Selasa, 28 April 2009

Kenalkan Agama Sejak Dini pada Anak

Dalam kehidupan manusia harta benda dan anak-anak kita merupakan karunia Ilahi dan sebagai ujian atau percobaan (fitnah), apakah kita dapat memanfaatkan harta itu dan sudah benarkah kita mendidik anak-anak tersebut. Yang perlu kita ketahui dalam kehidupan mansuia bahwa harta dan anak-anak merupakan unsur utama untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan duniawi. Karena harta dan anak adalah hiasan hidup duniawi, maka
"Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah permainan, kesenangan dan kemegahan serta saling bangga, saling berlomba banyak dalam harta dan anak ..." (QS. Al-Hadid, 57:20).
Jadi, sebagai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemungkinannya dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu apabila kita tidak sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak tersebut sesuai dengan pesan dan amanat Allah.
Makna agama bagi kita adalah agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti sholat dan membaca do'a saja. Akan tetapi agama lebih dari itu, yaitu agama mengatur keseluruhan tingkah laku manusia demi memperoleh ridla Allah. Agama dengan kata lain, agama meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentu keutuhan manusia berbudi luhur (berakhlak karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Alllah dan bertanggung jawab secara pribadi di Hari Kemudian (Kiamat). Hal tersebut diatas merupakan pernyataan kita dalam do'a pembukaan shalat kita (do'a iftitah), bahwa shalat kita, darma bakti kita, hidup kita, mati kita dan semua adalah untuk atau milik Allah seru sekalian alam.
Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk prtumbuhan total seorang anak didik. Dan tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya konvensional dalam masyarakat. Karen itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Oleh Karena itu pendidikan agama keagamaan dalam keluarga tidak hanya melibatkan orang tua saja, akan tetapi seluruh keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam kelaurga. Peran orang tua tidak hanya barupa pengajaran, tetapi juga berupa peran tingkah laku, ketauladanan dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh. Seperti pepatah mengatakan bahwa pendidikan dengan bahasa perbuatan (perilaku) (tarbiyah bi lisan-I'l-hal) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap dari pada pendidikan dengan bahasa ucapan (tarbiyah bi lisan-il-maqal). Karena itu yang penting adalah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa pendidikan agama berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi hidup dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadah-ibadah. Sedangkan pelaksanaannya harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibdah-ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritual belaka, melainkan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita semua.
Rasa taqwa kepada Allah itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesaran Allah lewat perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan sekitar. Sebab menurut al-Qur'an hanya mereka yang memahami alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Allah sehingga bertaqwa kepada-Nya. Melalui hasil perhatian, pengamatan, dan penelitian kita terhadap gejala alam dan social kemanusiaan tidak hanya menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif belaka, juga tidak hanya yang bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (penggunaan teknologi), tetapi dapat membawa kita kepada keinsyafan Ketuhanan yang mendalam, melalui penghayatan keagungan Tuhan sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaannya.
Keinsyafan merupakan unsur yang teramat penting dalam menumbuhkan rasa taqwa, maka pendidikan keagamaan dalam keluarga harus pula meliputi hal-hal yang nota bene diperintahkan Allah dalam al-Qur'an (sesuai dengan ajaran-Nya). Wujud nyata atau substansi jiwa Ketuhanan itu terdapat dalam nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan kepada anak-anak. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang sesungguhnya akan menjadi inti pendidikan keagamaan. Diantara nilai-nilai itu yang sangat mendasar adalah:
Iman Sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah.
Islam Sikap pasrah kepada-Nya dengan menyakini bahwa papun yang datang dari Allah tentunya membawa hikmah kebaikan, yang kita (dlaif) tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya.
Ihsan Kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama kita dimana pun kita berada.
Taqwa Sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berbuat hanya sesuatu yang diridlai Allah dengan menjauhi dan menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai Allah.
Ikhlash Sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla Allah dan dan bebas dari pamrih lahir dan batin tersembunyi maupun terbuka.
Tawakkal Sikap senantiasa bersandarkan diri kepada Allah dengan penuh harapan dan dengan keyakinan kita pula bahwa Allah akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik bagi kita.
Syukur Sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya yang dianugrahkan Allah kepada kita.
Sabar Sikap tabah mengahadapi segal kepahitan hidup, besar atau kecil, lahir atau batin, karena keyakinan yang tidak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Tentunya masih banyak lagi nilai-nilai keagamaan pribadi yang diajarkan dalam islam. Biasanya orang tua atau pendidik akan dapat mengembangkan nilai-nilai keagamaan lainnya sesuai dengan perkembangan anak dan keadaan.
Dimensi hidup manusia yang lain adalah mengembangkan rasa kemanusian kepada sesama. Keberhasilan pendidikan agama bagi anak-anak tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak itu menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama (ritual-ritual). Justru yang lebih penting adalah sejauhmana nilai-nilai keagamaan itu dalam jiwa anak-anak diwujudkan dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari, sehingga dapat melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Sekedar untuk pegangan operatif dalam menjalankan pendidikan keagamaan kepada anak, mungkin nilai-nilai akhlak berikut ini dapat dipertimbangkan oleh semua orang tua untuk ditanamkan kepada anak-anak, yaitu:
Silaturrahmi Pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, tetangga dan masyarakat.
Persaudaraan Semangat persaudaraan, lebih-lebih antara sesame kaum beriman (Ukhuwah Islamiyah).
Persamaan Pandangan bahwa sesama manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya adalah sama dalam harkat dan martabat.
Adil Wawasan yang seimbang dalam memandang menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang.
Baik sangka Sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia.
Rendah hati Sikap yang tumbuh karena keinsafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia mengklaim kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dengan perbuatan yang baik, yang itupun hanya Allah yang menilainya.
Tepat janji Salah satu sifat orang yang benar-benar beriman adalah sekip selalu menepati janji bila membuat perjanjian.
Lapang dada Sikap penuh kesediaan menghargai orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya.
Dapat dipercaya Salah satu konsekuensi iman adalah amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya.
Perwira Sikap penuh harga diri namun tidak sombomng dan tidak mudah menunjukkan sikap memelas atau iba dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan mengharapkan pertolongannya.
Hemat Sikap tidak boros dan tidak pula kikir dalam menggunakan harta, melainkan sedang antara keduanya.
Dermawan Sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia terutama mereka yang kurang beruntungdan terbelenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya dengan mendermakan sebagian harta benda yang dikaruniakan Allah kepada mereka.
Nilai-nilai keagamaan di atas kiranya dapat membantu mengindetifikasi agenda pendidikan keagamaan dalam rumah tangga yang lebih konkrit dan operasional. Sekali lagi pengalaman nyata orang tua dan pendidikan akan membawanya kepada kesadaran akan nilai-nilai budi luhur lainnya yang lebih relevan untuk perkembangan anak.

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:3wR5AjkyL-EJ:pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/dalwa.bangil/cgi-bin/dalwa.cgi/al_bashiroh/artikel/16-dec06-opini-kampus.single+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=47&hl=id&ct=clnk&gl=id

Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa

Kompas, Jumat, 03 September 2004PENDIDIKAN multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.RevitalisasiPendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.Era reformasi telah membuka mata kita terhadap semua borok-borok kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berlangsung selama ini. Realitas korupsi telah menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa, karena korupsi ternyata melestarikan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang semakin tajam dan ikut memperkeras konflik sosial. Sementara pendidikan kewiraan, kepramukaan, bahkan keagamaan telah kehilangan aktualitas multikulturalnya, dan pada gilirannya akan memperkeras konflik sosial yang ada. Karena itu, pendidikan multikultural harus direvitalisasi dan direaktualisasi secara kreatif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya.Konflik dan perubahanHakikat kehidupan adalah perubahan, dan jika ada yang abadi dalam kehidupan, maka keabadian itu adalah perubahan. Kehidupan tidak pernah ada tanpa perubahan dan dalam perubahan dengan sendirinya selalu memunculkan konflik, yaitu konflik antara yang akan diubah, pengubah dan kebaruan yang lahir dari perubahan itu sendiri.Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula.Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi liar dan kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi tatanan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena itu, manajemen politik yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik, sehingga dapat menjadinya sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan yang menghancurkan.Kemampuan manajemen politik itu akan ditentukan oleh seberapa jauh dapat menyerap hakikat pendidikan multikultural. Jika tidak, maka manajemen politik akan berubah menjadi manajemen bisnis politik konflik, yaitu menjadikan konflik, sebagai bisnis politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar bagi kepentingan dirinya sendiri.Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami pasang surut. Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa makin menguat dan bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan kekuatan perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan kemerdekaan. Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat perlawanan terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena agama yang mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa yang lainnya. Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus dilawan oleh siapa pun.Akan tetapi, setelah kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah kita untuk menata kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan usaha membagi-bagi kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan membagi kekuasaan ternyata mempunyai kaitan dengan akar-akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang berbasis fanatisme ras, suku dan keagamaan.Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan membuat persatuan bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan sering kali memperlemah rasa persatuan dan solidaritas kebangsaan.Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia. Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang ada, tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan yang multidimensional. Dan, di dalamnya adalah pendidikan multikultural.

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:J38al8Xn7YIJ:www.wahanakebangsaan.org/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview%26id%3D38%26Itemid%3D33+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=44&hl=id&ct=clnk&gl=id

Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; “Sebuah Pilihan Sejarah”

21 January 2009 Pendidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut dua substansi aras kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya pemanusiaan dirinya, juga secara berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan dunia di sekitarnya (man humanizes himself in humanizing the world around him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22). Kenyataan ini nampaknya amat begitu diinsafi oleh para designer awal dan founding fathers bangsa ini, hingga kemudian cita-cita yang megkristal dalam tujuan pendidikan nasional (Mukaddimah UUD ‘45) kita, betul-betul terarah ke pengertian seperti itu.
Dalam prakteknya, pengejawantahan cita-cita pendidikan nasional, nampaknya tidak harus melulu ditempuh melalui jalur formal secara berjenjang (hierarchies), yang dilaksanakan mulai dari Pendidikan Pra-Sekolah (PP. No. 27 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Dasar (PP. No. 28 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Menengah (PP. No. 29 Tahun 1990) dan Pendidikan Perguruan Tinggi (PP. No. 30 Tahun 1990), akan tetapi juga mengabsahkan pelaksanaan pendidikan secara non-formal dan in-formal (pendidikan luar sekolah) (UU Sisdiknas, 2003). Artikulasi pendidikan terakhir ini, basisnya diperkuat mulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan swasta.
Paralel dengan pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam pelbagai bentuk dan ragamnya, terdapat satu institusi pendidikan yang telah mengakar lama dalam sejarah pendidikan di Indonesia, yaitu terutama pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren (Islamic boarding school). Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ia telah terbukti banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) pada aspek penguasaan sains dan tekhnologi an sich, melainkan juga lebih concern dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah).
Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya ‘masyarakat informasi’ (the informasional society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high-tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren ‘dipaksa’ memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan ‘ala pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya (Karel Steenbrink, 1994, 167), tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.
Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias “kuno”, maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik?
Memahami Watak Tradisionalisme PesantrenPersoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As’ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata ‘adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140).
Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, “al-Muhafadhah ‘ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah” (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.
Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren. ?

