "Lima kriteria lainnya, yaitu kelincahan, motorik, rileksasi, fokus, dan perhatian belum menunjukkan hasil," tandasnya.<br /><br />Untuk proses terapi, biasanya adaptasi membutuhkan waktu 1 hari. Kemudian tahap selanjutnya, peneliti mengumpulkan rangkaian transmisi suara lumba-lumba yang direkam melalui hidrophon. Setelah dilakukan analisis bioakustik, dalam satuan tiap 30 menit terdapat spektrum akustik gelombang optimal. Bioakustik, merupakan ilmu yang mempelajari suara dalam air, baik yang ditransmisikan maupun yang diterima.<br /><br />"Kami harus mengonfirmasikan dengan kalangan kedokteran potensi frekuensi tersebut terhadap penderita stroke. Namun, terapi ini akan dikembangkan untuk metode penyembuhan kanker," ujarnya.(Abdul Malik/Sindo/mbs)<br />Sumber :http://www.autis.info/index.php/artikel-makalahumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-78824964821457617532009-05-24T00:59:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.130-07:00Beasiswa untuk Anak Korban Gempa di JogjaOktober 13, 2008 · & Komentar<br /><br /> <br /><br />Bencana alam jangan membuat anak-anak kehilangan haknya untuk menuntut ilmu. Baik pemerintah, masyarakat maupun swasta memiliki tanggung jawab mencegah terjadinya hal itu.Hal itu disampaikan Gubernur DIJ Hamengku Buwono X saat penyerahan beasiswa dari Sampoerna Foundation dan Standard Chartered Bank (SCB) kepada 500 pelajar dan mahasiswa DIJ di Bangsal Kepatihan, kemarin.<br /><br />Menurut gubernur, pascabencana gempa bumi pemerintah daerah masih melakukan proses rehabilitasi terhadap sistem pendidikan. Terutama mencegah jangan sampai angka putus sekolah naik.<br /><br />“Beasiswa menjadi satu alternatif bagi anak korban bencana untuk bisa menyelesaikan hak pendidikannya. Jangan sampai karena alasan beaya, anak-anak memutuskan berhenti belajar. Untuk itu perhatian dunia usaha terhadap nasib pendidikan masyarakat sangat dibutuhkan,” ujar gubernur.<br /><br />Kepada para penerima beasiswa, HB X berpesan agar mereka tetap menjaga prestasi. “Sebab beasiswa justru merupakan pendorong agar terus meningkatkan prestasi. Apalagi, bagi mereka yang masih SMA bisa meneruskan beasiswanya sampai jenjang perguruan tinggi. Tentunya jika tetap berprestasi,” tambahnya.<br /><br />Sementara itu Communication Director Sampoerna Foundation Sapto Handoyo menjelaskan, rehabilitasi pendidikan bukanlah proses yang bisa dihentikan dengan berlalunya waktu. Tetapi harus tetap dilakukan sampai hasil memuaskan tercapai.<br /><br />“Apa yang dilakukan kami lebih untuk meningkatka kualitas pendidikan di Jogja. Selama ini kami telah melakukan beberapa program pendidikan. Di antaranya peningkatan mutu sekolah (Sampoerna Foundation United Schools Program) di SMAN 1 Pundong. Serta rekonstruksi sekolah rusak, pemberian fasilitas dan beasiswa,” tutur Sapto.<br /><br />Bantuan beasiswa kepada 500 siswa dan mahasiswa di DIJ akan diberikan dalam kuru waktu 3-4 tahun. “Kami berikan kepada 125 siswa SD, 125 siswa SMP, dan 200 siswa SMA di Gunungkidul, Sleman, bantul, serta Imogiri. Ada juga memberikan beasiswa kepada 50 mahasiswa UGM. Untuk perbaikan gedung diberikan kepada lima sekolah dasar yang akan selesai akhir Agustus,” ucap Management Committee member SCB Lani Darmawan. (lai)<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /><br />http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=200862&c=85umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-66887959032593312412009-05-24T00:54:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.130-07:00Sentra Pendidikan Layanan Khusus DitambahSenin, 20 November 2006 23:27:37<br /><br /><br />Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.<br /><br />Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.<br /><br />Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.<br /><br />”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.<br /><br />Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.<br /><br />Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.<br /><br />Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.<br /><br />Anggaran ditingkatkan<br /><br />Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.<br /><br />Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)<br />(uchie)<br /> <br />Sumber: kompas cyber mediaumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-74323549275060669842009-05-24T00:50:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.130-07:00Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan KhususDitulis oleh Rahmintama <br />Thursday, 27 March 2008<br /><br />Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.