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:MxNQaWRozwwJ:warnadunia.com/membongkar-tradisionalisme-pendidikan-pesantren-sebuah-pilihan-sejarah-sebuah-artikel/+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=41&hl=id&ct=clnk&gl=id

Keterampilan Kejuruan Pacu Kreativitas

Arah kebijakan dan tujuan pendidikan kecakapan hidup di lingkungan pendidikan nonformal dan informal (PNFI) adalah untuk mengakrabkan peserta didik dengan kehidupan nyata. Pendidikan vokasional yang berorientasi pada pembekalan kecakapan hidup merupakan bisnis inti dari pendidikan nonformal. Penanaman penguasaan keterampilan vokasional memacu kreativitas dan mengembangkan pemahaman peran individu dalam kehidupan sosial. Hal tersebut disampaikan Direktur Pendidikan Kesetaraan Ella Yulaelawati membacakan sambutan tertulis Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi pada Workshop Pendidikan Nonformal Bidang Vokasional di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (10/04/08). Ella menyampaikan, pendidikan kecakapan hidup merupakan isu sentral dalam pelayanan pendidikan. "Hal tersebut merupakan jembatan penghubung antara penyiapan peserta didik di lembaga pendidikan dengan masyarakat dan dunia kerja," katanya. Ella menjelaskan, program kecakapan hidup diselenggarakan melalui permainan edukatif pada pendidikan anak usia dini. Selain itu, juga melalui pembekalan kecakapan membaca, menulis dan berhitung bagi peserta pendidikan keaksaraan fungsional. Program lainnya berupa pembinaan kursus kewirausahaan desa, kursus kewirausahaan kota , dan kursus paraprofesi. Sementara, lanjut Ella, di Direktorat Kesetaraan, pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum dalam bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. "Di samping pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek dengan pendekatan tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di wilayahnya." Dalam workshop yang diselenggarakan bekerjasama dengan German Technical Cooperation (GTZ) dipaparkan hasil penelitian tentang pelatihan vokasional pada pendidikan nonformal. Studi dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap sebanyak 1834 peserta kursus (719 peserta masih mengikuti kursus dan 1115 telah menyelesaikan kursus) dan 174 penyedia kursus, termasuk pemerintah dan swasta. Susanna Adam, Ketua Tim Peneliti memaparkan, sebanyak 84 persen peserta pelatihan menyatakan keinginannya untuk membuka usaha secara mandiri. Sementara dari hasil penelitian, sebelum diselenggarakan pelatihan sebanyak tujuh persen peserta telah melakukan usaha mandiri. "Usia mengikuti pelatihan sebanyak sembilan belas persen telah mampu melakukan usaha mandiri," katanya. Susanna menyebutkan, penelitian dilakukan di tiga provinsi yakni, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jawa Barat. Menurut dia, tiga daerah yang dipilih ini karena mempunyai latar belakang dan masalah yang berbeda-beda. "Aceh dengan daerah yang pasca konflik dan tsunami, NTT daerah yang masih tertinggal, dan Jawa Barat sebagai daerah yang sudah berkembang," ujarnya.***

Sumber: Setjen.diknas.go.id

Pendidikan informal di NTT :masyarakat awam belum paham

Sebagian besar masyarakat awam di NTT ternyata belum paham tentang apa itu pendidikan nonformal. Padahal dana miliaran rupiah setiap tahun telah digelontorkan untuk menanggulangi masalah pendidikan yang satu ini. Hal ini menjadi salah satu nada minor untuk sukses pendidikan di NTT. Menghadapi tantangan globalisasi, sumberdaya manusia NTT hingga pelosok-pelosok desa harus terus ditingkatkan. Apalagi kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik pun masih jauh dari standar. Lalu salahnya dimana?Kupang, Aktualita NTT Demikian penegasan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Thobias Uly, M.Si dalam rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur 2009, Selasa, (10/03/09) di Aula UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Uly mengatakan, menghadapi kenyataan ini, mestinya semangat dan kerja keras terus dipacu untuk mensosialisasikan berbagai program pendidikan nonformal tersebut. Sehingga program pendidikan nonformal benar-benar berdampak pada peningkatan pengetahuan, taraf hidup dan perbaikan ekonomi masyarakat.Upaya mewujudkan program tersebut kata Uly, dilakukan secara bertahap melalui berbagai kegiatan. Antara lain, peningkatan Sumber Daya Pendidik dan Tenaga Kependidikan Nonformal dan Informal, melalui kegiatan pendidikan dan latihan; Pendidikan penjenjangan, kursus dan magang. Serta pengembangan berbagai program berbasis masyarakat melalui pembentukan berbagai program seperti : program Anak usia Dini, program kesetaraan (Paket A, B dan C setara), program keaksaraan (pemberantasan buta aksara), kelompok belajar usaha, life skill (keterampilan) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia menambahkan, dengan telah dibukanya berbagai program pendidikan anak usia dini (kelompok bermain, tempat penitipan anak dan satuan PAUD sejenis), program kesetaraan ( paket A, B, dan C setara ), program life skill seperti: kursus komputer, laboratorium bahasa, Informasi Teknologi, kursus menjahit dan kursus kecantikan di kampus UPT2PNI ini, diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat NTT yang membutuhkan pendidikan nonformal dan informal.
Pada tempat yang terpisah Kepala UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dra. Maria Patricia Sumarni mengatakan, upaya pemerintah melaksanakan rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal dan informal, dengan maksud untuk menyamakan presepsi dan membangun komitmen bersama dengan jajaran PNF di wilayah NTT, Subdin PLS Kabupaten/Kota, UPT PPNFI, Subdin Bina PLS Provinsi dan UPTD SKB termasuk mitra terkait, untuk dapat merumuskan suatu perencanaan pelaksanaan dan evaluasi program PNF yang terpadu dan sinergis.


Kepala UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dra. Maria Patricia Sumarni

Sinergitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, diyakini akan mampu menjadikan program-program PNF yang efektif, efisien dan berkualitas sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan serta bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dan yang paling utama sebagai sasaran program PNF adalah peningkatan harkat, martabat dan kualitas kehidupan masyarakat.
Dikatakannya, tujuan dari kegiatan perencanaan dan penyusunan program PNF di UPT PPNFI Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni menyampaikan strategi Kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang pendidikan nonformal dan informal. Disamping menyamakan presepsi, gerak dan langkah dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Program PNF terpadu dan sesuai Tupoksi masing-masing. Untuk itu harus selalu ada komitmen bersama jajaran PNF dalam pelaksanaan program PNF di lapangan.
Peserta rapat dalam kegiatan perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal terdiri dari, Kepala Bidang PLS Kabupaten/Kota, Kepala SKB Kabupaten/Kota dan Kepala Bidang yang membidangi Pendidikan pada Bappeda Kabupaten/Kota serta Pamong Belajar SKB Kabupaten/Kota.Hasil yang diharapkan dalam Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) yakni: tersosialisasi kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang Pendidikan dan adanya komitmen, presepsi yang sama untuk pelaksanaan program PNF di Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan masing-masing.
Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) merupakan langkah strategis bagi peningkatan kualitas program PNF di masa mendatang. “Melalui kegiatan ini kita harapkan terwujudnya sebuah kerjasama dan sinergitas seluruh jajaran PNF yang ada di Nusa Tenggara Timur. Pedoman ini juga diharapkan agar mampu memberikan arah yang baik bagi pelaksana kegiatan dimaksud, sehingga komitmen yang kuat dijajaran PNF dapat memupuk pondasi bagi aksesnya penyelenggaran program PNF di lapangan,” tutur Sumarni.
http://72.14.235.132/search?q=cache:dFGSFeBuukAJ:aktualita-ntt.com/index.php%3Foption%3Dcom_content%26view%3Darticle%26id%3D63:pendidikan-nonformal-dan-informal-di-ntt-masyarakat-awam-belum-paham%26catid%3D31:kupang%26Itemid%3D63+artikel+pendidikan+informal&cd=83&hl=id&ct=clnk&gl=id
Sumber :

Egoisme Keagamaan

Penulis : Daniel Zacharias
Rasa-rasanya judul tulisan ini dapat disebut sebagai suatu kemustahilan! Apakah ada yang namanya fenomena egoisme keagamaan? Sebab rasanya tidaklah mungkin sebuah agama mengajarkan, menganut, atau memberlakukan sebuah egoisme. Agama di mana pun, baik nada maupun syairnya selalu bersifat anti egoisme, agama mana pun senantiasa mengarahkan umatnya pada suatu kepedulian yang bukan hanya mengarah pada diri mereka sendiri (ego) saja, tetapi juga pada yang bukan diri mereka sendiri. Agama mana pun senantiasa menebar suatu perhatian yang tidak memuaskan dan membahagiakan ego belaka tetapi juga pada yang bukan ego.
Namun nilai ideal bagi agama yang menjadi tolak ukur bagi segala sesuatu yang �€Ã¯Â¿Â½mustahil�€Ã¯Â¿Â½ atau "tidak mungkin" seperti yang dimaksud di atas malah menjadi "mungkin", bahkan "lebih dimungkinkan lagi". Tak dapat dipungkiri lagi kalau kenyataan di lapangan tidak berbanding lurus dengan semua nilai-nilai yang ideal tersebut. Kenyataan di lapangan kerap kali justru berbanding terbalik dengan semua nilai-nilai mulia keagamaan.Buktinya, kerusuhan dan pertumpahan darah karena agama atau karena membela agama bukan baru terjadi di abad ini dan di negeri ini saja, tetapi sudah berlangsung berabad-abad. Perang Salib (1096-1291) misalnya, berlangsung pada masa Perang Salib I-VII, yang bertolak bukan sekedar permainan politis tetapi lebih pada sebuah lontaran yang keras dari sebuah meriam fanatisme keagamaan yang sudah memanas. Untuk menjadikan usaha ini otentik dalam pandangan agama, maka para pejuang yang karena membela agamanya gugur kemudian dijuluki dengan penghormatan tertinggi sebagai seorang martir atau syuhada. Mereka kelak akan disebut �€˜pahlawan�€™ di surga dan mendapat pahala yang besar. Akibatnya, siapa sih yang tak mau masuk ke surga walau resikonya harus mengorbankan nyawa sendiri padahal sebelumnya lebih dahulu mengorbankan nyawa orang lain? Di titik inilah pemikiran rasionil keagamaan sudah mengalami kompromi yang jauh melenceng! Praktis, agama sekarang menjadi kendaraan bukan untuk memperhatikan sesama lagi, tetapi suatu kendaraan yang memungkinkan seseorang meraih kentungan-keuntungan demi kepuasan dan pencapaian keinginannya yang cenderung tidak teologis tetapi egois.
Seorang Misionaris Yesuit Amerika yang tinggal di Filipina sekitar 10 tahun (sebagaimana dikutip C. S. Song) mengungkapkan keprihatinannya mengenai jangkauan misioner gereja-gereja di Barat yang sangat mencerminkan eksklusivitas klaim mengenai keselamatan dalam bukunya Spirituality of Mission dengan mengatakan, �€œKebanyakan misionaris di abad-abad yang lampau mengambil sikap amat negatif atas kemungkinan keselamatan di luar Gereja�€Ã¯Â¿Â½ [1987, hlm. 124].
Egoisme keagamaan tak lain dan tak bukan dipicu oleh sebuah anggapan yang kemudian pada masa tertentu telah mengental menjadi sebuah doktrin, dan kemudian memadat menjadi sebuah fanatisme yang terwujud dalam sebuah egoisme yang berbaju agama. Akibatnya bila ada sebuah anggapan yang benar, maka doktrin menjadi sehat, dan fanatisme otomatis gugur, lalu secara otomatis pula egoisme keagamaan pun tak akan pernah lahir. Dalam bahasa teologi, anggapan seperti yang dimaksud di atas dapat disebut sebagai hermeneutika. Hermeneutika yang sehat melahirkan teologi yang benar dan sebaliknya.
DR. Alwi Shihab dalam wawancaranya di sebuah majalah rohani Kristen mengatakan, bahwa friksi yang terjadi antar agama sering disebabkan oleh ditampilkannya atau penekanan yang berlebihan pada teks-teks eksklusif dalam kitab suci masing-masing khususnya yang berkaitan dengan keselamatan. Keadaan ini bukan saja terjadi di dalam kelompok non-Kristen tetapi kelompok Kristen sendiri kerap senang sekali menunjukkan superioritas sendiri dan menganggap kelompok yang lain sebagai pecundang. Saya menilai hal ini merupakan faktor yang memungkinkan munculnya sikap egoisme tersebut.
Sebelum menyoroti hal ini lebih jauh, ada baiknya kita meninjau ke belakang terhadap teks-teks Alkitab sendiri sehu-bungan dengan pembahasan ini. Allah memang pernah berjanji untuk memberkati Abraham dan keturunannya [Kej 12]. Allah bahkan membentuk suatu paguyuban orang-orang beriman yang memakai panji-panji kebesaran nama Abraham dalam sebuah bangsa yang bercikal bakal dari keturunannya sendiri yang disebut Israel. Tak cukup dengan itu, Ia malah membebaskan paguyuban kesayangan-Nya itu dari tirani Firaun yang sok ilahi dan berkuasa, mengubah status mereka dari budak kerja rodi menjadi orang-orang yang otonom-teokratis serta berdaulat di atas tanah yang awalnya bukan milik mereka. Ia menyediakan bagi mereka tempat berdiam mereka laksana rumput yang hijau dan air yang tenang. Akibatnya saat mereka harus dibuang karena dosa mereka sendiri, paguyuban itu merasa tidak mungkin Allah berbuat seperti itu mengingat mereka adalah kesayangan-Nya. Apalagi ketika Allah memakai bangsa lain untuk memukul mereka, paguyuban itu tetap menganggapnya sebagai kesalahan dan kebiadaban bangsa-bangsa lain itu sendiri. Mereka tidak pernah atau bahkan tidak pernah akan percaya kalau Allah memakai bangsa lain juga. Rupanya pilihan Allah dan perlindungan Allah selama ini tidak mengarahkan mereka untuk menjadi ingat pada bangsa lain, tetapi justru mereka malah semakin berusaha mengikat dan membelenggu Allah dengan anggapan mereka sendiri sehingga fanatisme mereka menjadi begitu berlebihan. Teologi parti-kularistis muncul dengan anggapan bahwa YHWH (Adonay) adalah milik Israel dan Elohim adalah Allah bagi mereka saja. Keadaan ini menjadi semakin buruk bila melihat sikap bangsa lain yang justru membenci ibadah Israel dan menolak YHWH sebagai Tuhan, akibatnya bangsa Israel semakin eksklusif dan memeluk teologi partikularistis semakin erat.
Persoalan teologi partikularitis adalah masalah hermeneutis. Allah yang luar biasa itu, yang Salomo sendiri akui tak dapat merumahkan-Nya [II Taw 2:6], malah dikerangkeng Israel dalam sebuah teologi manusia yang penuh egoisme dan keangkuhan. Sang Ultim yang bergerak dan bekerja bebas bagi dunia universal dipersempit ruang gerak-Nya dalam kotak sempit hermeneutis Israel yang pengap dan panas lagi sesak. Pola Allah yang memberkati semesta melalui keturunan Abraham ternyata diintepretasikan Israel keliru. Allah melalui Israel dipahami menjadi Allah untuk Israel. Agaknya saya harus mempertimbangkan istilah �€œmelalui�€Ã¯Â¿Â½ bila mengingat keengganan C. S. Song menggunakan �€œteologi perwalian�€Ã¯Â¿Â½ atau �€œteologi anak tiri�€Ã¯Â¿Â½ [Allah Yang Turut Menderita; 1990: 54-55, 78]. Intepretasi Israael yang keliru ini kemudian melahirkan teologi partikularistis, lalu membentuk fanatisme dan egoisme keagamaan.
Kisah di mana Allah menyelamatkan tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab seperti Rahab sekeluarga melalui dua orang pengintai, kemudian Rut melalui Naomi, setidaknya telah membuka sedikit jendela kemungkinan tentang ketiadaan teologi partikularistis itu di pikiran Allah sendiri.
Anggapan seperti dimaksud di atas tergambar dengan jelas dan diperkuat oleh narasi Yunus [Yunus 1:1-17; 4:1-10]. Kisah Yunus memang sering jarang sekali dipakai sebagai bahan acuan untuk masalah ini (Yesus sendiri menghubungkan kisah ini dengan konsep Kebangkitan) [Mat 12:38-42; Luk 11:29-32]. Kesulitannya terletak pada beberapa orang yang mempermasalahkan historitas kisah tersebut. Akibatnya perdebatan seputar historitas meluputkan tujuan penulisan narasi Yunus. Perlu dikomentari di sini bahwa pembuktian historitas kisah Yunus seakurat apapun tak memberi sumbangan yang berarti. Baik kisah itu historis maupun tidak, narasi Yunus ingin menampilkan suatu pandangan teologi yang anti-partikularistis. Dapat dipastikan kisah ini dimunculkan oleh mahzab yang sedikitnya sudah mampu menangkap nilai universal tindakan Allah bagi seluruh bangsa dan bukan Israel saja.
Sikap Yunus menggambarkan betapa hermeneutikanya terhadap tindakan Allah sangat sempit. Koreksi Allah terhadap hermeneutika Yunus terlihat dari kisah "pemaksaan" melalui "badai" (1:4, gambaran dari pembatalan terhadap pola hermeneutika Yunus) dan "ikan" (1:17, gambaran dari pencapaian makna tindakan Allah yang sebenarnya).
Posisi hermeneutika seperti Yunus anehnya masih saja dianut dan dikerjakan orang beragama manapun. Fanatisme selalu menjadi masalah. Fanatisme merupakan pengkhianatan terhadap ajaran agama itu sendiri. Fanatisme merupakan pembuktian kurang luasnya seseorang memahami perbuatan Allah atau ajaran agamanya. Fanatisme secara hakiki adalah egoisme yang berbulu agama. C. S. Song dalam keprihatinan yang sama menonjolkan teolog Deutero Yesaya dalam menguraikan tentang Hamba Yang Menderita [Yes 53]. Melalui konsep ini teolog Deutero Yesaya mengambil langkah berani dari sentrisme Israel ke pandangan yang jauh lebih tentang bangsa-bangsa [1990: hlm. 69]. Selanjutnya ia mengatakan bahwa siapapun diri Hamba yang Menderita itu, ia bukan lagi suatu tokoh nasional yang dikurung dalam batas-batas Israel [Yes 42:1, 4: 49:6, 53:9]. Hamba yang Menderita itu tak dapat dijelaskan oleh Israel saja. Ia melompat keluar kotak iman dan kehidupan sempit yang telah memberi Israel jatidiri nasional dan keagamaannya [1990: hlm. 70-71].
Pada akhirnya C. S. Song dengan tegas mengatakan, �€œAllah tampaknya bersifat rahasia hanya bagi mereka yang ingin memonopoli dan menguasai Allah. Mereka merasa tertipu ketika Allah juga berkenan dengan bangsa-bangsa lain dan memihak lawan-lawan mereka�€Ã¯Â¿Â½ [1990: hlm. 79].
Akhir-akhir ini kita diperhadapkan pada suatu pertikaian yang berbau SARA (khususnya agama �€“ saat tulisan ini dibuat Ambon bergolak kembali). Baik di kalangan Islam maupun Kristen masing-masing (walaupun tidak diakui terang-terangan, namun dalam tindakan dan sikapnya terlihat dengan jelas) masih menyimpan egoisme keagamaan. Superioritas yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya yang menyimpan dan mewarisi "kebenaran" dan �€œkeselamatan�€Ã¯Â¿Â½ membuat eksklusivitas (sikap separatis) makin kentara bahkan menjadi-jadi.Kritik bagi gereja sebenarnya sudah cukup banyak. Sikap gereja yang berusaha menerima kepelbagaian dalam segi iman terkadang masih plin-plan. Masih ada anggapan dari pihak gereja sendiri bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan. Orang Kristen juga hampir meniru tindakan orang Israel dalam memperlakukan Allah. Untuk urusan dalam kepelbagian antar denominasi di kalangan Protestan saja seringkali tidak ada kesepakatan. Sikap eksklusif yang tadinya hanya untuk antar agama saja ternyata makin menyempit ke dalam konteks antar denominasi. Bayangkan! Maka janganlah kita heran bila sikap ekumenis dari beberapa gereja tertentu seringkali ditanggapi sebagai sekedar kertas-kertas kerja dan semboyan saja. Berapa gereja sih sebenarnya yang masih bisa saling memperhatikan? Berapa gereja yang justru tidak peduli satu sama lain? Berapa? Dan sejauh mana?