<br /><br />Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.<br /><br />Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.<br /><br />Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.<br /><br />Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.<br /><br />Ribuan Anak Pengungsi<br /><br />Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.<br /><br />Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.<br /><br />Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.<br /><br />Bantuan Alat<br /><br />Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.<br /><br />Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.<br /><br />"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.<br /><br />Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.<br /><br />Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.<br /><br />Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun. <br /><br />Layanan Tutor<br /><br />Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.<br /><br />"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.<br /><br />Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.<br /><br />"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.<br /><br />Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu<br /><br />Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.<br /><br />"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.<br /><br />Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.<br /><br />Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.<br /><br />Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.<br /><br />Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.<br /><br />Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.***(rht)<br /><br />Sumber:http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34umi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-51893593462095290022009-05-24T00:45:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.131-07:00Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan KhususSabtu, 11 Oktober 2008 | 18:12 WIB<br /><br />KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.<br /><br />Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.<br /><br />Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.<br /><br />Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.<br /><br />Sumber :www.kompas.comumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-87137841478757846282009-05-24T00:40:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.131-07:00Anak Nelayan Terima Layanan KhususMuaraangke, Warta Kota<br /><br />Anak-anak yang tinggal di perkampungan nelayan Muaraangke, Penjaringan, Jakarta Utara, membutuhkan perlakukan khusus. Pasalnya, anak-anak tersebut tinggal bersama orangtua yang tergolong miskin dan tidak bisa memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka juga tergolong sulit untuk bersekolah.<br /><br />Atas pertimbangan itu, Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Lentera Bangsa menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak nelayan di Blok Empang, Kampungbaru, Muaraangke. Sebanyak 180 anak usia TK hingga SMA bersekolah di sekolah khusus tersebut. Mereka tanpa berseragam sekolah bisa menikmati pendidikan layaknya di sekolah formal.<br /><br />Khaerul (10), salah satunya. Siswa kelas 4 SD ini sangat senang bisa bersekolah di PLK Lentera Bangsa. Alasannya, dia bisa belajar menggunakan komputer. ”Baru bisa pakai komputer sedikit,” ucapnya saat ditemui Warta Kota di Muaraangke, Rabu (8/4).<br /><br />Selain itu, Khaerul bisa menambah pengetahuan pendidikan formal, seperti matematika, bahasa Indonesia, dan IPA di sekolah tersebut. Darsidah (48), orangtua Khaerul, ingin agar anaknya bisa terus bersekolah, selama sekolah itu tidak memungut biaya. ”Kalau harus pakai biaya, duit darimana,” ucapnya.<br /><br />Dikatakan Darsidah, penghasilan suaminya sebagai kuli dorong gerobak ikan tidak memadai untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. ”Kalau ada pekerjaan, paling sehari dapat Rp 50.000,” katanya.<br /><br />Bangunan sekolah di PLK Lentera Bangsa tidak seperti sekolah umumnya. Sekolah yang berdiri dua tahun terakhir itu dibangun di atas empang. Jika hujan, jalanan di sekitar sekolah becek. Akibatnya, sandal atau sepatu anak-anak pun tebal dengan tanah cokelat. Ibu-ibu yang mengantar sekolah anaknya biasanya tanpa alas kaki atau memakai sepatu boot.<br /><br />”Yang penting anak bica cari ilmu,” ujar Rohani (30) yang dua anaknya duduk di bangku TK PLK Lentera Bangsa.