Pengalaman saya berkeliling di beberapa pelosok Nusantara ini menunjukkan fenomena ini ternyata bukan rekaan saja. Gereja yang satu dapat menjadi �€œsandungan�€Ã¯Â¿Â½ bagi gereja lain. Gereja satu menertawakan organisasi atau teologi gereja lain. Seolah-olah gereja yang sudah �€œlama�€Ã¯Â¿Â½ berdiri, di dalamnya penuh dengan anggota-anggota senior yang turut mendirikan, pelayannya lulusan sekolah-sekolah teologi atau seminari luar negeri yang berstrata magister sampai doktoral, dan telah menjadi anggota kelompok ekumenis tertentu (saya kuatir kalau yang satu ini adalah wujud eksklusivisme baru), dapat disebut pewaris ortodoksi dan gereja lain tidak! Di sisi lain gereja-gereja yang �€œbaru�€Ã¯Â¿Â½ berdiri, entah karena memang benar-benar baru, atau kepingan-kepingan dari yang pernah ada lalu pecah, atau pelarian dari gereja-gereja sebelumnya, menghembuskan asap pandangan yang mengesankan seolah-olah upaya yang �€œbaru�€Ã¯Â¿Â½ itu sebagai suatu upaya pembaruan atau kritik terhadap yang �€œlama�€Ã¯Â¿Â½. Kelompok yang mengatakan dirinya sudah �€œlama�€Ã¯Â¿Â½ itu menganggap dirinya sudah matang dan mewarisi suatu yang sudah lama yakni ortodoksi tulen yang mungkin sudah berdebu dalam kotak wasiat yang tersimpan berabad-abad dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang otentik. Sedangkan yang �€œbaru�€Ã¯Â¿Â½ menganggap dirinyalah yang membawa kembali atau menemukan ortodoksi yang sudah lama hilang dan mencoba melakukan pembaruan di sana sini sekaligus menggemboskan yang �€œlama�€Ã¯Â¿Â½. Kedua kelompok ini punya sekolah teologi sendiri-sendiri. Lulusan dari yang �€œlama�€Ã¯Â¿Â½ sulit diterima sebagai seorang pendeta di gereja �€œbaru�€Ã¯Â¿Â½ dengan alasan yang sudah basi: �€œliberalis dan cenderung rasionalis�€Ã¯Â¿Â½ dan lulusan yang �€œbaru�€Ã¯Â¿Â½ juga mengalami kesulitan memasuki benteng tua gereja �€œlama�€Ã¯Â¿Â½ dengan alasan yang sama basinya: �€œtidak seazas dan berkesan fundamentalis-karismatis-pietis�€Ã¯Â¿Â½. Bayangkan!
Eka Darmaputera selaku penyunting buku Festchrift HUT ke-70 DR. PD. Latuihamallo yang dikerjakan secara keroyokan itu [Konteks Berteologi Di Indonesia; 1991: hlm. 4] mengungkapkan adanya polarisasi (?) mulai dari tingkat sinodal bahkan tingkat nasional. Saya menduga kalau polarisasi itu merupakan suatu bentuk ekslusivitas baru yang disebabkan adanya perbedaan pada masalah siapa yang lebih tepat hermeneutikanya sehingga ajaran gerejanyalah yang sedikit banyak atau mungkin sama dengan ajaran ortodoks. Dan mereka menganggap diri mereka sebagai pewaris �€˜sui generis�€™ ortodoksi. Padahal bila kita membaca James G. Dunn dalam bukunya yang berjudul Unity and Diversity in New Testament [1977: hlm. 1-7] maka kita akan menjumpai di sana bahwa tak satu gereja atau denominasi pun yang dapat menobatkan dirinya sebagai yang mewarisi ortodoksi (baca: satu-satunya kebenaran). Dari sini kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa kita tidak dapat terhindar dari egoisme keagamaan bila kita tidak segera keluar dari sana. Baiklah kita coba untuk mengajukan suatu praanggapan sekarang. Masalahnya adalah kalau ternyata agama selama berabad-abad justru menjadi bungkus yang membedakan manusia dengan yang lain dan turut menjadi alasan untuk membinasakan mereka yang berbungkus lain, mengapa agama masih tetap dipertahankan? Bukankah tanpa agama pun seseorang dapat sampai kepada Allah? Mengapakah iman kita pada Allah harus dikerangkeng oleh suatu merek agama tertentu? Manusia yang sudah terkondisi dengan kebanggaan agama merek tertentu tidak segan-segan untuk memihak dan menjadi kurang obyektif dalam memandang karya keselamatan yang Allah sediakan secara universal.
Memang agama tak bersalah, tetapi manusia yang memperlakukan agama itulah yang salah. Di mata saya agama hanyalah suatu sistem relasi vertikal serentak horisontal. Bila sistem agama ini tak berjalan baik mengapa harus dipertahankan? Atau mengapa tidak mereformasi saja (atau bahkan membuang?) sistem yang sudah tak fungsional lagi. Sebab mempertahankan suatu paradigma yang terlanjur terkotak-kotak dan malah menimbulkan nilai-nilai egoisme, sama saja artinya dengan suatu upaya mempertahankan status quo belaka.
Seseorang, dalam praanggapan ini, dapat saja datang pada Allah yang hidup tanpa harus memakai baju agama. Bagi saya beragama memang harus ber-Allah, tetapi untuk ber-Allah seseorang tak harus beragama. Sebab baik dengan maupun dalam agama tidak ada suatu jaminan yang membuat seseorang benar-benar ber-Allah. Apakah Allah pernah menyuruh seseorang beragama atau menganut agama tertentu? Setahu saya Allah hanya pernah memerintahkan agar manusia percaya dan taat pada-Nya saja. Namun bila ada yang tak setuju dengan saya, maka saya pun tetap menghargainya. Namun berhati-hatilah agar agama yang anda anut tidak menendang keluar Allah dari posisi-Nya, atau malah membelenggu-Nya seolah-olah Allah punya agama favorit, atau agama tertentulah yang lulus dari akreditasi Allah, atau dengan istilah agama tertentulah maka sebuah agama dapat disebut sebagai agamanya Allah.
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit agama yang dengan arogan menyebut dirinya benar dan kemudian menunjukkan keeksklusifannya sekaligus keberingasannya. Ini memang nyata, tetapi masalahnya koq mengapa ada agama yang beringas? Apa memang ada agama yang karakternya beringas? Atau doktrinnya mengajarkan keberingasan sebagai sesuatu yang etis? Saya tak membantah realitas di atas, malah semakin mempertajam anggapan saya terhadap praanggapan perlu tidaknya agama itu dipertahankan. C. S. Song masih dalam buku yang sama mengatakan bahwa, �€œAgama Taurat inilah yang ditantang oleh Yesus. Dan agama yang sama ini pula yang belakangan mengirim-Nya ke kayu salib�€Ã¯Â¿Â½ [1990, hlm. 52].
Bagi saya sebaiknya agama yang tak mau mengadakan rekoreksi tidak perlu dipertahankan. Biarlah seseorang sampai pada Allah yang diyakininya tanpa harus terbungkus dalam agama tertentu, termasuk Kristen. Tak beragama sama sekali berbeda dengan tidak ber-Allah. Yesus dalam kehadiran-Nya di dunia sama sekali tidak mengubah agama Yahudi ke agama Kristen. Yesus menjadi besar dalam lingkungan Yahudi dan sinagoge. Ia memang tidak memprotes agama Yahudi lalu membentuk agama Kristen. Ia memang memprotes orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, tetapi pada soal hidup keagamaan orang Yahudi. Namun sampai Yesus terangkat ke sorga pun agama maupun hidup keagamaan orang-orang Yahudi tak menjadi lebih baik. Yesus pernah memperingatkan para murid-Nya agar hidup keagamaan mereka harus lebih benar dari hidup keagamaan orang Farisi dan ahli Taurat [Mat 5:20]. Menurut Henk ten Napel peringatan Yesus disebut sebagai upaya mengajukan sebuah �€œkebenaran yang lebih benar�€Ã¯Â¿Â½ [Jalan Yang Lebih Utama Lagi; 1990, hlm. 79]. Saya ingin menyoroti istilah Henk ten Napel secara pribadi. Bila orang Farisi dan ahli Taurat merasa bahwa apa yang mereka �€œanggap�€Ã¯Â¿Â½ (hermeneutika Farisi dan ahli Taurat) baik dalam praktek dan ajaran itu sudah �€œbenar�€Ã¯Â¿Â½ dan ternyata di �€œmata Yesus�€Ã¯Â¿Â½ (hermeneutika Yesus) hal itu masih �€œsalah�€Ã¯Â¿Â½, ini berarti salah satu dari kebenaran itu palsu dan yang lain tulen. Istilah Henk ten Napel ini mengisyaratkan kita untuk berwaspada pada klaim kebenaran-kebenaran yang kita buat dan kita anggap itu sudah benar.
Peringatan Yesus dalam masalah di atas ini dapat bersisi ganda. Dapat berarti Yesus mengecam cara beragama atau agama itu sendiri tak lagi berperan. Tetapi di sini kelihatannya yang lebih mungkin adalah Yesus mengecam sikap keagamaan itu sendiri. Kelompok semi-separatis seperti orang Farisi yang mengka-tegorikan dirinya sebagai orang yang tidak tercemar hal-hal sekuler dan duniawi masih dianggap Yesus sebagai cara hidup keagamaan yang masih perlu dikoreksi. Artinya sikap keagamaan yang masih memupuk keegoisan dan masih berorientasi pada diri sendiri akan tetap menjadi suatu sandungan bagi perdamaian dan pemahaman antar manusia dalam jagad yang semakin renta ini.
Selanjutnya melalui tulisan ini, kita selaku orang yang beragama diharapkan secara kritis mempertanyakan dan mengkaji ulang hidup keagamaan kita. Pendidikan Agama Kristen (selan jutnya PAK) sebenarnya sudah cukup makan asam garam ditunggangi oleh pikiran-pikiran teologi. Harold W. Burges [An Invitation To Religious Education, 1975: 15] secara jelas menyatakan bahwa dasar teologi yang dipilih secara sadar maupun tidak menentukan rumusan atau pengertian tentang (1) tujuan PAK, (2) isi PAK, (3) guru, (4) naradidik, (5) lingkungan pembelajaran, (6) evaluasi. R. C. Miller malah secara terang-terangan menyebut teologi itu sebagai �€œthe Clue�€Ã¯Â¿Â½ buat PAK. Agaknya kini tiba saatnya PAK memberikan sumbangsih pemikirannya sendiri dalam telaah kritis terhadap teologi yang menjadi dasar yang tidak bisa tidak harus berkaitan dengan agama itu sendiri dan diri PAK sendiri.
Saya tertarik pada apa yang dikatakan C. S. Song bahwa tugas teologi saat ini bagi kita di Asia adalah berjumpa dan menemui Allah yang mungkin ada di �€œtempat-tempat tersembunyi�€Ã¯Â¿Â½ dari bangsa-bangsa dan orang-orang, agama-agama dan budaya-budayanya [1990: 48]. DR. Kadarmanto Hardjowasito sudah merintis ini dalam konteks PAK di Indonesia dalam tulisannya yang berjudul �€œPendidikan Agama Kristen Dalam Konteks Masyarakat Indonesia Yang Majemuk�€Ã¯Â¿Â½ dengan tujuan tidak untuk mengecilkan fungsi gereja tetapi untuk menemukan dan merumuskan makna panggilan kehadiran gereja dalam konteks yang majemuk [Berakar di atas Dia dan Bertumbuh di Dalam Dia; 1998: 107-123]. Dalam kuliahnya beliau tetap konsisten, ia sangat menekankan keprihatinannya pada buku-buku teks pelajaran agama di sekolah-sekolah menengah baik yang diterbitkan dalam kalangan Protestan dan Islam yang belum sama sekali memasukan ide �€œsaling memahami dan menerima�€Ã¯Â¿Â½ antara penganut agama satu dengan lainnya dalam konteks Indonesia yang majemuk. Akibatnya generasi muda tetap akan terkondisi dengan bahaya �€œegoisme keagamaan�€Ã¯Â¿Â½. Generasi muda yang tidak disiapkan sejak dini tak dapat dituntut kelak akan bersikap �€œmenerima kemajemukan�€Ã¯Â¿Â½ secara otomatis.
Saya sempat kaget ketika pertama kali membaca artikel-artikel filosofis seputar pertengkaran agama dalam Burung Berkicau-nya Anthony de Mello yang dengan sinis menyajikan Yesus yang sangat �€œterganggu�€Ã¯Â¿Â½ dengan sikap ekshibisonis agama-agama dalam �€œPasar Malam Agama�€Ã¯Â¿Â½ [1984: 180] dan bagaimana Yesus sendiri tidak memihak di satu agama pun dalam �€œYesus Menonton Pertandingan Sepak Bola�€Ã¯Â¿Â½ [1984: 182]. Hal ini mencerminkan betapa egoisme keagamaan memang bukan hanya keprihatinan belaka.
Kalau memang kita (juga orang-orang PAK) tidak segera dengan kritis mengadakan reintepretasi sekaligus rekoreksi terhadap hidup keagamaan atau bahkan agama yang kita anut maka kita akan menerima situasi yang lebih buruk atau paling buruk. Atau kita mulai menilik kembali pola hermeneutis yang baru yang sungguh-sungguh kontekstual (bukan cuma sampai bentuk tesis dan disertasi atau contoh-contoh dalam kelas). Konteks kita benar-benar majemuk. Banyak yang ragu seputar siapa yang akan memulai. Pihak gereja atau yang lain?
Dalam pertemuan Departemen Agama dan Dosen-dosen PAK serta mahasiswa S-2 PAK di Cisarua, DR. Kadarmanto menjawab masalah ini dengan mengatakan, �€œBahwa untuk memulai sesuatu yang baik kita tidak perlu menunggu orang berbuat yang baik terlebih dahulu�€Ã¯Â¿Â½. Maka demi tercapainya suatu maksud soteriologi Allah yang universal dan demi kebaikan dan perdamaian dalam kehidupan umat manusia sejagad maka sebaiknya mulailah berbuat yang baik dengan kita mengoreksi ketidakpedulian dan kekurangan-kekurangan kita lebih dahulu. Mengapa tidak? The Decision is depend on us!
http://72.14.235.132/search?q=cache:6ujsAUB-ZUYJ:artikel.sabda.org/egoisme_keagamaan+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=36&hl=id&ct=clnk&gl=id
Sumber :

Mendiknas Protes Tayangan Smack Down

Mendiknas Protes Tayangan Smack Down JAKARTA, SELASA--Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menilai tayangan smack down yang mempertontonkan adegan brutal sangat tidak mendidik dan telah menuai protes dari masyarakat. Karena itu, sebaiknya pengelola televisi belajar UU Sisdiknas sebelum menayangkan suatu acara, apalagi sifatnya kekerasan seperti smack down, kata Bambang kepada pers usai beraudiensi dengan Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan Tahun 2006 di Gedung A Depdiknas, di Jakarta, Selasa (28/11). Dalam UU Sisdiknas, menurut Bambang, proses pendidikan berlangsung dari jalur formal dan informal, di mana televisi merupakan pendidikan jalur informal yang memiliki tanggungjawab sama terhadap proses pendidikan. Bambang mengakui banyak televisi yang kurang menyadari kandungan dari acara-acara yang ditayangkan. Padahal setiap acara yang ditayangkan televisi memiliki peran besar terhadap pendidikan informal. Jadi ketika acara sedang ditayangkan, sebetulnya proses pendidikan itu sedang berlangsung. Dan anak-anak otomatis sedang ikut mempelajarinya, katanya. Karena itu, sebaiknya pengelola televisi tidak hanya mempertimbangkan aspek %@!#$&nya atau komersil murni dalam memilih jenis tayangan atau acara. Aspek mendidik juga harus dikedepankan terutama terhadap anak-anak, katanya. Selain tayangan smack down, banyak keluhan yang disampaikan masyarakat soal tayangan kekerasan di televisi. Umumnya tayangan tersebut sangat tidak mendidik anak-anak. Pada kesempatan terpisah, pimpinan DPR mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar segera mengambil sikap dan memutuskan tindakan terhadap tayangan smack down, sehubungan dengan adegan dalam tayangan di televisi swasta nasional itu telah banyak ditiru dan menelan korban jiwa. Desakan itu disampaikan Ketua DPR, Agung Laksono, dan Wakil Ketua DPR, Zainal Maarif, di Gedung DPR/MPR Jakarta. Agung menyatakan, tayangan smack down sebaiknya segera dilarang, karena telah menelan korban. Dalam kaitan ini, KPI harus berani bertindak cepat agar tidak ada korban-korban berikutnya. Selain itu, pengelola televisi sebaiknya juga memikirkan dampak dari tayangan yang mereka sajikan. Sedangkan Zainal mengingatkan bahwa televisi bukan hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga pendidikan. Karena itu, pengelola stasiun televisi sebaiknya memikirkan aspek pendidikan dan tidak hanya mengedepankan kepentigan hiburan.(Antara) Laporan Wartawan Kompas Yulvianus Harjono BANDUNG, KOMPAS--Pihak Lativi bersikukuh tidak akan menghentikan tayangan gulat ”Smack Down”, meski banyak pihak yang memprotes. Berdalih pedoman perilaku penyiaran, Lativi hanya akan melakukan perubahan jam tayang serta penayangan peringatan dini. ”Sesuai pedoman prilaku penyiaran, khususnya Pasal 39 ayat (2), kami telah melakukan perubahan jam tayang menjadi 22.00 WIB (sebelumnya pukul 21.00 WIB). Untuk sementara, hasilnya demikian. Besok, rapat akan dilanjutkan di KPI Pusat,” ujar Manajer Humas Lativi Raldy Doy usai rapat klarifikasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, Senin (27/11). Menindaklanjuti teguran KPID Jabar sebelumnya, lebih jauh Raldy menjelaskan, pihaknya juga telah memperketat upaya peringatan dini melalui pencantuman label ”dewasa” dan running text bertuliskan ”tidak untuk ditonton anak-anak maupun ditiru” dalam penayangan program Smack Down berikutnya. Untuk memperkuat langkah preventif, pembawa acara (host) ke depannya juga akan selalu diingatkan untuk menyosialisasikan peringatan dini tersebut kepada penonton, baik sebelum maupun saat berlangsungnya acara. ”Nah, sejak Sabtu (25/11), kalau bapak-bapak sekalian memerhatikan, kami juga telah menyisipkan filler (semacam iklan) yang berisikan dialog orang dewasa dan anak mengenai tayangan ini,” tambahnya. Dalam kesempatan sama, Ketua KPID Jabar Dadang Rahmat Hidayat menegaskan, penyesuaian jam tayang dianggap tidaklah cukup. Sesuai sikap semula, pihaknya tetap bersikeras meminta penghentian tayangan program yang berlisensi World Wrestling Entertainment (WWE) ini.(kompas) Beladiri atau kekerasan. Acara Smack Down memang cukup populer dikalangan remaja, orang tua bahkan anak-anak. gaya kepahlawanan yang ditampilkan memang menjadi daya tarik anak-anak untuk menirunya, sayangnya anak-anak umumnya masih belum mengerti mana yang baik dan mana yang berbahaya. Wajar bila acara Smack Down menuai protes terutama kalangan orang tua, bila di tinjau dari seni beladiri Smack Down memiliki kekhasan beladiri yang menonjol sajian yang fulgar ini membuat sebagain orang mempelajari teknik-teknik yang diperagakan untuk hiburan. sayangnya acara ini juga terlalu diwarnai oleh kekerasan dan teknik yang mematikan, bila ditiru oleh orang awampun akan sangat bahaya.
Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:Km18Zr7hLuAJ:silatindonesia.com/archives/mod.php%3Fmod%3Dpublisher%26op%3Dviewarticle%26cid%3D2%26artid%3D159+artikel+pendidikan+informal&cd=80&hl=id&ct=clnk&gl=id

KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR

Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan. Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya. "PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya.Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya. Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”.Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF. Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan.Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman.

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:rAg-XVM7AT0J:adindachaniagotnnr07.blogspot.com/2009/03/pendidikan-informal.html+artikel+pendidikan+informal&cd=56&hl=id&ct=clnk&gl=id

Pendidikan Informal Untuk Semua

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat anak-anak atau adik kita pulang sekolah, setelah jam sekolah usai, mereka kembali ke keluarga mereka di rumah, tetapi apakah anda pernah menyadari bahwa pendidikan terus berjalan, meskipun mereka telah pulang ke rumah?
Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan informal, dimana pendidikan tersebut berlangsung sejak anak tersebut dilahirkan dan mulai mengenal lingkungan sampai mereka beranjak dewasa. Pendidikan informal lebih menitikberatkan pada perkembangan afeksi, moral dan emosional. Secara biologis perkembangan afeksi dikendalikan oleh otak kanan yang banyak berperan pada kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika dan kinestika, sehingga jika pendidikan informal benar-benar dilaksanakan dengan baik akan membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan dalam 3 ranah, yaitu afeksi, kognisi dan psikomotor. Dalam perkembangannya, banyak keluarga moderen yang lebih mementingkan perkembangan anak dari sisi kognisi, yang ditandai dengan diikutkannya anak mengikuti pelajaran tambahan (les) mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi atau kursus-kursus ketrampilan lain.
Sejatinya, perkembangan ketiga ranah tersebut harus seimbang, sehingga tercapai keselarasan dalam hidup manusia, dan tidak ada lagi hacker, koruptor, atau teroris, karena mereka pada dasarnya adalah orang yang diberi kelebihan kognisi tetapi kurang (tidak punya) afeksi, sehingga cenderung merugikan dan membahayakan orang lain.
Seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk membentuk manusia seutuhnya dimulai dari keluarga, khususnya pada usia emas 0 - 6 tahun, dimana pada usia tersebut rangsangan atau stimulan bisa diberikan agar anak usia dini dapat berkembang lebih baik. Keluarga adalah dunia pendidikan informal yang utama dan seharusnya memberikan contoh baik yang sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, agar kelak anak-a

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:rAg-XVM7AT0J:adindachaniagotnnr07.blogspot.com/2009/03/pendidikan-informal.html+artikel+pendidikan+informal&cd=56&hl=id&ct=clnk&gl=id

pendidikan informal tak tersentuh, anggaran 20 persen timpang.

(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.
"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).
Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya.
http://72.14.235.132/search?q=cache:rAg-XVM7AT0J:adindachaniagotnnr07.blogspot.com/2009/03/pendidikan-informal.html+artikel+pendidikan+informal&cd=56&hl=id&ct=clnk&gl=id
Sumber :

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.AkreditasiLembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:rAg-XVM7AT0J:adindachaniagotnnr07.blogspot.com/2009/03/pendidikan-informal.html+artikel+pendidikan+informal&cd=56&hl=id&ct=clnk&gl=id