<br /><br />Bangunan sekolah dibuat dari bilah-bilah bambu, jendela dari kawat, lantai dari kayu, dan atap dari asbes. Bangunan sekolah yang luasnya sekitar 36 meter persegi itu terbagi dua ruang. Setiap ruang memiliki dua papan tulis. Guru yang siap sedia mengajar ada 6 orang, termasuk 3 mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Lentera Bangsa.<br /><br />Selain memberikan pendidikan formal, Lentera Bangsa juga memberikan pendidikan keterampilan, seperti perbengkelan dan cuci motor atau mobil. ”Kami juga akan memberikan keterampilan tata boga dan tata busana, tapi peralatannya belum ada dan sedang diusahakan,” ucap Saefudin Zuhri, Ketua PLT Lentera Bangsa.<br /><br />Dia mengatakan, untuk membawa anak-anak mau bersekolah, bukan perkara mudah, walaupun sekolah gratis. Zuhri dan teman-temannya harus terus membujuk agar para orangtua menyekolahkan anak-anaknya.<br /><br />Biaya operasional itu diperoleh Saefudin dari para donatur dan blockgrand dari pemerintah Rp 50 juta per tahun.<br /><br />Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, mengatakan, anak-anak di bawah usia 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar melalui PLK. (Intan Ungaling)<br /><br />Sumber :http://74.125.153.132/search?q=cache:r1uLrmPDasUJ:www.wartakota.co.id/read/sudutkota/2664+artikel+pendidikan+layanan+khusus&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=idumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-27852444635325912142009-05-24T00:33:00.000-07:002009-05-28T01:42:00.131-07:00Pendidikan Layanan Khusus Kesulitan GuruPendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.<br />Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).<br />Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru. ”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.<br />Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.<br />Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.<br />Tumbuh dari masyarakat<br />Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdeka<br /><br />Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.<br /><br />Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.<br /><br /> <br /><br />Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.<br /><br /> <br /><br />Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.<br /><br /> <br /><br />”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.<br /><br />Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.<br /><br /> <br /><br />Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)<br /><br /> <br /><br />Sumber: Harian Umum Kompasumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6868334465342821360.post-59825453255452052402009-05-06T03:58:00.000-07:002009-05-06T03:59:28.288-07:00Pendidikan : Masa Depan Tunanetra dan Optimalisasi Pendidikan InklusifKamis, 15-Mei-2008 - oleh : Mohammad Takdir Ilahi<br />Dibaca 1080 kali<br /><br />Pendahuluan “setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan” Tulisan di atas, sengaja saya kutip sebagai langkah awal untuk membangun kesadaran masyarakat Indonesia agar memiliki kepedulian dan perhatian penuh terhadap anak-anak yang menderita kelainan fisik dan mental. Kesadaran ini, tentu bukan karena ingin mendapatkan pujian dan kehormatan dari orang lain, tetapi ini dilakukan atas dasar rasa kemanusiaan sebagai sesama yang juga berkesempatan memperoleh hak-hak hidup secara layak. Terkadang kita berpikiran negatif dan cendrung mengesampingkan anak-anak yang berkelainan dari segi fisik dan mental. Karena alasan itulah, kita kehilangan kesadaran bahwa mereka juga sama dengan kita dan mereka pun mempunyai kedudukan yang sama dalam segala apa pun. Inilah yang terjadi dengan tunanetra, sosok manusia yang dalam kehidupan masyarakatnya kurang mendapatkan perhatian dan seringkali karena kelainannya itu, mereka termarginalkan oleh lingkungan tempat tinggalnya. Dalam segala aspek kehidupan pun, tunanetra tidak bisa bergaul selayaknya anak-anak normal yang punya gairah bermain, belajar, dan bercanda. Saya punya pengalaman menarik, ketika bertatap muka langsung melihat kondisi tunanetra yang berkecimpung dengan aneka alat, semisal permainan, mesin tik Braille, computer dengan program Braille, printer Braille, abacus, calculator bicara, kertas braille, penggaris Braille, kompas bicara dan lain sebagainya. Pengalaman saya tersebut berkaitan dengan kegairahan dan semangat yang berlipat dari kaum tunanetra yang belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Walaupun secara logika, mereka tidak memiliki masa depan yang cerah seperti anak-anak yang lain, namun semangat kebersamaan