Program BOS untuk Pesantren Bantuan yang Memenjarakan

(Media Indonesia,17 Sept 2005)
DUNIA pendidikan Indonesia mencatat sejarah baru: besarnya alokasi dana yang diterima dari kompensasi bahan bakar minyak (BBM). Secara nominal, alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebesar Rp235 ribu per siswa SD/MI dan Rp324,5 ribu per siswa SMP/MTs per tahun terhitung besar. Sepanjang sejarah republik, inilah dana operasional terbesar yang pernah diterima oleh sekolah. Namun, di tengah mahalnya biaya pendidikan, masih harus diuji apakah BOS mampu menjadi oase atau hanya fatamorgana biaya pendidikan.
Di atas kertas, Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) Bidang Pendidikan ini memang dirancang untuk memenuhi kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan dasar (Pasal 31 [4] UUD 1945). Ironisnya, alih-alih memenuhi amanat konstitusi, sejak awal implementasi BOS justru cenderung dijadikan alat pengalihan tanggung jawab dan pengingkaran kewajiban pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah.Dalam berbagai kesempatan para birokrat pendidikan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa BOS dapat menutupi seluruh biaya operasional sekolah. Argumennya sebagaimana diungkapkan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Fasli Jalal, 90% SD/MI dan SMP/MTs memungut iuran di bawah nilai BOS. Sisanya, tujuh persen memungut iuran sama dengan atau sedikit lebih tinggi dari nilai BOS dan tiga persen lainnya bisa dikategorikan sebagai sekolah elite.Perangkap finansialJika dicermati, sedikitnya terdapat tiga perangkap finansial yang terdapat dalam skema penyaluran BOS. Ketiga perangkap ini menyimpan potensi distorsi atas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan dasar gratis dan bermutu. Jika sekolah tidak hati-hati, kondisi ini justru akan bermuara pada pengalihan (sebagian) tanggung jawab pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah kepada masyarakat.Lebih dari itu, pemerintah akan mendapatkan alasan untuk mem-fait accompli pengesahan regulasi terkait pembiayaan pendidikan. Ketiga perangkap itu adalah perhitungan biaya satuan pendidikan (unit cost), diskriminasi (terselubung) terhadap sekolah swasta, dan segregasi sosial di sekolah.Pertama, perhitungan biaya satuan pendidikan. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004), biaya satuan pendidikan (unit cost) yang dijadikan rujukan dalam penetapan alokasi dana BOS belum memasukkan biaya personel atau gaji guru (Tabel 1).Di satu sisi, tidak dimasukkannya gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan ini sesuai dengan ketentuan pengalokasian dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (1) UU Sisdiknas. Namun pada saat yang sama, perhitungan ini juga telah mengaburkan kebutuhan anggaran yang harus ditanggung pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar yang gratis sekaligus bermutu sebagaimana dijamin Pasal 5, 11, dan 41 UU Sisdiknas.Jika dibandingkan perhitungan biaya pendidikan yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan United Nations Development Program (UNDP) dalam Indonesia Human Development Report (IHDR) 2004, perbedaannya sangat mencolok. Dalam IHDR, biaya pendidikan yang dihitung memang tidak hanya biaya operasional saja. Biaya pendidikan juga mencakup biaya investasi dan peningkatan kualitas, termasuk gaji guru yang layak.Dengan memasukkan komponen tersebut biaya pendidikan dasar per murid per distrik pada tahun 2003/2004 saja telah mencapai Rp966 ribu untuk SD, sedangkan untuk SMP sebesar Rp1.449.000. Anggaran itu masih itu harus ditambah Rp208.660 untuk SD dan Rp833.630 untuk SMP (hlm 47-48). Diyakini hanya dengan cara itu peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia akan meningkat. Seperti diketahui IPM Indonesia terus terpuruk, harus puas menduduki peringkat 110 berdasarkan laporan IPM 2005.Kalkulasi ini menunjukkan bahwa BOS tidak akan dapat memacu peningkatan mutu pendidikan dasar kita. Paling jauh, BOS hanya akan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan dasar di tengah tekanan ekonomi yang kian mengimpit. Padahal tanpa komitmen yang kuat untuk meningkatkan anggaran pendidikan, BOS justru akan membonsai kehidupan sekolah. Dan, peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tidak akan beranjak dari keterpurukan.Kedua, diskriminasi (terselubung) terhadap sekolah swasta. Data Balitbang Depdiknas di atas menunjukkan, kecuali untuk SD, unit cost sekolah swasta ternyata lebih tinggi daripada alokasi dana BOS. Artinya, diakui atau tidak, ada diskriminasi (terselubung) dalam mekanisme penetapan dana BOS. Pasalnya, selain menerima BOS, guru sekolah negeri yang mayoritas berstatus pegawai negeri sipil (PNS) digaji oleh pemerintah. Selain itu, sekolah negeri juga masih mendapat biaya operasi dan pemeliharaan (BOP) dari alokasi APBD.Nuansa diskriminatif semakin kentara ketika sekolah swasta tidak boleh lagi menarik iuran untuk membiayai komponen honor guru. Faktanya adalah penghasilan mayoritas guru di sekolah dengan nilai iuran di bawah BOS masih berada di bawah upah minimum kabupaten/kota alias tidak layak sehingga jika tanpa ada insentif lain (semisal dana kesejahteraan guru dari alokasi APBD) guru sekolah swasta tidak akan terangkat kesejahteraannya. Sementara pada saat yang bersamaan mereka harus menanggung kenaikan harga bahan kebutuhan pokok seiring dicabutnya subsidi BBM.Ketiga, sekolah menjadi alat segregasi sosial. Walaupun jumlahnya tidak lebih dari 10%, penolakan BOS oleh beberapa sekolah elite telah menjadi justifikasi politik bagi upaya segregasi sosial melalui sekolah. Hal ini terkait dengan Rencana Strategis Depdiknas 2004-2009 yang berusaha memisahkan pendidikan formal menjadi dua jalur: formal mandiri dan formal standar sebagaimana dilansir media beberapa waktu lalu.Kendati rencana itu sempat dibantah pejabat Depdiknas, upaya memisahkan sekolah mandiri dan standar (baca: kaya dan miskin) secara dikotomis terus berlangsung. Setidaknya dikotomi tersebut dapat ditemukan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Rancangan PP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan.Perangkap politikLalu bagaimana dengan pesantren? Ternyata lain di sekolah formal, lain pula yang terjadi di pesantren. Jika perangkap finansial diarahkan untuk mengaburkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah, akomodasi pesantren dalam alokasi dana BOS justru menyimpan perangkap politik.Sejak jauh hari, pemerintah telah menyiapkan instrumen kebijakan koersif untuk mengukuhkan hegemoni negara atas pesantren melalui (Rancangan) PP Pendidikan Keagamaan. BOS untuk pesantren hanyalah umpan dan 'pelumas' guna melancarkan skenario tersebut.Harapannya, dengan penyaluran BOS akan memicu ketergantungan finansial pesantren kepada pemerintah. Ketika kondisi itu tercipta maka pesantren akan kehilangan identitas dan karakter aslinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan sosial kemasyarakatan yang memiliki watak kemandirian, jiwa perjuangan dan keikhlasan yang kuat (Sahal Mahfudz, 1994: 337).Melalui RPP Pendidikan Keagamaan, pesantren dan pendidikan diniyah diatur sedemikian rupa hingga menghilangkan karakter aslinya. Bahkan terkesan over-regulated. Contohnya adalah kurikulum pendidikan diniyah harus memuat mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Matematika dan Pendidikan Kewarganegaraan. Diniyah juga harus mengikuti ujian nasional sesuai standar nasional pendidikan keagamaan (Pasal 30).Jika ini terjadi, upaya untuk mengintervensi dan mengukuhkan hegemoni negara atas pesantren akan memasuki babak baru. Sebelumnya, pada era 1970 sampai 1980-an, santri pondok pesantren telah memiliki ketergantungan pada ijazah melalui program Madrasah Wajib Belajar (MWB).Apa pun alasannya, homogenisasi pesantren secara hegemonik justru akan merugikan bangsa ini. Jika dibarengi dengan ketergantungan finansial, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah juga akan sangat besar. Pada tahun 2003/2004 saja tercatat sedikitnya 14.656 pondok pesantren dan sekitar 3,37 juta santri di seluruh Indonesia (Tabel 2).Jika pemerintah hendak menunjukkan kepedulian pada pesantren, hendaknya dicari cara lain yang lebih efektif dan efisien. Program peningkatan kecakapan hidup dalam skala yang lebih masif mungkin akan lebih bermanfaat bagi para santri ketimbang bantuan operasional yang rawan manipulasi. Sebab, itu akan meningkatkan daya saing mereka setelah keluar dari pesantren.Akhirnya, kalangan pesantren harus selalu berhitung cermat. Bukan tidak mungkin, rencana intervensi kurikulum dan proyek homogenisasi-hegemonik ini terkait dengan komitmen bantuan yang pernah dijanjikan Presiden Bush dua tahun lalu. Bagaimana menurut Anda? Nur HidayatStaf pengasuh PPSS Khoiriyah Hasyim Seblak Jombang/Ketua Pimpinan Wilayah IPNU Jatim
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:SWKAffzqBt4J:www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php%3Fid%3DP172_0_9_0_C+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=19&hl=id&ct=clnk&gl=id

Perbaikan Kualitas SDM Melalui Pendidikan Informal

pendidikan informal dapat menolong untuk memperbaiki kualitas SDM yang kita miliki. Itu sebabnya, sebagai orangtua, kita perlu mengamati anak-anak kita saat ini, seberapa jauh kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan apa yang ada dalam benak mereka kepada kita maupun kepada teman-teman yang lain. Selanjutnya, kita perlu memperhatikan apakah anak tersebut mampu melakukan pengamatan dengan baik atau berpikir secara logis. Seringkali, prestasi atau nilai yang bagus yang mereka peroleh di sekolah belum tentu menunjang performa mereka di luar. Sebagai contoh: anak kita memiliki nilai yang sangat bagus dalam pelajaran bahasa Inggris di sekolah, namun pada kenyataannya, ia mengalami kesulitan untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa si anak membutuhkan pendidikan informal tambahan, karena akan sangat disayangkan jika ia hanya memiliki nilai bagus dalam pelajaran di kelas namun tidak pada prakteknya. Jadi, ada baiknya kita mencari alternatif pendidikan informal yang mungkin dibutuhkan oleh anak kita.Kecerdasan Spiritual dan EmosionalOrang yang bekerja dengan mengandalkan otot seringkali memiliki tingkat stres yang jauh lebih rendah daripada orang yang bekerja dengan otaknya. Sebenarnya, masing-masing orang memiliki tingkat stres yang berbeda-beda. Memang, orang-orang yang lebih banyak mengandalkan otaknya memiliki tingkat stres yang lebih tinggi karena ada begitu banyak hal yang harus ia amati dan pikirkan dalam waktu yang sama. Satu-satunya cara untuk menanggulangi tingkat stres dalam diri seseorang adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan spiritual, sehingga ia bisa terus menjalani kehidupan sehari-hari tanpa mengalami stres. Ini juga yang menyebabkan semakin banyak orang yang tertarik untuk mengikuti yoga, meditasi, dsb., karena mereka meyakini bahwa kegiatan-kegiatan semacam itu dapat menolong mereka menghilangkan stres dan memberi ketenangan. Akan tetapi, sebetulnya itu hanyalah solusi yang bersifat sementara, karena tetap berpusatkan pada kemampuan yang kita miliki secara pribadi. Untuk mengasah kecerdasan spiritual yang kita miliki, kita hanya perlu belajar meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan. Semakin kita mengasah kecerdasan spiritual kita, semakin berkurang tingkat stres kita.Pada prinsipnya, intelegensi emosional adalah kemampuan kita untuk beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan karyawannya menunjukkan bahwa ia pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang cukup tinggi. Demikian pula seorang bawahan/karyawan yang berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan pemimpinnya adalah karyawan yang memiliki intelegensi emosional yang cukup bagus. Untuk mengasah intelegensi emosional, kita hanya perlu belajar untuk memposisikan diri dalam keberadaan orang lain, melihat dan berpikir dari sudut pandang orang lain. Hasilnya, akan jauh lebih mudah bagi kita untuk bisa beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang baik akan dicintai dan dihargai oleh karyawannya, demikian pula seorang karyawan yang memiliki emosional yang baik akan disukai oleh rekan-rekannya dan pemimpinnya.Intelegensi emosional memiliki kaitan dengan karakter seseorang. Meski begitu, kecerdasan emosional bisa dilatih dan diasah, sehingga kalaupun karakter kita tampak bertolak belakang (misalnya berangasan), kita tetap bisa memunculkan dan membentuk kecerdasan emosional itu dalam diri kita, sehingga karakter kita turut mengalami perubahan. Tapi jangan lupa bahwa intelegensi emosional juga harus didukung oleh intelegensi visual, intelegensi logis, dan intelegensi-intelegensi lainnya, atau dengan kata lain harus ada keseimbangan di antara ketujuh intelegensi tersebut. Tanpa keseimbangan, orang yang memiliki intelegensi emosional yang tinggi dapat dengan mudah dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh orang lain.Orang yang kurang mampu bergaul atau berinteraksi satu sama lain sebetulnya menunjukkan bahwa intelegensi emosional yang ia miliki perlu dikembangkan. Semakin intelegensi emosional kita terasah, semakin kita memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang baru kita temui untuk pertama kalinya.Sebenarnya, dengan mengasah satu intelegensi, secara otomatis intelegensi-intelegensi lain yang kita miliki akan turut terasah. Sebagai contoh: kita ingin mengasah intelegensi verbal yang kita miliki. Untuk dapat menyampaikan sesuatu, kita perlu mengadakan penelitian atau penggalian atas sebuah topik. Untuk memperoleh hasil yang baik, kita pasti membutuhkan intelegensi visual dan intelegensi logis yang baik pula. Semakin daya analisa kita terasah, bobot dari apa yang kita sampaikan juga semakin teruji. Selanjutnya, dengan mengasah intelegensi kreatif yang kita miliki, ada berbagai macam variasi yang bisa kita pakai dalam menyampaikan topik pembicaraan. Semakin intelegensi kita terasah, kemampuan kita dalam mengerjakan sesuatu juga bertumbuh dengan luar biasa. Satu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendisiplin diri sendiri – apa yang memang harus kita kerjakan, kerjakanlah secara tuntas dan maksimal, jangan menunda-nunda.Menurut pendapat sebagian orang, multi-tasking (mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus pada waktu yang sama) tidak cukup efektif karena hal itu menyebabkan konsentrasi menjadi terpecah. Sebenarnya hal itu tergantung dari kapasitas orang yang bersangkutan. Ada orang-orang tertentu yang dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus di waktu yang sama dan tetap memberikan hasil yang maksimal, karena mereka memang memiliki kapasitas yang cukup bagus. Sebaliknya, ada orang-orang yang meski hanya melakukan satu pekerjaan, tetap tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Jika selama ini pemimpin kita sering memberikan beberapa pekerjaan sekaligus untuk diselesaikan, sebetulnya itu adalah kesempatan yang baik untuk mengembangkan kapasitas kita, dan bukan menjadikan ketidakmampuan kita sebagai alasan untuk tetap tinggal di zona nyaman. Ingat, kita tinggal di kota di mana level persaingan yang ada sangat tinggi. Tanpa terus meng-upgrade diri, kemampuan bersaing kita akan semakin mengecil dan kita semakin tersingkir dari zona kesuksesan yang ingin dimasuki.Bagi orang-orang yang tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk kembali ke pendidikan formal ataupun informal, tetap ada cara-cara lain untuk mengasah intelegensi, yaitu dengan membaca. Membaca adalah salah satu solusi terbaik bagi mereka yang ingin mengasah intelegensi. Saat ini ada begitu banyak buku yang secara spesifik dapat menolong kita mengasah dan meningkatkan intelegensi-intelegensi tertentu dalam diri kita. Ada langkah-langkah sistematis maupun strategis yang bisa kita aplikasikan dari buku-buku tersebut. Karenanya, saya mendorong Anda untuk banyak membaca, karena ada banyak keuntungan yang akan Anda nikmati dari membaca.Jangan pernah menutup diri bagi sebuah perubahan dan jangan pernah membatasi diri untuk mempelajari hal-hal baru. Ketika kita mau mempelajari hal-hal yang baru dan terus mengalami perubahan, artinya kita sedang terus mendekati titik keberhasilan yang kita impi-impikan.
Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:eqZNydNVyVcJ:www.andriewongso.com/awartikel-1002-Artikel_Anda-Kerja_Keras_Vs_Kerja_Cerdas_-_2+artikel+pendidikan+informal&cd=50&hl=id&ct=clnk&gl=id