mereka dalam menjalani hidup dan proses belajar patut diacungi jempol. Ini karena, mereka bisa menjalin persaudaraan yang kokoh untuk tetap maju menatap masa depan yang menjadi dambaan mereka. Ketika saya bertanya kepada mereka, apa yang anda impikan dengan kondisi anda yang tidak memungkinkan? Mereka menjawab, “saya hanya ingin seperti anak-anak yang lain, yang mempunyai cita-cita tinggi dalam hidup. Di samping itu, harapan saya yang paling besar adalah dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, lingkungan masyarakat, keluarga, teman-teman, tenaga pendidik khusus tunanetra, agar selalu memberikan semangat kepada kami semua yang tidak sama dengan mereka”. Ketika itu pula, saya berpikir bahwa tunenetra mempunyai keinginan yang sama, perlakuan yang baik, dan kesempatan yang setara dalam hidup, terutama ketika memasuki dunia pendidikan formal. Pengalaman saya berkumpul bersama tunanetra, membuat saya semakin dewasa untuk memberikan santunan dan motivasi yang besar bagi mereka. Bahkan, karena seringnya berkumpul, saya termotivasi secara pribadi untuk menjadi generasi yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Ini karena, seorang tunanetra bernama Andi yang pernah berkumpul bersama saya, memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan dalam kondisi apa pun, dan ketika memasuki pendidikan formal, dia semakin percaya diri dalam menjalankan aktivitasnya sebagai seorang pelajar. Dari segi pergaulan pun, dia selalu fun dengan kondisinya dan tidak ada perasaan terabaikan sedikit pun dari pergaulan bersama teman-temannya yang memiliki fisik sempurna. Dari SLB Menuju Pendidikan Umum Selama ini, saya hanya tahu, bahwa tunanetra lebih banyak di tempatkan di lembaga-lembaga pendidikan yang khusus, semisal Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Berkelainan (SLB), dan Pendidikan Terpadu. Diantara pendidikan khusus bagi tunanetra yang hampir sama dengan pendidikan formal adalah Pendidikan Terpadu. Pendidikan Terpadu ini adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam satuan pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler (SD,SMP, SMA dan SMK) dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan. (Kepmendikbud No. 002/U/1986). Karena itu, dalam kesempatan ke depan, tunanetra perlu diberikan peluang yang besar untuk memasuki dunia pendidikan umum (formal). Ini dilakukan, agar potensi yang dimiliki tunanetra dapat tersalurkan secara optimal, walaupun pada akhirnya potensi yang berkembang tersebut tidak seperti potensi yang dimiliki anak-anak normal yang lain. Selain itu, dengan kesempatan yang ada ini, diharapkan lembaga pendidikan umum mampu memberikan pelayanan secara khusus kepada tunanetra. Perlu disadari bahwa kesempatan bagi tunanetra untuk memperoleh pendidikan umum, saat ini masih sangat minim. Minimnya kesempatan tersebut, dalam pandangan saya akan semakin mempersulit pengembangan potensi dan skill yang dimiliki tunanetra. Padahal, akses pendidikan yang kita ketahui bukan hanya diberikan kepada anak normal, melainkan tunanetra pun juga berkesempatan untuk mengenyam pendidikan umum. Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Dokumen Pendidikan untuk Semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan. Akan tetapi, di Indonesia, misalnya, menurut data Depdiknas tahun 202, hanya sekitar 7,5% anak penyandang cacat usia sekolah yang sudah memperoleh pendidikan formal di sekolah. Masuknya tunanetra ke lembaga pendidikan umum (formal), bagi saya tidak hanya sekedar penguatan untuk menghilangkan asumsi negatif yang menganaktirikan kalangan tunanetra, melainkan mesti dilandasi dengan kesadaran baru dalam rangka membantu masa depan mereka agar bisa mengenyam pendidikan formal secara layak tanpa tebang pilih. Kesadaran semua pihak dalam merealisasikan program pendidikan bagi tunanetra ini, pada akhirnya akan membakar semangat mereka untuk belajar lebih giat, tekun, ulet, sungguh-sungguh, dan selalu percaya diri dengan potensi yang dimilikinya. Nah, ketika tunanetra sudah masuk di lembaga pendidikan formal, saya berharap lingkungan baru itu tidak menjadi bumerang bagi proses bejarnya. Ini karena, pendidikan formal bukan merupakan pendidikan khusus atau terpadu bagi tunanetra, tetapi di lembaga pendidikan ini, mereka akan berbaur dengan anak normal yang memiliki pandangan berbeda ketika melihat dan berkumpul dengan anak-anak tunanetra. Melihat kenyataan inilah, Bambang Basuki salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra, yang juga guru SLB mengatakan bahwa tunanetra yang tidak mempunyai gangguan akademik dan juga emosional, mereka hanya membutuhkan rehabilitasi, kemudian aksesibiltas dan perlakuan khusus. Rehabilitasi itu berupa konseling bahwa mereka menerima kebutaannya, baik yang low vision dengan menggunakan pembesaran huruf dan orientasi mobilitas karena tidak bergerak dengan mandiri. Sekarang kita melihat IT sebagai akesiliblitas untuk mendapat informasi maupun komuniaksi secara tertulis itu masih bermasalah. Di samping itu juga, yang menjadi persoalan adalah terkait dengan aksesibilitas transportasi bagi kalangan tunanetra yang menempuh pendidikannya di lembaga pendidikan formal. Optimalisasi Pendidikan Inklusif Ketika anak tunanetra masuk ke lembaga pendidikan formal, maka pendekatan yang dinilai paling efektif adalah dengan jalan optimalisasi pendidikan inklusif secara berkelanjutan kepada tunanetra. Dalam pendidikan terpadu pun, pendidikan inklusif menjadi pilihan yang dirasakan sangat membantu terhadap pengembangan potensi dan skill tunanetra. Pilihan model ini bagi tunanetra, sebenarnya banyak didorong oleh kemudahan yang menjadai karakteristik dari pendidikan inklusif. Sehingga tak heran, jika sistem segregasi tidak lagi dipakai dalam sistem belajar mengajar, dan sebagai pilihan yang dinilai sukses adalah dengan menerapkan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra. Dalam pandangan Didi Tarsito, pendidikan dalam setting segregasi memang dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus anak tunanetra secara akademik, tetapi cenderung memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi secara lebih luas. Pada gilirannya, segregasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang tunanetra secara benar. Karena itulah, pendidikan inklusif tampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang telah diterapkan oleh sistem regregasi. Saya mengartikan pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk mengembangkan potensi-potensinya secara optimal. Dalam artian, model pendidikan ini, berupaya memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak tunanetra-agar memperoleh kesempatan belajar yang sama, di mana semua anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan sarana yang dibutuhkan tunanetra dapat terpenuhi dengan baik. Maka tak berlebihan, jika Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai “pendidikan bagi semua” (education for all). Demi masa depan tunanetra, pendidikan inklusif harus berjalan secara optimal dan segala kebutuhan tunanetra dalam proses belajar mengajar diupayakan dapat terpenuhi. Adanya pendidikan inklusif ini, ternyata telah dijamin oleh Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya disebutkan, bahwa “penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional”. Dengan jaminan Undang-Undang ini, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi tunanetra akan semakin berkembang dan terlaksana sesuai dengan rencana awal yang ingin membimbing tunanetra menjadi manusia-manusia potensial dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan hidup di masa depan. Apalagi saat ini, kita sudah memasuki dunia baru yang lebih menantang kita untuk berjuang melawan segala bentuk kebebasan yang pada akhirnya dapat menghambat cita-cita luhur bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itulah, dalam implementasi pendidikan inklusif, kita memerlukan upaya maksimal yang dapat mengantarkan anak-anak tunanetra mencapai pendidikannya secara inklusif dan integral. Dalam hal ini, Sunardi (2002) memberikan lima poin penting penerapan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra. Pertama, menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Kedua, mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar. Ketiga, menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Keempat, penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Kelima, melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. Penutup Dengan setting pendidikan inklusif ini, masa depan tunanetra yang pada awalnya terus menerus termarginalkan dan terabaikan dari lingkungan masyarakat dan pergaulan dengan teman-temannya, diharapkan mampu bangkit dari diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang orang-orang yang tidak memiliki kesadaran. Tentu hal ini, dapat terwujud apabila penerapan pendidikan inklusif berjalan optimal dan memberikan kobaran semangat bagi tunanetra. <br /><br />Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:jhhNGWl0xDQJ:www.kartunet.com/%3Fpilih%3Dlihat2%26topik%3D10%26id%3D82+artikel+pendidikan+khusus&cd=98&hl=id&ct=clnk&gl=idumi karolina TN 07http://www.blogger.com/profile/08174857110147988954noreply@blogger.com0