Pendidikan Agama Jangan Menakut-nakuti

Jadi bacaan-bacaan wirid itu, bacaan-bacaan doa novena dalam agama Katolik, dan bacaan-bacaan yang keluar dari dalam hati saya sendiri, saya pikir sama-sama didengarkan oleh Tuhan. Poin yang ingin saya sampaikan: kalau kita menjalankan nilai-nilai yang inti dan universal dalam suatu agama, kita tidak akan pernah bentrok dengan agama apapun.
Ada banyak faktor yang memengaruhi seseorang dalam memutuskan pilihan agama. Juga saat ia berkeputusan untuk beralih agama. Faktor itu bisa ditemukan dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar di mana ia tumbuh dan mendapat pendidikan keagamaan. Tidak kalah penting adalah faktor internal dalam di sanubari orang itu sendiri. Faktor internal dan eksternal kemudian menjelma sebuah keputusan. Dan saat keputusan keimanan dibuat, tentu ada pergulatan iman yang tidak ringan. Rabu (24/12/2008), Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) mengorek pergulatan iman Budhis Utami, seorang aktivis perempuan, pegiat LSM Kapal Perempuan, Jakarta. Berikut wawancaranya:
JIL: Sebagai unit sosial terkecil, keluarga berperan signifikan dalam perjalanan kehidupan keagamaan seseorang. Seperti apakah latar belakang keagamaan keluarga anda semasa kecil?
Saya berasal dari Jember, Jawa Timur. Teman-teman pasti tahu Jember itu basis keagamaannya apa. Keluarga saya dan seluruh orang di kampung adalah Islam dan NU (Nahdlatul Ulama). Keluarga saya juga Islam, meski secara politis kakek punya afiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Tapi bapak saya sangat NU meskipun masih memilih PDI waktu itu. Belakangan bapak memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena faktor Gus Dur. Mati-hidup dia ikut Gus Dur. Ibu saya anggota Muslimat NU meskipun tidak terlalu aktif. Minimal ikut pengajian-pengajian. Kakek saya dari garis ibu berasal dari Madura. Beliau ini sangat displin mengajar saya mengaji.
Jadi saya cukup fasih membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlash, al-Falaq, al-Nas dan lainnya. Kakek juga sangat disiplin memberi pendidikan agama. Jadi kalau kakek datang ke rumah saya di Jember, tiap subuh dia nggedor-nggedor pintu kamar supaya bangun salat, meski setelah bangun pura-pura ke kamar mandi, lalu masuk kamar dan tidur lagi. Poin yang ingin saya sampaikan adalah: latar belakang Islam dan NU itu sangat kental dalam keluarga saya.
JIL: Bagaimana pula dengan latar belakang keagamaan lingkungan sosial anda?
Saya melihat lingkungan tempat saya tinggal itu sangat kuat keislamannya. Tempat saya tinggal itu dekat hutan. Banyak orang berburu babi hutan. Nah, kalau ada orang yang berburu babi, akan dibilang orang Kristen. Karena babi hutan dalam Islam haram hukumnya. Dari situlah saya melihat bahwa sebenarnya lingkungan tempat saya tinggal itu memang sangat kuat keislamannya.
JIL: Bagaimana dengan internalisasi nilai-nilai agama semenjak anda kecil?
Waktu kecil, bapak-ibu saya bercerai. Jadi saya ikut keluarga paman yang memeluk Islam, meski bukan dari jenis Islam yang taat. Paman saya punya enam anak, tujuh dengan saya. Di situ saya belajar mengaji. Keluarga paman sendiri lebih menekankan bagaimana orang harus berbuat baik. Dari situ saya berpikir, apakah ini yang disebut dengan Islam abangan? Tapi kenapa anak-anaknya juga disuruh mengaji, termasuk saya?! Tapi paman memang orang yang disiplin. Dia kepingin anak-anaknya, termasuk saya, mendapatkan pendidikan yang ketat. Maka dia menyekolahkan kami di sekolah Katolik.
Tapi di antara kami bertujuh, hanya tiga orang—saya dan dua kakak sepupu saya—yang kemudian memilih untuk masuk Katolik. Jadi kalau dalam keluarga, sayalah yang pertama kali masuk Katolik. Itupun melalui sebuah proses panjang dan tidak segera disetujui oleh gereja Katolik. Sebab kalau mau masuk Katolik, harus mengikuti pendidikan agama yang panjang dulu. Saya harus jadi katekisasi (orang yang menerima pengajaran mengenai prinsip-prinsip agama Kristen sebagai persiapan menuju pembaptisan) dulu selama satu tahun. Saya mengikutinya sampai tiga kali. Dari dua sebelumnya, saya masih belum berhasil dibaptis. Sebab ada peraturan, untuk bisa dibaptis, anak-anak harus mendapat persetujuan orangtua.
Tentu saja paman dan orang tua saya tidak setuju. Tapi saya tidak mau konfrontasi dengan mereka. Saya memutuskan untuk konsentrasi belajar saja. Sebab waktu SMA nilai saya jelek, karena mesti juga belajar semua agama; belajar Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Saya benar-benar stres waktu SMA dulu mempelajari empat agama.
JIL: Dengan latar belakang keluarga dan lingkungan yang demikian kuat Islam dan NU-nya, bagaimana reaksi yang muncul ketika anda memutuskan pindah dari Islam dan memilih Katolik?
Reaksi yang keras pertama kali datang dari Ibu. Karena ibu saya ini memang betul-betul mendapat didikan dari kakek. Kakek saya rajin mengajar ngaji di mushalla. Waktu itu ibu bilang begini: “Kalau kamu masuk Kristen, saya tidak akan membiayai kamu!” Padahal setelah bapak-ibu bercerai, satu-satunya harapan saya untuk bisa sekolah adalah ibu. Akhirnya saya nurut saja. Sementara paman saya—yang saya sebut abangan itu—bilang begini: “Kamu jangan masuk Kristen, tetap saja di Islam. Orang itu tidak penting agamanya. Yang penting adalah perbuatan baiknya.” Itulah yang membuat saya bisa berkrompomi waktu itu. Dalam hati sendiri saya bilang, “Iya ya, saya masih SMP. Ya sudahlah saya fokus belajar aja. Gereja toh juga tidak akan membaptis saya kalau tidak ada persetujuan orang tua.”
Beberapa tahun kemudian saya naik SMA. Sewaktu SMA tekanannya masih sama. Respon gereja masih sama, karena keluarga saya masih belum memberikan persetujuan. Bapak saya masih diam saja, tidak berkomentar. Nah, ketika sudah berusia 23 tahun dan sudah satu tahun setengah ikut pelajaran agama Katolik, gereja tak kunjung mau membaptis saya gara-gara di dalam surat pernyataan itu tidak ada tanda tangan orang tua. Akhirnya saya balik marah ke gereja. Saya bilang begini: “Saya kan sudah berusia 23 tahun. Saya bisa mengambil keputusan sendiri dong! Tidak perlu persetujuan orang tua. Saya tidak mungkin memaksa ibu saya. Dan kalau gereja tidak mau membaptis saya, biar Yesus saja yang membaptis saya!” Saya bilang demikian ke gereja.
JIL: Bagaimana pula relasi anda dengan keluarga setelah pembaptisan itu? Apakah ada kekhawatiran muncul gap atau jarak pemisah antara anda dan keluarga?
Ya, ada kekhawatiran seperti itu. Waktu saya dibaptis, pada akhirnya saya merasa ada sesuatu yang jauh antara saya dan keluarga. Saya sudah mencecap banyak hal tentang Katolik, sementara orang tua saya adalah orangtua di kampung yang tidak tahu-menahu soal-soal demikian. Jadi saya merasa ada semacam gap atau jarak. Tapi saya sudah berjanji pada ibu waktu itu: saya pindah agama biar saya baik; baik pada orang tua, hormat dan berbakti kepada orangtua, baik pada sesama. Menghormati orang, siapapun dia, apapun latar belakang agamanya, kelasnya, dan seterusnya. Itulah yang saya pegang, dan itulah yang saya yakini sebagai sesuatu yang universal dari agama.
Jadi spirit itu yang saya ambil. Dan saya pikir spirit itu ada dalam semua agama. Saya punya teman Islam, teman-teman Budha, Hindu, dan sering berdialog dengan mereka. Ternyata mereka punya spirit yang sama. Karenanya, ketika saya masuk Kristen dengan segala perubahan-perubahan yang ada pada diri saya, ibu kemudian tidak marah dan bisa menerima saya. Meskipun kadang-kadang ibu saya—dengan logat Maduranya yang membuat saya ketawa—sering bilang: “Kamu itu kafir, pengikutnya Fir’aun!” Tapi saya tidak tersinggung. Saya justru ketawa aja sambil menimpali balik: “Ibu, di mana-mana orang Kristen itu pengikutnya Isa, bukan pengikutnya Fir’aun.” Jadi, saya bawakan secara rileks saja. Mau dibilang kafir, mau dibilang apapun, saya cuma ketawa. Yang penting saya berusaha menjadi pribadi yang baik. Saya berusaha bertanggung jawab, tidak merepotkan orangtua. Itu inti yang saya pegang. Kemudian di luar itu, orang mengatakan segala macam, saya tidak marah, tidak tersinggung.
JIL: Apakah anda cukup yakin bahwa pihak keluarga tidak menyayangkan keputusan yang anda pilih dan merelakan anda sepenuhnya?
Waktu itu, buat ibu dan bapak, relatif sudah tidak ada masalah. Terutama bapak. Dia punya guru, seorang kiai, namanya Kiai Mahmud (almarhum), yang bisa dibilang kiai besar untuk ukuran kampung saya. Kiai itu bilang ke bapak saya: “Pak Bun (nama bapak saya), biarkan aja anakmu mau masuk Kristen, mau masuk Islam, mau masuk apa, yang penting dia sungguh-sungguh meyakini agamanya dan menjalankannya!” Itu yang membukakan hati bapak saya untuk kemudian membiarkan saya berpindah agama dan tidak pernah mempersoalkan lagi.
JIL: Taruhlah urusan dalam keluarga beres. Tapi kadang-kadang lingkungan menjadi tekanan bagi keluarga dan juga anda sendiri. Mungkin mereka menyebut anda mengkhianati keluarga dan sebagainya. Bagaimana respon lingkungan sekitar?
Dalam konteks keagamaan yang saya pahami dan saya jalankan, saya sama sekali tidak merasa mengkhianati orangtua saya. Bahkan dalam banyak hal, saya selalu dijadikan contoh bagi anak-anak bapak saya dari istri keduanya. Karena di dalam keluarga, saya tidak pernah membawa embel-embel agama. Tapi perbuatanlah bagi saya yang lebih penting; bagaimana saya membantu orangtua dan adik-adik saya agar bisa sekolah. Dan saya memperjuangkan itu semua tanpa syarat. Misalnya mereka harus berbuat baik pada saya, harus ada imbalan dan lain-lain. Tidak. Ketika orang harus membantu, ya bantulah. Ketika orang harus berempati, ya berempatilah. Dan saya yakin semua agama pasti mengajarkan demikian. Karena itu, lingkungan saya tidak pernah melihat saya sebagai Budhis yang Kristen, sebagai Budhis anaknya si A atau si B.
JIL: Di samping memutuskan untuk pindah agama yang menuai pro dan kontra di lingkup keluarga sendiri, anda juga memutuskan untuk melaksanakan nikah beda agama. Bagaimana respon keluarga dan teman-teman anda saat itu?
Waktu saya mau menikah dengan suami saya yang Islam, paman datang dan bilang: “Mbok ya kamu kembali lagi ke Islam. Toh suamimu juga Islam!” Saya bilang: “Ketika saya beragama Kristen, apa paman melihat ada perubahan dalam diri saya?” Dia bilang, tidak. “Ya sudah, clear kan!” saya bilang begitu. Lantas suami saya bilang ke paman: “Saya bisa menerima dia apa adanya kok!” Saya sendiri waktu itu diledek dan ditakut-takuti sama teman-teman. Tapi di dalam hati saya bilang begini: “Lho kalau saya tidak boleh menikah dengan dia karena beda agama, padahal saya mencintainya dan ingin hidup bersamanya, terus gimana?” Apakah saya dipaksa untuk jatuh cinta dengan orang lain yang sama agamanya? Kan tidak bisa. Ini kan soal perasaan.
JIL: Bagaimana anda tetap bisa melangsungkan pernikahan beda agama tersebut? Bukankah undang-undang perkawinan kita tidak membenarkan pernikahan beda agama?
Ya, awalnya ada semacam dilema dengan hukum negara kita. Tapi bagi saya yang penting, dalam Katolik pernikahan beda agama diperbolehkan. Jadi ada dispensasi untuk menikah berbeda agama. Tapi memang harus menikah di dalam gereja Katolik. Tapi, waktu itu memang ribet sekali, karena saya tinggal di Yogyakarta, KTP saya Jakarta. Kemudian saya akan menikah di Jember, dan saya dibaptisnya di Jember. Jadi memang harus mengurus surat baptis, pendaftaran, dan segala macam. Secara organisasi, Katolik itu memang sangat ketat. Nah, karena urusannya cukup ribet, akhirnya saya memilih menikah secara Islam. Saya sendiri tetap Katolik. Dan keluarga maupun suami saya mendukung tidak perlu ada yang berpindah agama dan tidak perlu ada yang harus mengubah keyakinan. Jalanin aja masing-masing.
JIL: Dalam pernikahan beda agama, pasti banyak sekali perbedaan-perbedaan yang harus ditanggulangi. Bagaimana anda mengatasi perbedaan-perbedaan pada level konsep keagamaan, misalnya?
Ketika memilih suami, saya berprinsip suami harus punya perspektif yang sama dengan saya. Harus sama-sama punya perspektif pluralis, bisa menerima orang yang berbeda keyakinan untuk hidup bersama. Kalau saya tidak bertemu dengan laki-laki seperti itu, ya saya tidak mau. Karena bagi saya, tidak boleh ada pemaksaan dalam sebuah relasi perkawinan, termasuk pemaksaan untuk berubah keyakinan. Jadi bagi saya tidak bisa hanya berdasarkan cinta, perasaan menggebu-gebu dan berbunga-bunga saja. Tapi juga harus ditimbang-timbang cocok-tidaknya dalam hal perspektif, konsep, dan visi ke depannya. Sebab kalau tidak punya perspektif, konsep atau visi yang sama, apa bisa kita bertahan terus dalam relasi demikian?
Nah, alhamdulillah suami saya punya perspektif yang sama dengan saya. Maka kami relatif tidak mengalami hambatan di level konsep keagamaan. Kami berdua tidak melihat dengan serius perbedaan keyakinan kegamaan kami berdua. Makanya, ketika suami saya sakit dan saya harus berdoa dengan cara Islam, dengan senang hati saya melakukannya. Waktu itu ada yang kasih tahu ke saya, kalau mau suami saya sembuh, saya harus me-wirid-kan al-Fatihah 21 kali, al-Ikhlas 16 kali, al-Falaq 16 kali, dan al-Nas 16 kali. Meski wirid surat itu saya baca dalam bahasa Indonesia, tapi saya yakin Tuhan pasti tahu maksud seluruh bacaan wirid saya.
Di samping baca wirid, saya juga melakukan doa novena (doa pribadi atau doa bersama selama sembilan hari berturut-turut yang dipanjatkan guna mendapatkan suatu rahmat khusus). Jadi doa saya bisa dibilang doa yang “hybrid”. Sampai pada akhirnya ketika suami saya sudah dalam kondisi kritis, saya berdoa pakai cara sendiri: “Tuhan, suami saya sudah kritis, tunjukkan cara yang terbaik, pilihkan yang terbaik untuk dia!” Saya tidak pakai lagi surat-surat Alquran, tidak lagi pakai doa novena, betul-betul berdoa dengan cara saya sendiri. Dan doa saya terjawab dua jam kemudian; suami saya meninggal dengan tenang sekali dan saya mendampinginya.
Jadi bacaan-bacaan wirid itu, bacaan-bacaan doa novena dalam agama Katolik, dan bacaan-bacaan yang keluar dari dalam hati saya sendiri, saya pikir sama-sama didengarkan oleh Tuhan. Poin yang ingin saya sampaikan: kalau kita menjalankan nilai-nilai yang inti dan universal dalam suatu agama, kita tidak akan pernah bentrok dengan agama apapun. Termasuk dengan suami saya. Berantemnya ya persoalan pembagian pekerjaan dalam rumah tangga. Tidak pernah berantem masalah agama.
JIL: Kalau anda refleksikan ulang sekarang, faktor-faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi anda untuk menganut agama tertentu dan tidak yang lainnya?
Sebenarnya saya sendiri juga bertanya-tanya, seberapa jauh pendidikan enam tahun yang saya jalani di institusi Katolik mengkonstruksi iman saya? Padahal saya tidak pernah mengikuti pelajaran agama dengan sungguh-sungguh. Jadi kalau ada pelajaran agama Katolik, yang bukan Katolik itu keluar. Artinya saya juga tidak dimasuki oleh agama itu. Lantas saya juga bertanya-tanya tentang faktor lingkungan. Lingkungan saya Islam. Saya diajari Islam. Tapi kok saya tidak tetap di Islam dan malah pindah ke Kristen?
Dulu ketika saya belum mengenal Islam dan ketika sudah mempelajarinya, saya berpikir kok Islam itu galak banget ya. Apa-apa ada hukumannya. Kalau mati nanti ada azab neraka jika kita tidak taat dalam beragama. Bayangan neraka itu luar biasa menakutkan bagi saya. Dan saya tidak menemukan itu di Katolik. Karena surga dan neraka itu jarang dibicarakan. Yang sering dibicarakan adalah bagaimana relasi kita dengan sesama dengan penuh kasih dan sebagainya. Saya lantas berpikir, kok enak ya agama ini?! Mungkin ini salah satu yang mendorong saya untuk memilih Katolik.
Tapi saya benar-benar bingung. Saya kelas 3 SMA waktu itu. Dengan kondisi penuh kebingungan itu, di dalam hati saya berdoa: “Tuhan, tolong tunjukkan yang terbaik pada saya. Saya kepingin hidup saya baik.” Waktu itu saya benar-benar sudah pasrah.
JIL: Apakah anda merasa itu adalah pilihan terbaik dari Tuhan dan kini anda merasa sebagai true believer di agama Katolik?
Sampai sekarang, saya sendiri tidak tahu. Saya juga tidak tahu kenapa saya tetap memilih itu. Mungkin ada hal-hal yang menyentuh hati saya di dalamnya, misalnya ajarannya yang menekankan kasih. Juga dalam beberapa hal, Katolik itu kini agak lebih terbuka. Misalnya pastor-pastor di gereja biasa mengucapkan assalamu’alaikum. Jadi tidak pernah ada larangan mengucapkan selamat hari raya. Itu yang membuat saya nyaman, bisa bersilaturahmi dengan banyak saudara-saudara saya, apapun agamanya. Tapi kadang saya juga ketemu dengan pastor yang fundamentalis. Tapi saya sudah punya filter sendiri, sehingga saya bisa memilah mana yang tidak cocok dan cocok untuk teman diskusi saya. Tapi dalam berelasi, kami tetap saling menghormati.
JIL: Sebagai aktivis pembela hak-hak perempuan, apa makna agama atau keberagamaan bagi diri anda sekarang?
Agama menurut saya adalah sebuah rambu-rambu bagi saya untuk menjalani hidup ini. Jadi sebuah rambu-rambu jalan saja, di mana saya bisa mengkritisinya. Makanya, secara kelembagaan, saya sering mengkritik agama Katolik. Bagaimana dia memposisikan perempuan, itu tetap saya kritisi sampai sekarang. Misalnya kenapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin atau imam. Saya tanya teman-teman pastor: “Sebenarnya ada tidak sih dasar Biblis-nya bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pastor, menjadi imam?” Mereka bilang tidak ada, dan itu hanya semacam tradisi. Artinya itu bisa diubah. Bagaimana mengubahnya dan kapan usaha itu akan berhasil, itulah yang menjadi persoalan. Nah, kalau sudah mikir-mikir begitu, Islam sebenarnya lebih terbuka terhadap perempuan. Akhirnya ada pikiran seperti itu.
Saya juga mempertanyakan sikap Katolik dalam soal pernikahan beda agama. Menurut Katolik hal itu boleh. Tapi pertanyaan kritis saya, kenapa anak-anaknya harus berjanji untuk tetap setia memeluk Katolik? Makanya secara kelembagaan saya tidak ngotot; pokoknya tradisi ini atau itu harus diperjuangkan. Tidak. Nah, tentang pertanyaan anda sebelumnya, apakah saya ini Katolik beneran atau—istilah anda true believer—tidak sih? Ya terserah saya mau disebut Katolik apa. Terserah orang mau menilai saya seperti apa. Bagi saya yang penting adalah apa yang saya yakini, yang saya imani, yang saya jalankan. Soal apakah saya sudah berbuat yang baik atau tidak, bukan orang yang menilainya. Tuhan yang menilainya. Persoalan saya akan masuk ke neraka atau surga, itu juga bukan urusan saya. Tidak penting saya mau diletakkan di mana, yang penting saya diberi rambu-rambu-Nya agar saya masuk dalam rambu-rambu Tuhan. Sebab, acuan saya adalah teladan Yesus.
http://72.14.235.132/search?q=cache:OUJOXcERgpcJ:islamlib.com/id/artikel/pendidikan-agama-jangan-menakut-nakuti/+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=18&hl=id&ct=clnk&gl=id
Sumber :